Terpukul

3.3K 144 3
                                    


SETIAP aku melihat Riris, jujur, timbul rasa minder dalam diriku. Usianya 13 tahun di atasku, namun tubuhnya padat berisi. Sangat seksi. Beda denganku yang sudah pernah melahirkan, gelambir sana sini. Apalagi jika sudah membandingkan paras kami, jauhhhhhh berbeda. Riris punya wajah cantik bak artis ibukota. Sedangkan aku, cantik kembang desa. Tak ada apa-apanya jika disanding dengan dia. Ibarat mawar dan melati, begitulah perbandingan Riris dan aku. Mana yang Mas Hamdan lebih suka?

Riris berjalan dengan lenggak-lenggok manja. Dihampirinya mas Hamdan kami. Ya, kami, sebab kini mas Hamdan milik kami berdua.

Spontan ku gamit lengan kanan mas Hamdan. Aku menoleh padanya dan menggeleng. Mas Hamdan melihatku, ekspresinya bingung.

Riris kemudian memegang lengan kiri mas Hamdan, bergelayut manja. “Mas, harusnya ke rumahku. Aku sekarang istri tua. Bukankah yang muda harus mengalah. Itu katamu,” ia mulai memasang strategi mempengaruhi.

Teringat aku pada pesan mbak Arum. Bahwa aku harus menjaga mas Hamdan agar tidak dipengaruhi Riris. Maka dengan memberanikan diri aku berkata, “Tidak mas, tidak boleh! Mas Hamdan baru saja pulang. Aku tak mau mas pergi-pergi lagi. Kita belum selesai bicara.”

Mas Hamdan bingung, di sisi kanannya ada aku yang memeluknya erat. Di sisi kiri ada Riris yang bergelayut manja. Tak butuh lama, Mas Hamdan pun melepaskan diri dari kami berdua. Ia mundur dan menjaga jarak dari kami.

“Riris, kamu lupa hari ini hari apa?” tanyanya pada istri kedua. Yes, ini adalah jatahku. Ku yakin, mas Hamdan akan memilihku.

“Tapi mas dari kemarin sibuk terus. Hampir tiga minggu mas tak mengunjungiku.” Riris merajuk sambil menempel kembali kepada mas Hamdan. Aku menarik mas Hamdan, mendekat padaku. Riris melotot memandangku tajam.

“Sudah-sudah, kalian jangan seperti anak kecil berebut mainan. Riris, bukankah dari kemarin kamu selalu mengunjungiku. Padahal kamu tahu kan aturannya?” kata mas Hamdan. Lho, ternyata selama ini mbak Riris telah mencuri start. Aku tertinggal dong, alangkah bodohnya.

“Itu tidak sama mas. Aku hanya ingin menghiburmu saat kamu berduka. Tapi sekarang sudah waktunya kita meneruskan hidup. Mas kan belum pernah pulang ke rumahku satu kali pun. Duh mas, jangan buat aku kesepian dong.” Katanya sambil mendekat kembali kepada mas Hamdan.

Mas Hamdan menggeleng. “Aturan adalah aturan. Kamu berkali-kali melanggar. Sungguh itu membuatku tak senang!” kata mas Hamdan tegas.

Entah aturan apa yang dimaksud mas Hamdan, yang jelas Riris tak membantah lagi. Mukanya penuh kecewa. Dengan tetap melenggok-lenggokan badannya ia meninggalkan rumah induk menuju rumahnya. Namun aku sempat melihat matanya menatapku marah.

***

“Apa aturan yang mas maksud?” tanyaku setelah tinggal kami berdua di ranjang. Ranjang yang begitu besar namun sering kosong. Karena saat mas Hamdan tak ada, aku lebih suka tidur di ranjang sebelah bersama Arka.

“Kamu belum tahu ya?”

Aku menggeleng.

“Aturannya, tidak boleh mendatangi atau mengganggu istri yang lain saat bukan gilirannya. Karena banyak hal privasi yang harus dijalani suami istri. Sekalipun aku berpoligami, tapi aku tetap ingin rumah tanggaku berjalan normal layaknya rumah tangga lainnya.” Tutur mas Hamdan.

“Saat suami tak datang, anggaplah ia tengah merantau kerja. Tunggulah dengan sabar. Doakan dia sehat, selamat, serta rezekinya lancar. Jangan mencari-cari atau mendatangi ke rumah istri lainnya. Sebab itu bisa memancing keributan. Seperti malam ini,” lanjut mas Hamdan.

“Oh, karena itu dulu mas suruh aku pulang saat berkunjung ke rumah mbak Arum selagi mas di sana?”

Ia mengangguk.

“Tapi mas tadi tampaknya bingung menentukan. Apakah mas kepikiran mau ke sana?” tanyaku mencoba mengorek isi hati pria ini.

“Bingungnya itu gara-gara sikapmu. Kenapa sekarang jadi begitu terbuka. Suka blak-blakan, dan mulai timbul ego. Selama ini sepertinya kamu bisa bersabar dengan berbagai hal,” sahutnya.

“Aku tidak pernah tenang satu hari pun saat Mas Hamdan tak ada. Hanya aku tak bisa menunjukkannya karena aku hanyalah istri ketiga,” kataku mengutarakan isi hati.

Mendengar kata-kata itu, mas Hamdan luluh. Ia merengkuhku ke dalam pelukannya. Dibelainya rambutku penuh kasih sayang. Sesekali di kecupnya ubun-ubunku.

“Maafkan aku ya. Pasti sangat menyiksa,” katanya.

Aku manggut-manggut saja. “Tak apa-apa. Aku rela. Asal mas tidak menjauhiku. Sering-seringlah pulang. Sering-seringlah menemuiku. Aku akan selalu suka cita menyambutmu mas,” kataku.

Jika ada luka akibat sebuah peristiwa, maka kata-kata bisa jadi obatnya. Seperti kata-kata yang kuucapkan seolah itu mampu menyembuhkan trauma mas Hamdan untuk berdekatan kembali denganku.

Ia tak takut lagi untuk memelukku. Menciumku. Meskipun hanya sebatas itu. Lalu kelelahan membawa kami bersama-sama terpejam bersama malam. Kami tetap berpelukan hingga subuh menjelang.

***

Begitu mas Hamdan pergi, Riris tergogop-gogop menghampiri. Dia nyelonong masuk ke dalam rumah induk. Dijambaknya rambutku. “Dasar wanita jalang, sukanya merebut suami orang. Dengar ikan asin, kamu pasti menyesal sudah berani menggoda-goda suamiku,” teriaknya berang sambil menyeretku ke ruang tengah.

Mbah Dar kaget. Ia terkejut. “Bu Riris jangan. Ada apa ini!”

“Biar mbok, wanita ini perlu dikasih pelajaran! Tidak ada hormat-hormatnya sama istri tua. Kamu pikir aku akan diam saja, heh?” bentaknya lagi tanpa melepaskan tangannya dari menjambak rambutku.

Arka berlari ke depan, ia maju sambil membawa mobil-mobilan kayu yang barusan ia beli. Dilemparkannya ke wajah Riris.

“Jangan sakiti emak!” teriak Arka, lalu dia menangis kencang.

Riris bertambah berang. Ia memegang mukanya kesakitan. Lalu merengsek maju hendak menyerang putraku. Aku segera bangkit dan melindungi Arka dari serangannya.

Riris menendang punggungku kencang. “Aao,,, sakit mbak. Sudah, tolong, jangan begini!” ratapku menahan sakit akibat tendangannya yang bertubi-tubi. Aku terus memeluk putraku erat agar tidak ikut tersakiti oleh kemurkaan Riris. Arka menangis kencang, melolong ketakutan.

Mbah Dar teriak-teriak mengundang warga. Mereka datang dan melerai kami. Sungguh kejadian yang memalukan. Sesaat aku teringat pada mantan suamiku dulu yang gemar menyiksa. Dahulu, aku pun pernah jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dan sekarang itu terulang. Hanya saja, pelaku kekerasan adalah istri kedua. Ya Rabbi, ternyata Riris bisa segila ini!

***

Mungkin suamiku mendengar kabar dari tetangga, sehingga Mas Hamdan pulang cepat siang harinya. Ia langsung melihat keadaanku. Dilihatnya aku masih syok dan kaget dengan penyerangan dari istri keduanya. Arka pun begitu, kelihatan masih trauma dan ketakutan. Ia terus memintaku menggendongnya. Padahal tubuh Arka sangat gembul dan cukup berat. Akhirnya, aku hanya duduk lemas di ranjang kamar sambil memeluknya.

“Riris sudah keterlaluan. Kenapa ia bisa kumat!” mas Hamdan gusar.

Setelah melihat aku tak luka parah, ia segera berdiri. “Juwi tetap di sini. Jangan kemana-mana. Aku akan menemuinya.”

Mas Hamdan bergegas menemui Riris. Entah apa yang akan dilakukan Mas Hamdan kepadanya? Dan bagaimana aku harus menghadapi Riris jika besok dia kembali mengamuk? (NRA)

Asa Tanpa Jeda [ SUDAH DITERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang