Keberanian

3K 130 2
                                    


MAS HAMDAN melangkah dengan cepat.... setiap jejaknya seperti menyunggi beban berat. Wajahnya penuh kecemasan. Ia bergegas ke ICU, tempat di mana mbak Arum terbaring menunggu dengan berbagai alat medis yang menancap di sekujur tubuhnya.

“Dokter saya mau melihat istri saya.” Katanya tergesa-gesa kepada dokter jaga yang tengah mengobservasi keadaan terbaru mbak Arum.

“Silahkan. Keadaannya kurang bagus.” Dokter lalu menepuk-nepuk bahu mas Hamdan untuk menguatkan, dan melangkah pergi dari ruangan. Seakan memberi kode agar mas Hamdan segera mengucapkan salam perpisahan. 

Aku menunggu dari balik kaca. Menyaksikan suamiku yang kelihatannya kehilangan bebarapa berat badan pasca malam pertama kami. Perlahan digenggam tangan mbak Arum. Bibirnya mengucapkan sesuatu, tapi dari luar aku tak mampu mendengar apa-apa. Mas Hamdan menangis, ia mengusap pipi mbak Arum yang tengah terpejam. Apakah mbak Arum bisa sadar setelah merasakan kehadiran mas Hamdan?

Mas Hamdan mengatakan sesuatu, lalu mengecup kening mbak Arum. Ia sangat berduka seolah hendak berpisah dengan istrinya tersebut. Temannya selama 20 tahun ini. Melihat itu aku terharu. Ingin kuhampiri dan kuhibur, tapi aku tahu mereka butuh waktu berdua.

***

“Juwi pulanglah. Biar aku berjaga di sini mendampinginya.” Dari kamar ICU, mas Hamdan keluar menemuiku.

“Tidak mas, aku akan menunggu di sini sampai mbak Arum sadar. Aku akan temani kamu.”

Mas Hamdan menggeleng. “Pulanglah bersama sopir, rawat Arka. Ingat kamu seorang ibu. Jangan sampai Arka sakit karena ibunya sibuk di luar.”

Ia selalu memikirkan Arka, seakan-akan ia benar bapak kandungnya. Tak hendak membantah, aku mengangguk menurut. Kucium tangannya berpamitan, perlahan ia elus kepalaku. Cless.... rasanya lega mendapat ridhonya.

“Riris kamu juga pulanglah.” Ia memanggil mbak Riris yang stand by berjaga di ruang tunggu. Tak berani beranjak dari rumah sakit. Entah karena rasa bersalah. Atau justru karena ingin memastikan bahwa aku tak mengadu pada mas Hamdan. Yang jelas, aku masih takut pada ancamannya. Apa yang dapat ia lakukan sepertinya sangat berbahaya.

***

Keesokan paginya aku hendak bergegas ke rumah sakit mengantar baju ganti dan sarapan untuk mas Hamdan, namun Riris mencegatku.

“Mana. Biar aku yang antar. Kamu di rumah aja!” Perempuan bermuka dua itu merebut bungkusan yang ku bawa. Lalu mendorongku. “Sana kembali ke rumah. Jangan temui mas Hamdan tanpa seijinku.” Perintahnya.

Tuhan tahu, aku tidak suka bertengkar. Aku mengalah dan kembali masuk rumah. Lagipula mas Hamdan memerintahku mengurus Arka, jadi belum tentu kehadiranku di sana bisa menyenangkannya. Kupandangi tubuh Riris yang dibalut jilbab seksi. Ia masuk ke dalam mobil dan melaju bersama sopir.

***

Sore ini hujan deras. Petir-petir bersahut-sahutan. Mobil masuk ke halaman. Ku berharap menemukan sosok mas Hamdan dan mbah Arum keluar dari sana. Ternyata hanya pak Tarno seorang. Ia membawa kabar bahwa aku ditunggu mbak Arum.

“Alhamdulillah dia sudah sadar,” aku mengucap syukur kepada Lillahi Ta’ala.

Tanpa menunggu lama aku meluncur bersama sopir ke rumah sakit. Setengah jam kemudian aku sudah berada di ruang ICU. Dengan sisa-sisa kekuatannya mbak Arum menitipkan pesan, “Jaga Hamdan. Jauhkan dia dari Riris. Dia itu iblis.” Hanya tiga kalimat. Lalu mbak Arum kembali hilang kesadaran. Kanker rahim yang ia derita sejak lama membuatnya tak berdaya.

Semalaman mas Hamdan berjaga di ruangan bersama mbak Arum. Sementara aku menunggu di luar. Sepertinya banyak yang hendak mbak Arum katakan, tapi tenaganya tak ada. Tepat jam dua dini hari, mas Hamdan berteriak memanggil dokter jaga. Aku ikutan panik, namun tak lama kemudian perawat keluar mengabarkan bahwa pasien telah pergi. Innalilahi wa’inna ilahi rojiun.

Asa Tanpa Jeda [ SUDAH DITERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang