Dag, dig, dug.... jantungku berdebar kencang. Mas Hamdan pun demikian. Begitu tegang. Lalu malam pertama yang sudah sangat kunanti-nantikan itu tiba. Kurasa indah, sangat indah... hingga akhirnya....Ah, apalagi yang kuharapkan? Semua sudah kupersiapkan matang-matang. Kemesraan ini janganlah cepet berlalu. Tapi itu hanya lagu, dan tidak berlaku untuk hidupku.
"Maaf, maafkan aku. Aku bersalah padamu. Padahal aku tahu kamu sudah lama menunggu. Aku pikir, aku bisa denganmu. Karena sejak pertama, kamu sudah membuatku jatuh cinta," katanya pilu.
Ya Tuhan... kasihan, sungguh kasihan. Kasihan aku, kasihan dia. Kasihinilah kami berdua.
Hamdan urung beristirahat. Dengan gontai ia pergi meninggalkan kamar kami. Setelah merapikan pakaian, buru-buru aku mengejarnya. Kupeluk dia dari belakang untuk memberikan kekuatan.
"Bisa lepaskan? Tolong, aku ingin sendiri," pintanya. Tanpa menoleh. Apalagi menciumku seperti dulu.
"Tidak mas, tidak. Maafkan aku. Maafkan jika aku membebanimu," kataku tak kalah sedih.
Ia berbalik memandangku. "Juwi, aku telah menyia-nyiakanmu. Aku tahu kamu sudah mendamba begitu lama. Namun...." kata-katanya terputus. Lama ia terdiam. Lalu dengan suara bergetar, ia melanjutkan, "Sebagai pria, aku telah gagal," ia memejamkan mata sejenak. Bulir-bulir air bening menetes dari sana.
Dia menangis. Pasti harga dirinya sangat terluka. Aku mematung. Tak tahu harus berbuat apa. Semua harapanku sirna. Ku kira, kami akan berhasil karena sama-sama menginginkan. Namun, yah.... bukankah dari awal dia sudah bilang bahwa dia punya masalah?
"Juwi... kamu masih muda. Kamu normal. Aku ...." lagi-lagi mas Hamdan yang biasanya lancar berbicara itu terdiam. Dia melangkah ke ruang tengah. Duduk di sana. Di tempat pertama kita melewatkan malam pertama sebagai sepasang suami istri. Tempat favoritnya saat tengah mengajakku bicara berbagai hal.
Aku rasa mas Hamdan butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku pun butuh waktu untuk kembali menata hati. Walaupun awalnya aku sudah diberi tahu dan mempersiapkan diri, namun tetap saja aku sempat berharap semua itu dusta. Apalagi terakhir dia menciumku bak pria normal biasa. Ternyata semua kata-kata Riris itu benar. Mas Hamdan tak bisa memberi kepuasan.
Perlahan aku melangkah ke dapur, membuatkan teh yang biasa ia minta. Di dapur, dua gelas air putih, habis kuteguk seketika. Aku pun butuh waktu untuk menenangkan diri. Tapi aku tak mau mas Hamdan lama menunggu.
Kasihan, dia pasti lelah. Pulang kerja di malam buta. Sengaja menemuiku. Ia tahu aku rindu. Dan sekarang, semua kelemahannya terbuka. Rahasia umum itu, akhirnya aku sendiri membuktikan. Mas Hamdan, aku harus bagaimana?
Ketika aku kembali ke ruang tengah untuk mengantarkan teh, mas Hamdan sudah agak tenang. Tak lagi ku lihat emosi menggurat di wajahnya yang mulai tua. Dia duduk memandang jarum jam. Dini hari, pukul satu malam. Besok pagi, usai Subuh ia harus kembali pergi mengurus kerjaan.
"Mas... diminum dulu ya. Setelah itu ayo tidur. Aku akan memijatmu. Pasti mas lelah," kataku berusaha sebisa mungkin mencairkan ketegangan di antara kami. Dia sakit, aku tahu. Aku hanya perlu menyembuhkannya. Sampai saat itu tiba aku akan menunggu.
"Juwi... kamu ingin rumah di mana? Aku akan segera membangunkannya untukmu."
Kenapa tiba-tiba? Apa ia merasa tak nyaman hidup bersamaku lagi?
"Terserah mas Hamdan. Tapi jika boleh, aku ingin bersama mas Hamdan di sini," tuturku.
"Tidak bisa. Aku tak ingin kamu berpura-pura bahagia seperti mereka. Aku tak ingin kamu mengkhianatiku karena tak sanggup menanggungnya. Aku tak mau menanggung dosa itu. Aku telah berdosa dengan berhasrat memilikimu. Dan sekarang bertambah dosa karena tak mampu memberimu nafkah batin." Katanya tegas.
Pura-pura bahagia? Siapa? Mbak Arum? Mbak Riris? Aku?
"Aku tahu kamu menikah denganku karena hutang. Namun, aku menikahimu karena cinta. Aku berharap, denganmu aku bisa sembuh kembali. Bisa mendapatkan kejantananku lagi. Tapi aku hanya bermimpi. Aku tak muda lagi, seharusnya aku menahan diri."
Aku tak sanggup berkata apa-apa mendengarnya. Yang ia katakan adalah fakta. Mulanya, memang karena ingin terbebas dari masalah ekonomi hingga aku menyetujui. Namun, setelah setuju diperistri, aku hanya ingin mengabdi. Tak berharap lebih. Meskipun dalam perjalanan ini kemudian aku berharap lebih banyak, karena terlanjur jatuh cinta.
"Juwita..." panggilnya menarikku dari lamunan. Suaranya kembali bergetar. Emosinya kembali bangkit. Air matanya menetes lagi. Sungguh baru kali ini kulihat seorang pria dewasa menangis. Apalagi, pria itu setegar dan segagah mas Hamdan. Hendak ku peluk untuk menenangkan, namun gejolak di hatiku sendiri sulit diredam. Berharap terlalu tinggi, hingga ketika jatuh sakitnya parah sekali. Itu aku, istri yang selalu menderita di dalam pernikahannya.
Aku masih kecewa karena terlalu mendamba. Berhari-hari menunggu dengan setia. Tak berani bertanya atau meminta. Dan tiba-tiba... ia berkata, "Juwi, izinkan aku menceraikanmu supaya kau bisa memenuhi hasratmu sebagai wanita muda. Izinkan aku memberimu harta, agar hidupmu tidak terlunta-lunta setelah menjanda. Izinkan aku menyekolahkan anakmu, agar ia bisa memilih pendidikan yang ia suka. Dan terakhir, izinkan aku meminta maaf untuk semua rasa yang aku punya." (NRA)
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Tanpa Jeda [ SUDAH DITERBITKAN ]
Romansa❤️ Kisah Drama Romantis tentang Juwita, seorang wanita muda yang terjebak menjadi istri ketiga dari seorang pria paruh baya yang kaya raya. Adalah Hamdan, pria tersebut. Ia memutuskan menikah lagi di usianya yang tak lagi muda. Bagaimana kisah cinta...