Dilecehkan Mantan

2.8K 128 2
                                    

Hari ini adalah hari aku kembali ke kampung halaman. Jarak dari kampung ke rumahku dulu sebenarnya tidak jauh. Hanya saja jalan di kampung masih jelek dan jarang angkutan umum, sehingga bagi ibuk itu jarak yang lumayan untuk ditempuh. Ditambah, setiap berkunjung ibuk harus menghadapi sikap suami yang tak sopan. Akhirnya, beliau malas menemuiku saat rindu.

Sama. Jika aku kangen sama ibuk, tanpa izin dari suami bagaimana aku bisa pergi? Aku hanya bisa menahan perihnya rindu. Mendamba kasih sayang suami sama mustahilnya dengan mendamba kasih sayang bapak. Sebab bapak telah meninggal sejak aku umur empat tahun.

***

“Juwi, apa kabar? Lama ga ketemu.” Sapa teman masa kecilku. Nining namanya. Dia juga sudah menikah. Dan yang bikin ga enak itu suaminya adalah teman mantan suamiku.

Hemm.... aku senyum tipis. Malas sebenarnya ketemu dia dalam kondisi janda begini.

“Kebeneran banget kamu di sini. Lusa, teman kita Kamelia mau nikah. Gede-gedean hajatnya. Nanggap ketoprak lho. Pokoknya kamu harus datang. Nanti undangannya biar dikirim ke rumah ibukmu ya,” katanya lagi. Duh, baru juga lepas dari rentenir. Baru hendak hijrah. Mau menenangkan diri dulu kok malah ketemu dia.

“Juwi ayo dong jangan bengong aja. Udah lama lho kamu enggak silaturahmi sama teman-teman SMP kita dulu. Ga boleh sombong gitu lah,” katanya sambil menggoyang-goyangkan lenganku. Sakit mak, pas posisi gendong Arka pula.

Ibuku menengahi. Melepaskan tangannya dari lenganku yang membopong bayi. “Iya, iya, nanti Juwita ke sana. Kalau ada ketoprak, pasti semua warga juga ngumpul. Sudah ya, Juwi masih capek. Biar istirahat dulu. Besok aja ngobrol lagi,” kata ibuk sambil menggandengku pergi.

Jumpa teman lama harusnya menyenangkan. Tapi tidak jika itu teman yang bakal mengingatkanmu pada mantan. Seingatku, Nining berperan besar menyambung hubunganku dengan mantan suami dulu. Nining selaku mak comblang. Itu pun karena dia punya misi mendekati teman mantan suamiku. Jadi bukan karena tulus membantu.

Beruntung, Nining berhasil dengan suaminya. Sementara aku, gagal segagal-gagalnya.

***

Pertemuanku dengan pak Hamdan berlangsung lancar. Meskipun terlihat uban sudah menghiasi sebagian rambut pria berusia 47 tahun itu. Menurutku penampilan pak Hamdan tidak terlalu jelek. Jika kamu pernah ketemu pak Ganjar, Gubernur Jawa Tengah yang sekarang, maka kamu tidak akan mempermasalahkan rambut putihnya.

Yang jadi masalah itu pada kejantanannya. Terbukti pak Hamdan jadi buah bibir di kampung karena tak bisa membuahi istri-istrinya. Padahal kedua istrinya masih muda dan cantik. Meskipun aku akan jadi yang paling muda nantinya.

Membayangkan aku dipersunting pria itu, seperti membayangkan jadi biarawati. Aku bakal kerja sosial untuk merawat suamiku, membantu madu-maduku mengurus rumah, ngurus anak, dan sederet urusan domestik lainnya. Akan tetapi, aku harus menahan kebutuhan biologisku.

Yah, tak mengapa. Aku sudah persiapan batin untuk itu semua.

Hamdan memandangku sambil tersenyum. Ia melambaikan tangan sebagai isyarat agar aku mendekat. Aku mendekat namun tak mau duduk di sampingnya. Aku memilih kursi di depannya sehingga masih terhalang meja.

“Jangan takut. Saya tak akan menyentuhmu sebelum kamu sah jadi istriku. Cuma mau ngasih tahu, hidupmu, anakmu, dan ibumu akan jadi tanggung jawabku mulai hari ini. Karena kamu sudah bilang setuju,” janjinya.

***

Tiba hari kondangan. Aku berhias ala kadarnya. Lantas ku pergi sendiri, sebab ibuk melarang membawa Arka yang tengah lelap tertidur. Setelah tiba di sana, alangkah terkejutnya melihat mantanku juga datang.

Dia nampak asyik ngobrol dengan Nining dan suaminya. Terlanjur nih. Mau putar balik ga bisa. Ya sudah, aku cari aman. Salaman sama pengantin dan pulang. Eh, mantan suami malah melihat, terus memanggil. Selama ini aku terbiasa menurut padanya, tak heran begitu ia memanggil aku masih seperti kerbau dicucuk hidungnya. Spontan aku mendekat dengan perasaan was-was.

Mataku berusaha mencari sosok wanita tua yang katanya istrinya. Ternyata enggak ada. Yang ada wanita dengan dandanan lumayan menor. Kelihatan ga terlalu tua. Apa karena perawatan? Aku tahu itu istrinya, kerena tangan mantanku melingkar di pinggangnya.

“Eh sini kamu Juwi, ngapain ngumpet-ngumpet gitu? Nyesel ya cerai sama aku?” tanyanya di depan Nining dan istrinya. Wah, harga diriku terluka dibilang begitu. Ku balas tatapan matanya.

“Enggak dong. Justru aku lega. Mudah-mudahan istri barumu ini, bisa membahagiakanmu lebih dari aku,” kataku sambil menyalami istri barunya.

“Jelas aku bisa membahagiakannya dong mbak. Wong katanya, kamu amis kayak ikan asin,” kata istri barunya sambil ketawa cekikikan. 

Astaga.... itu mulut comel banget. Mantanku ikutan tertawa terbahak-bahak. Sementara Nining dan suaminya bingung.

“Maksudnya apa ya?” tanya Nining.

“Iya, si Juwita itu bau amis kayak ikan asin makanya aku ceraikan. Suami mana tahan?” kata mantanku tak punya perasaan.

Nining geleng-geleng kepala. “Wah, wah, wah, beneran itu ya Juwi? Kok bisa sih? Kurang perawatan kali.”

“Merawat diri aja ga becus. Apalagi merawat suami. Gagal total.” Sambung mantanku.

Fix... itu terlalu menyakitkan. Aku ga bisa berkata apa-apa. Karena kulihat beberapa teman lama mulai berdatangan dan hendak bergabung. Malas aku berdebat, apalagi sampai ribut di tempat umum. Sebelum aku dikebiri dengan sejuta kata-kata, sebaiknya aku undur diri.

“Maaf ya, anakku nunggu di rumah. Aku mau pulang duluan,” tuturku menahan air mata.

Sambil berjalan menjauh, kudengar tawa membahana di belakang punggungku. Tentu, rumor bau kayak ikan asin itu tak luput dari bahan candaan mereka. Dan aku? Bisakah aku bertahan dengan rumor itu? Masih maukah pak Hamdan menikahiku jika rumor itu sampai ke telinganya? Ah, meledak tangisku di dalam dada. (#NRA)

Asa Tanpa Jeda [ SUDAH DITERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang