5

8.5K 700 37
                                    

Mata itu mengerjap dengan pelan. Suasana di sekitarnya terasa begitu sepi.

Saat pandangannya sudah tidak memburam Adlan lantas memandang sekitarnya.

Lagi-lagi ia menghela nafas lalu tersenyum sendu.

Di saat seperti ini benar-benar tidak ada yang datang. Ia benar-benar sendiri.

Dengan pelan Adlan bangun dan berjalan keluar kamar. Ia merasa sangat lapar. Mudah-mudahan masih ada yang bisa ia makan saat ini.

Melihat hari menunjukkan pukul 1 pagi Adlan yakin bahwa orang rumah sudah terlelap.

Sesampainya di ruang makan Adlan lantas tersenyum pahit. Tidak ada makanan apapun. Hanya ada air putih seperti biasanya.

Adlan meremas perutnya pelan. Ia benar-benar lapar. Matanya mulai berkaca-kaca memikirkan nasibnya kini.

"Ngapain kamu malam-malam disini?" tanya Ayah yang tiba-tiba datang dengan setelan piyama di ikuti Ibu di belakangnya.

Adlan lantas menundukkan kepalanya takut.

"Adlan lapar Yah" ujar Adlan pelan. Tidak berharap banyak bahwa mereka akan peduli.

Suasananya begitu canggung. Adlan merasa dadanya sesak sekarang. Mereka layaknya orang asing.

Adlina dengan akrabnya bersenda gurau dengan Ayah dan Ibu.  Tetapi dirinya? Bahkan untuk menatap orang tuanya Adlan tidak berani.

Tidak menjawab, Ibu langsung melewatinya dan berjalan menuju lemari pendingin.

Sedangkan Ayah langsung duduk di kursi. Adlan meremat jemarinya dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"Adlan ke atas duluan Yah" pamit Adlan lantas berjalan menuju tangga.

Di saat yang bersamaan air matanya lantas meluncur dengan bebas melewati pipinya yang tirus. Wajahnya semakin pucat dengan keringat dingin yang kembali menguasai tubuhnya.

Kepala Adlan mulai terasa pusing. Pandangannya mulai memburam.

Ia meremas perutnya saat merasakan perih itu menghampiri. Ia sangat lapar.

Tanpa menutup pintu Adlan masuk ke dalam kamar.

Dengan pelan Adlan duduk di tepi kasur. Tangannya masih sibuk meremas pelan perutnya. Tangisnya tak kunjung berhenti.

"Ya allah.." lirih Adlan yang semakin meremas perutnya.

Kini Adlan membaringkan tubuhnya sambil terus berdoa agar rasa sakitnya mereda. Bibirnya tidak berhenti membacakan doa di selingi ringisan-ringisan.

¤¤¤

Paginya seperti biasa semua orang kembali memulai aktivitas mereka.

Setelah mengantar Adlina, Hendra pun kembali kerumah. Ia tidak akan ke kantor hari ini.

Ia ingin mengerjakan tugasnya yang menumpuk itu dirumah saja.

Saat tiba-tiba terdengar ringisan Hendra lantas menghentikan langkahnya.

Ditatapnya pintu kamar berwarna putih yang sedikit terbuka tepat di samping kirinya.

Dengan pelan Hendra melihat ke dalam kamar ity. Dari sini tampak remaja lelaki sebaya putrinya yang tengah meringkuk dengan gelisah.

Adlan, lelaki itu adalah Adlan. Anak yang tak pernah ia hiraukan kehadirannya.

Dengan pelan Hendra masuk ke dalam kamar Adlan. Hendra dibuat kaget dengan wajah pucat Adlan yang begitu ketara.

Tubuh Adlan juga berkeringat.

"A-ayah" lirih Adlan dalam pejaman matanya. Hendra seketika termangu di tempat.

Lagi, Hendra di buat terkejut saat tangan Adlan dengan kuat meremas perut bagian kirinya.

Adlan tidak tidur. Ia sadar ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Namun untuk membuka matanya Adlan tidak sanggup. Kepalanya terasa begitu pusing.

Hendra lantas duduk di tepi tempat tidur. Menyingkirkan dengan pelan tangan Adlan yang meremas perutnya dengan brutal.

Dada Hendra terasa sesak saat melihat air mata itu meluncur dari mata Adlan.

Ringisan serta wajah pucat Adlan semakin membuatnya merasa hancur. Hendra tidak bisa berbohong bahwa ia khawatir melihat keadaan Adlan yang seperti ini.

¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

ADLAN️ (SUDAH TERBIT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang