2

10.8K 719 31
                                    

Senin pagi adalah hari yang paling dihindari oleh sebagian murid dengan berbagai macam alasan.

Tapi hal itu tidak membuat semangat Adlan untuk berangkat ke sekolah pupus sedikit pun.

Bahkan kini ia sudah siap lengkap dengan seragam khas anak SMA miliknya.

Pagi ini sama seperti pagi biasanya. Tidak ada yang spesial.

Dengan menenteng tas hitam miliknya kini Adlan bersiap untuk sarapan.

Belum dirinya sepenuhnya turun Adlan kembali merasakan sesak. Dimeja makan tampak Ayah, Ibu , dan Adlina tengah sarapan sambil bersenda gurau.

Adlan termangu ditempatnya. Netranya menyimpan baik-baik ekspresi bahagia mereka. Lalu tatapan Adlan tertuju pada berbagai macam makanan dimeja makan.

Ingin rasanya dirinya bergabung disana, menjadi bagian dari kebahagiaan mereka.

Tapi lagi-lagi Adlan menggeleng pelan. Ia tidak mungkin sejahat itu untuk menghancurkan kebahagiaan mereka dengan kehadirannya.

Tanpa mengucapkan apapun Adlan berjalan menuju pintu utama untuk berangkat sekolah. Tanpa sarapan sama sekali.

"Ayah, Ibu, Adlan berangkat dulu" ucap Adlan pelan yang jelas hanya Adlan saja yang bisa mendengarnya.

Jarak rumah ke sekolahnya tidaklah jauh maka dari itu Adlan lebih memilih jalan kaki saja.

Motor yang dibelikan Opa jarang sekali ia gunakan jika tidak untuk hal yang penting.

Mengingat itu Adlan jadi merindukan Opa yang sudah duluan pergi.

Sementara Adlina berangkat sekolah diantar jemput oleh Ayah. Sesibuk apapun Ayah, pria paruh baya itu akan mengusahakan apapun demi Adlina.

Hal itu membuat Adlan kembali tersenyum miris.

Ingatannya memutar dimana tidak ada kenangan khusus tentang kebahagiaan dalam hidupnya.

Adlan bingung. Ia anak yang sehat tanpa cacat sedikit pun. Ia anak yang cukup berprestasi pula. Tapi kenapa mereka mengabaikannya?

Dirinya terlahir sama dengan Adlina. Dihari dan tanggal yang sama pula. Tapi kenapa mereka mengabaikannya?

Adlan lalu menggelengkan kepalanya pelan. Berusaha dengan keras menepis semua pikiran buruk yang membuat suasana hatinya menjadi buruk.

Setelah berjalan sambil bersenandung kecil Adlan kini akhirnya telah sampai di area sekolah.

Senyum manisnya terpatri dengan jelas di wajahnya.

"Adlina!" panggil seorang gadis berambut sebahu yang sontak saja membuat Adlan menghentikan langkahnya.

Cowok itu pun berbalik dan dapat melihat kembarannya baru saja turun dari mobil.

Lalu selanjutnya sang Ayah keluar dari mobil.

Interaksi mereka tidak pernah luput dari pandangan Adlan. Meski menyakitkan Adlan tetap memaksa dirinya untuk tetap disitu.

Dapat Adlan lihat sang Ayah tersenyum hangat lalu tampak berbincang dengan Adlina dan temannya tadi.

Senyum itu, senyum yang sama persis dengan dirinya. Namun, senyum itu tidak pernah diberikan untuknya.

Bahkan setelah Adlina berlalu dengan temannya Adlan masih tetap diam di posisinya.

Lalu saat pandangan sang Ayah teralih dan tak sengaja melihatnya, yang mampu Adlan lakukan hanyalah tersenyum hangat lalu berlalu dari sana.

Bersamaan dengan rasa sesak yang menghujam dadanya. Tidak ingin melihat reaksi sang Ayah saat melihat dirinya.

Namun, tanpa Adlan tau, dibelakang sana sang Ayah tampak tertegun saat melihat senyumnya yang begitu hangat dan begitu mirip dengannya.

Entah kenapa ada rasa sesak yang tiba-tiba masuk ke relung hatinya saat melihat senyum itu. Senyum dari anak yang tak pernah ia anggap kehadirannya.

¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

ADLAN️ (SUDAH TERBIT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang