Malam Pengantin

3.2K 150 2
                                    

Malam pertama bagi sepasang pengantin tentunya sangat mendebarkan. Namun bagaimana jika itu adalah malam pertama antara janda dengan pria beristri dua? Apakah debar itu tetap ada? Masih indah atau malah hambar seperti sayur asem tanpa garam?

Tanya itu berkeliaran di benakku. Bagaimanapun aku adalah wanita normal yang mendamba cinta. Namun sangat pasrah dalam menerima keadaan. Banyak orang yang bermimpi bisa menikah, tapi berakhir sebagai jomblo seumur hidupnya. Ada yang hidupnya harmonis bersama pasangan, namun tak diberkahi keturunan.

Setiap manusia pasti punya ujiannya masing-masing. Nah, bagiku, memiliki suami yang diragukan 'kejantanannya' termasuk bagian dari ujian itu. Karena pernikahanku sebelumnya yang berlandaskan cinta telah porak poranda.

Walaupun gagal bahagia dari pernikahan pertama, namun aku tetap bersyukur. Tak menyesal sedikit pun sudah memilihnya. Sebab darinya aku memiliki Arka. Anugerah terindah, buah hati yang membuatku kuat dan tegar dalam menjalani kehidupan.

***

Rumor bahwa aku bau seperti ikan asin sengaja dihembuskan oleh sang mantan. Mungkin agar tak ada lagi yang mau denganku. Namanya juga di kampung, berita apapun cepat sekali menyebar. Banyak orang yang nyinyir mencibir. Mungkin mereka fikir itu benar.

Namun percayalah, itu semua hanyalah fitnah. Mantanku cuma butiran debu. Satu dari sekian banyak suami yang hobi mencela istri. Dan apesnya, dia mencela tiap hari dan suka mengumbarnya kesana kemari. 

Pak Hamdan juga mendengar rumor tersebut. Alih-alih mundur teratur, ia justru ingin segera menikahiku. Katanya kami senasib. Selalu jadi bahan pergunjingan karena urusan ranjang. Betapa malunya. Entah mengapa, aku merasa Hamdan sangat bijaksana.

Tunggu-tunggu, jangan-jangan aku mulai mengaguminya !!! Oh, bukankah ini terlalu cepat?  

***

“Alhamdulillah sekarang kamu sudah sah jadi anggota keluarga kami,” sambut Arum, istri pertama Hamdan setelah upacara akad nikah usia digelar. Istri pertama memelukku. Sepertinya ia ramah.

“Iya Mbak, mohon bantuan dan bimbingannya,” jawabku.

“Ah kamu jangan rendah hati gitu. Membuat kami malu aja. Kamu kan janda, pasti banyak dong pengalamannya. Sedang kami dinikahi dalam kondisi gadis. Jadi kami yang harus belajar dari kamu.” Kata Riris, istri keduanya menimpali.

Entah mengapa aku merasa kata-kata itu merupakan sindiran. Istri kedua agak judes kayaknya.

Tak lama kemudian Hamdan masuk ke dalam rumah. Rupanya para tamu sudah pulang. “Kalian juga pulanglah ke rumah masing-masing. Biarkan satu minggu ini aku bersama dengan Juwi. Sebab dia pengantin baruku jadi butuh waktu untuk menyesuaikan diri.” Perintah suamiku kepada kedua istrinya. 

“Iya mas,” kata istri pertama. “Besok jadi kasih uang untuk liburan kan? Karena kita pasti kesepian kalau mas menghabiskan malam bersama Juwita seminggu lamanya.”

“Iya besok aku kasih uang. Datang pagi-pagi ya. Jadi kalian bisa mulai berkemas malam ini dan siangnya bisa berangkat bersama Tarno,” jawab suamiku menyebutkan nama sopirnya.

“Mas aku udah punya rencana. Besok pagi mau ke rumah ibu. Sudah lama aku tidak mengunjunginya. Bolehkan aku berada di sana satu bulan ini?” Tanya istri kedua. 

Kening suamiku berkerut. “Sebulan itu kelamaan. Mau ngapain di sana lama-lama? Nanti jadi omongan orang. Dikira enggak akur sama istri baru dan menghindar. Satu minggu aja cukup. Setelah itu segera pulang karena nggak baik wanita pergi dari rumah lama-lama.” Jawab suamiku dengan nada suara yang lembut tapi tegas. Menurutku dia punya kharisma sebagai suami.

Kulihat raut wajah istri kedua kurang puas dengan keputusan itu. Tapi ia tidak membantah dan mengangguk setuju. Lantas mereka berdua pulang ke rumah masing-masing.

Asa Tanpa Jeda [ SUDAH DITERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang