ANAKKU Arka menangis kencang. Bayi usia 4 bulan itu sepertinya ngamuk mendengar kata-kata bapaknya yang tak beradab.
Teringat jelas waktu itu, masih nyut-nyutan kepala ini akibat kurang tidur mengurus bayi, eh, malamnya "dipakai" suami dan disebut bau amis seperti Ikan Asin.
Sambil membenahi sarungnya, suamiku berkata : “Terlanjur buka tudung saji, eh baunya amis. Kayak gini gimana mau muasin laki?” gerutunya. Herannya aku masih digauli berkali-kali.
Akhirnya setelah purna menunaikan kewajiban sebagai istri, kusemburkan sederet kata untuk membungkam mulutnya.
“Kamu itu ya mas, tinggal makan aja protes terus,” jawabku. “Pernah kepikiran buat merawat istri enggak? Biar istri ini wangi kayak selebriti?”
“Itu artis, halus-halus, mulus-mulus, karena suaminya tanggung jawab. Sedang kamu mas, apa yang udah kamu lakukan untukku? Merusak masa mudaku iya. Jika bukan karena kasihan, enggak bakal kuterima lamaranmu dulu,” sesalku.
“Kamu hanya bisa menghamili wanita, tapi enggak ada tanggung jawabnya. Semua, dari sejak nikah sampai sekarang nasi yang kamu makan tiap hari itu keringat istri. Keringatku mas, keringat wanita yang kamu sebut amis kayak ikan asin ini,” imbuhku tanpa jeda.
“Dan Arka. Kenapa bisa lahir Arka? Itu juga karena kamu mas. Dan sekarang, nimang anak aja enggak pernah. Apa yang becus kamu lakukan selain memaki istri,” tambahku meluapkan emosi terpendam selama ini.
Ya, itu pertama kalinya aku membalas kata-kata suami dengan nada tinggi. Saking hancurnya hati ini sering dilukai. Semenjak hamil, semua kata manis sirna. Blak-blakan ia bilang aku sudah tak seksi dan kurang prima dalam melayani. Bahkan, selalu membanding-bandingkan aku dengan artis-artis di TV. Mentang-mentang tiap hari kerjaan nonton sinetron.
Mendengar aku membantah, matanya melotot. Seolah tak mampu menampik fakta yang ada. “Kamu, kamu, kamu udah berani malawan suami?” katanya sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
“Mas, selama ini apa kamu pernah menghargai aku sebagai istri? Di matamu bahkan aku tidak lebih berharga dari ikan teri. Kamu tahu mas, kamu itu seperti apa dan siapa?” kataku lagi. Sengaja tak membiarkannya bersuara.
“Apa? Mau bilang apa kamu?” sahutnya.
“Kamu itu kucing garong. Ga pantas makan ikan, tapi pantasnya makan tikus!!!” jawabku sambil menahan tangis.
Pembaca, bukan aku enggak bisa berkata kasar. Aku bisa. Sangat bisa. Tapi aku enggak mau. Aku enggak mau mengotori bibir ini dengan kata-kata yang tak pantas. Namun jika tiap hari dilecehkan, dan itu oleh suami sendiri, tak bolehkah aku marah? Tak bolehkah aku berkata kasar? Haruskah aku tetap diam dan bersabar?
Mendengar sebutan kucing garong, suamiku terdiam. Sesaat kemudian tangannya melayang. PLAK,,, inilah pertama kalinya kekerasan fisik itu terjadi.
Sejak itu, tak ada lagi kata-kata menyakitkan. Yang ada hanyalah kekerasan fisik. Salah sedikit, jika tidak menampar pasti menendang. Terkadang juga banting-banting barang dan menimbulkan kegaduhan. Tak ada lagi kedamaian di rumahku yang berubah seperti medan perang. Tak kuat, akhirnya aku melambaikan tangan.
***
PERCERAIAN itu tragedi, namun juga merupakan kesempatan kedua lepas dari derita. Setelah merasa cukup kuat, aku pun mantap menggugat cerai suamiku yang semakin brutal. Kasihan anakku Arka, jika harus jadi saksi tindak kekerasan sejak masih batita.
Sebulan setelah akta cerai terbit, kudengar suamiku menikah lagi dengan janda kaya raya yang 20 tahun lebih tua darinya.
Berapa usia istri barunya??? Aku enggak tahu dan enggak mau tahu. Yang aku peduli adalah bagaimana mengurus Arka sebagai single parent. Sungguh itu perjuangan yang tidak mudah.
Sebelumnya aku sudah punya usaha. Namun kemudian hancur dirusak suami. Ya, sebelum dia pergi berburu janda kaya, diam-diam toko baju milikku di pasar, yang jadi sumber pendapatan utama telah dijualnya.
Sebab setelah melahirkan, aku yang masih lemah harus istirahat di rumah sembari memberi asi ekslusif. Tak disangka kesempatan itu digunakan untuk menggadaikan usahaku ke rentenir. Ia juga enggan melayani pembeli sehingga langgananku pada lari.
Sementara uang hasil menggadaikan toko ia sebut pesangon. Sebagai kompensasi atas dikabulkannya gugatan ceraiku. Ya itulah harga kemerdekaan yang harus kubayar. Menjadi seorang janda dengan beban tumpukan hutang serta bayi 1 tahun.
***
“Sekarang bagaimana nduk? Simbok prihatin dengan nasibmu. Kok bisa-bisanya milih lelaki kayak gitu?” kata simbokku (pengganti panggilan ibu) yang menemani selama proses cerai. Aku pun bingung dan linglung. Mau makan pun susah. Hanya bisa bergantung pada simbok. Sebab tak ingin ikut merepotkan saudara.
Saking kalutnya, aku hanya bisa menangis tanpa suara. Simbok sendiri wanita yang tegar. Membesarkan lima anak tanpa suami yang wafat duluan.
Kucoba memandangi wajahnya yang kian tua. “Maafkan aku, mbok. Maaf, di usia tua simbok malah harus melihatku hancur seperti ini,” ungkapku bercucuran air mata. Simbok memelukku, membelai punggungku. Sesaat aku merasa mendapat perlindungan.
“Nduk masih banyak jalan. Ditinggal suami seperti itu bukanlah musibah, tapi itu anugerah nak. Untungnya kamu masih muda. Dulu simbok ditinggal bapakmu waktu sudah setengah tua. Padahal kamu dan adek-adekmu masih kecil,” tuturnya.
Aku menatapnya, “Bagaimana caranya mbok? Bagaimana caranya merubah nasibku yang tertimpa musibah ini menjadi anugerah?”
Simbok tersenyum. Membuatku sangat penasaran. “Ada nduk, caranya mudah. Kamu bisa melakukannya.”
Setelah itu Simbok membisikan sesuatu kepadaku, sesuatu yang membuatku sangat terkejut. 🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Tanpa Jeda [ SUDAH DITERBITKAN ]
Romance❤️ Kisah Drama Romantis tentang Juwita, seorang wanita muda yang terjebak menjadi istri ketiga dari seorang pria paruh baya yang kaya raya. Adalah Hamdan, pria tersebut. Ia memutuskan menikah lagi di usianya yang tak lagi muda. Bagaimana kisah cinta...