Malam ini aku susah tidur. Rasanya resah dan gelisah.
Bukan karena tidur sendirian di ranjang yang besar. Bukan karena mikirin mas Hamdan yang tidur dengan istri pertama. Bukan. Aku lebih mencemaskan jika mbak Arum memusuhiku setelah kejadian tadi.
Aku mulai membayangkan perasaan para pelakor di luar sana. Tak takutkah mereka jika istri sah melabrak untuk menjambak-jambak rambutnya? Sedangkan aku sebagai istri sah saja sudah bergidik ngeri setiap membayangkan reaksi mbak Arum nanti. Bagaimana jika ia murka dan menunggu Hamdan pergi untuk menjahati ku? Bagaimana jika ia mengajak mbak Riris melabrakku dan memaki-maki tanpa henti? Ngeri, ngeri.... sampai memejamkan mata saja tak berani.
Bukan salah mbak Arum jika mendadak masuk kamar. Kamar ini adalah kamar Hamdan. Sedangkan aku hanya numpang sampai rumahku sendiri jadi. Ini salahku. Salahku karena terbawa perasaan. Salahku memancing duluan.
Padahal, mas Hamdan sengaja merancang makan malam bersama agar kami bisa hidup rukun. Padahal, Ibuk sudah menasehati agar aku banyak mengalah, jangan membantah, dan nerima ing pandum (menerima keadaan – Bahasa Jawa). Belum apa-apa, aku malah sudah menyalakan bara. Konon, cemburunya wanita itu sangat mengerikan. Apalagi jika wanita itu berkuasa seperti berkuasanya istri pertama.
***
Keesokan paginya sebelum genderang perang ditabuh, aku berencana meminta maaf pada kakak maduku itu. Melihat ekspresi wajahnya semalam yang terkejut alang kepalang, sepertinya ia sungguh tidak senang.
Rumah istri pertama berjarak sekitar 300 meter dari rumah induk. Perlahan aku mengetuk. “Assalamu’alaikum. Mbak, aku boleh masuk?”
Sesaat kemudian pintu dibuka. Eng ing eng... kok malah mas Hamdan yang keluar? Dia ga kerja? Ini kan bukan hari libur.
“Ada apa Wi?” tanyanya. Suaranya parau, sepertinya kurang tidur juga. Apakah dia juga resah gelisah sepertiku?
“Maaf mas, mengganggu pagi-pagi. Aku mau minta maaf sama mbak Arum untuk kejadian semalam.” Kataku sambil menunduk malu. Sekilas kembali terbayang ciuman pertama kami semalam.
Hamdan kemudian meraih tanganku. Tersenyum sambil menggeleng-geleng. “Jangan sekarang ya. Beri dia waktu.” Lantas dicium kembali jemariku sambil ditepuk-tepuk halus.
“Sekarang pulanglah. Jangan pikirkan apa-apa. Tunggu giliranmu.” kata Hamdan. Aku mengangguk menurut. Dicium jemariku saja rasanya sudah senang, apalagi jika... oh tidak. Aku kembali mendamba.
Kubalikkan badan untuk pulang. Tiba-tiba Hamdan memutar bahuku. Mata kami pun beradu. Ia menatap dalam-dalam. Pasti dia membaca pikiranku. “Juwi, aku kangen sama kamu,” bisiknya dengan suara yang parau.
Aku wanita yang miskin kata-kata. Tak banyak yang bisa kuungkapkan mengenai perasaanku sejujurnya. Aku hanya mengangguk. Tak membalas kata rindu itu. Padahal jika boleh, aku mau berkata : Aku lebih merindukanmu mas, lebih dari kamu rindu padaku.
Tapi ya sudahlah. Aku harus eling. Harus sadar diri bahwa aku hanyalah istri ketiga. Dengan lunglai aku pulang ke rumah. Sedih membayangkan suamiku bermukim terlalu lama bersama istri-istrinya. Kapan giliranku tiba?
***
“Arka sini sayang. Maem....akkk.....” aku menyuapi Arka di halaman. Anakku itu sudah mulai pandai berjalan. Tingkahnya lucu sekali. Wajahnya rupawan, mengambil bagian-bagian terbaik dariku dan mantanku. Mata yang bulat, bibir yang merah, kulit kuning langsat itu adalah milikku. Sedangkan alis yang lebat dan hidung yang mancung itu milik mantan. Bahagia rasanya setiap melihat tumbuh kembang dia. Bahkan dia sudah fasih memanggilku Emak.
“Asyik ya bisa punya anak. Lucu dan ganteng pula.” Kata Riris dari pintu pagarnya. Lantas ia menghampiriku. Ah, aku tak suka padanya. Dia pandai membuat orang merasa tak nyaman.
“Punya anak itu repot mbak,” kataku basa-basi.
“Tapi setidaknya, kamu enggak kesepian. Aku sendiri ingin punya anak dengan Hamdan. Tapi ga bisa-bisa. Masa mudaku jadi sia-sia,” keluhnya. Riris suka berpakaian warna terang dengan dandanan lengkap seolah mau pergi kondangan.
“Mbak Riris mau pergi?” tanyaku melihat make up-nya.
“Pergi kemana? Hamdan memintaku ijin dulu kalau mau pergi. Jika aku tak ijin dan ketahuan, ia mengancam akan menceraikan. Kejam sekali kan dia. Memangnya aku tawanan. Dikurung di rumah seharian. Hanya boleh berjalan-jalan di sekitar kampung saja. Apa bagusnya?”
Aku mengerutkan kening. Kok beda perlakuan ya? Padahal, Hamdan mempersilahkan aku berjalan-jalan, belanja barang yang aku suka, dan jelas-jelas mengatakan bahwa aku bukan tawanannya.
“Dengar ya Juwi. Sekarang mungkin Hamdan lagi sayang-sayangnya sama kamu. Tapi seperti halnya aku. Jika ada yang ketiga, pasti ada yang keempat. Jika aku saja yang lebih seksi dari kamu bisa dimadu, apalagi kamu yang biasa-biasa aja. Tunggu masanya, pasti tiba giliranmu merasa kesepian karena kurang belaian. Sama sepertiku.”
***
Riris adalah tipe wanita yang gampang menghasut, dan aku pun terhasut. Sekarang saja memikirkan suamiku tak pulang-pulang saat giliranku tiba, membuat hati ini cenat-cenut ga karuan.
Untuk menyambut kedatangannya, aku bahkan berusaha dandan maksimal. Itik buruk rupa juga bisa berubah jadi angsa asal ada modalnya. Hamdan pria yang bertanggung jawab. Memberiku uang belanja yang cukup, memberiku pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah. Tentu aku punya lebih banyak waktu untuk merawat diri.
Parasku pada dasarnya memang cantik, dipoles dikit akan kembali bersinar seperti perawan. Dan malam ini, aku mau Hamdan melihat kecantikanku sebenarnya. Tapi mengapa dia tak kunjung datang. Eh, malah mbah Dar yang menghampiri.
Ia bilang, “Jangan menunggu lagi bu. Pak Hamdan malam ini tidur di rumah Bu Arum. Ibu disuruh tidur duluan. Besok Pak Hamdan baru pulang.”
Pyar, hatiku kembali pecah. Harapanku kembali buyar. Mendamba berhari-hari hanya untuk mendapatkan kabar bahwa pertemuan kami batal. Ternyata berbagi suami tak semudah mengucapkan kata : ikhlas. (NRA)
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Tanpa Jeda [ SUDAH DITERBITKAN ]
Romance❤️ Kisah Drama Romantis tentang Juwita, seorang wanita muda yang terjebak menjadi istri ketiga dari seorang pria paruh baya yang kaya raya. Adalah Hamdan, pria tersebut. Ia memutuskan menikah lagi di usianya yang tak lagi muda. Bagaimana kisah cinta...