4

8.6K 702 15
                                    

Kini Adlan telah sampai dirumah. Perutnya sudah berdemo sedari tadi meminta untuk di isi.

Dengan sedikit harapan Adlan lantas berjalan menuju meja makan. Namun lagi-lagi Adlan harus tersenyum pahit.

Di meja makan bahkan hanya tersedia seteko besar air putih. Tidak ada makanan apapun.

Adlan bisa menebak bahwa keluarganya sudah makan siang dan tidak menyisakan makanan apapun untuknya.

Tangan ringkih Adlan pun akhirnya mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya.

Begitu satu gelas habis ia teguk kini segelas lagi ia minum. Ia kenyang sekarang. Ya walaupun itu tidak akan bertahan lama setidaknya itu sudah lebih dari cukup.

Lalu dengan langkah ringannya Adlan berjalan menuju kamar. Ia ingin mengerjakan beberapa tugas dari sekolah.

15 menit kemudian..

Adlan menyerah. Ia sudah mengerjakan 5 dari 7 soal matematika. Namun 2 soal lagi tidak ia mengerti sama sekali.

Sempat berfikir sejenak sebelum akhirnya Adlan keluar dari kamar sambil membawa buku matematikanya.

Tok tok

"Kak?" panggil Adlan setelah mengetuk pintu kamar Adlina.

Tidak ada jawaban sama sekali.

Tok tok

Kembali tidak ada sahutan.

Adlan menyerah.

Kini kakinya melangkah menuju ruang kerja Ayah. Saat baru tiba dirumah tadi Adlan sempat melihat mobil Ayah di halaman rumah.

Itu berarti Ayah tidak kembali ke kantor lagi.

Jantung Adlan kembali berdetak kencang saat langkahnya semakin mendekati ruang kerja Ayah.

Pintu ruang kerjanya terbuka sedikit sehingga Adlan bisa mengintip melalui celah yang ada.

Lagi-lagi Adlan kembali menelan pil pahit. Disana, tampak Ayah, Ibu, dan Adlina yang tengah duduk di sofa besar.

"Besok-besok kalau ada tugas tapi kakak gak ngerti tanya langsung aja ke Ayah, siapa tau Ayah bisa bantu" ujar Ayah sambil mengelus lembut rambut Adlina.

"Iya, selagi Ayah atau Ibu bisa bantu kakak datang aja" tambah Ibu dengan lembut.

Adlina tersenyum dengan tangannya yang membentuk pola hati lantas membalas,
"Makasih ya Yah, Bu, kalian emang yang terbaik deh"

Ayah terkekeh kecil dengan Ibu yang ikut tersenyum geli melihat tingkah Adlina.

Sedangkan Adlan di luar pintu kini menegakkan tubuhnya. Tangannya gemetar saat dirinya memandang sendu buku tugas matematikanya.

Rasa sesak itu kian ketara saat kini Adlan mendengar suara tawa dari dalam sana.

Adlan ingin menjadi bagian dari mereka. Menjadi alasan mereka tersenyum dan tertawa.

Lalu kakinya membawa Adlan melangkah kembali menuju kamar.

Ia tau bahwa tugasnya tidak akan selesai. Dan balasannya besok ia akan di hukum. Hanya karna 2 soal yang tidak ia mengerti.

¤¤¤

Malam telah tiba. Langit menjadi gelap gulita tanpa adanya sinar bulan.

Di dalam kamar yang terang Adlan tengah menahan pusing yang kian ketara.

Perutnya terasa seperti diremas-remas. Pandangannya memburam diikuti dengan keringat dingin yang sampai membasahi kaos hitam pudar miliknya.

"A-ayah" lirih Adlan dengan tangan yang meremas perutnya.

Air mata mulai mengalir dari pipinya. Melewati wajahnya yang pucat lalu jatuh menetes di atas tempat tidur.

"S-sakit" lirih Adlan lagi.

Namun sebanyak apapun ia berharap lagi-lagi yang ia terima hanya kesendirian.

Tidak akan ada yang datang. Tidak akan ada yang menolong. Tidak akan ada yang peduli.

Tidak akan ada tangan yang sudi membantunya. Adlan semakin menangis dengan tangan yang semakin mencengkram kuat perutnya.

Detik berikutnya semuanya gelap. Adlan jatuh tak sadarkan diri.

¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

ADLAN️ (SUDAH TERBIT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang