7

8.8K 755 76
                                    

Malam sudah semakin larut. Bulan dan bintang tak ingin menampakkan diri malam ini. Membuat kesan malam ini terasa begitu gelap.

Di dalam kamar tepatnya diatas kasur Adlan masih meringkuk kedinginan. Adlan menggigil.

Matanya memerah dengan tangan yang masih meremas perutnya. Malam sudah terlalu larut namun Adlan belum bisa memejamkan matanya.

Sedari siang Ibu belum kembali untuk membawakan makanan. Ayah juga tidak kembali lagi ke sini.

Sudah berulang kali Adlan menatap pintu, berharap Ibu atau Ayah datang membawakannya sedikit makanan.

Namun sampai detik ini belum ada satu pun dari mereka yang datang untuk melihat keadaannya.

Tanpa di cari tau Adlan tentu bisa menebak bahwa kedua orang tuanya tengah sibuk memikirkan Adlina.

Dengan matanya yang mulai berkaca-kaca Adlan pun bangkit dari pembaringannya.

Kepalanya terasa begitu pusing saat ini. Demi apapun Adlan juga merasa lapar.

Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan pelan. Adlan tidak mengangkat pandangannya. Ia lebih memilih memikirkan rasa pusing yang menyerangnya.

"Adlan" panggil suara lembut itu.

Adlan lantas mendongak menatap Ibu yang berdiri didepannya.

Tidak ada makanan apapun yang dibawa oleh Ibu. Adlan lagi-lagi merasakan sesak yang seolah menghimpit dadanya.

"Ibu minta maaf, ibu kelupaan bawain kamu makanan. Makanannya juga uda habis,  Adlan makan nasi goreng aja gapapa kan?"

"Ibu dari mana?" tanya Adlan pelan.

"Adlina sakit nak, Ibu sama Ayah panik sampe kelupaan sama kamu. Maafin Ibu ya" ujar Ibu menyesal.

Adlan hanya mampu mengangguk pelan. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Ibu masakin nasi goreng sebentar ya" ujar Ibu dan hendak melangkah keluar kamar namun Adlan langsung menahannya.

Adlan lantas menggeleng pelan.

"Adlan uda gak lapar kok. Ibu istirahat aja atau jagain kakak aja, Adlan mau tidur dulu ya" ucap Adlan lirih.

Belum sempat Ibu menjawab Adlan sudah membaringkan tubuhnya, menyelimuti diri sendiri lalu memejamkan matanya.

Tidak ada gunanya bagi Adlan untuk berharap apapun. Rasa sakit di perut, hati, serta tubuhnya ia acuhkan. Jikalau tidak ada yang peduli kenapa Adlan harus peduli?

Kenapa ia harus repot memikirkan bagaimana caranya bisa sembuh? Toh tidak akan ada yang peduli.

Terdengar langkah kaki menjauh lalu diakhiri dengan suara pintu yang ditutup.

Adlan kembali tersenyum sendu dalam pejaman matanya. Lupa? Lucu sekali rasanya saat mendengar bahwa Ibu melupakannya. Ah, selama ini juga begitu kan?

¤¤¤

"Kamu darimana?" tanya Hendra saat melihat Reni memasuki kamar Adlina.

Adlina sudah tidur sedari tadi. Namun Hendra enggan meninggalkan putrinya barang sejenak saja.

"Kamar Adlan" jawab Reni pelan.

Hendra mengernyit bingung.
"Ngapain?"

Reni menghela nafas sebentar,
"Adlan sempat nitip dibawain makanan tapi aku lupa"

Hendra terdiam sejenak.

"Jadi dia belum makan sampek sekarang?" tanya Hendra.

Reni mengangguk,
"Aku tadinya mau masakin nasi goreng tapi Adlan bilang dia mau tidur aja. Aku malah disuruh istirahat atau jagain Lina aja" balas Reni dengan raut wajah gelisah.

Hendra tertegun. Dengan cepat ia bangkit dari duduknya.

Saat sampai didepan kamar Adlan, tangannya dengan pelan membuka pintu kamar itu.

Hendra kembali mengutuk dirinya saat melihat wajah pucat Adlan dengan keringat yang membasahi wajah putranya.

Adlan juga meringis kesakitan dengan bibir yang sudah tampak pucat melebihi tadi saat ia mau berangkat menjemput Adlina.

¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

ADLAN️ (SUDAH TERBIT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang