6

8.7K 687 29
                                    

"Adlan" panggil Hendra dengan pelan pada putranya itu.

Adlan dapat mendengarnya. Perlahan ia membuka matanya. Rasa pusing itu semakin menerpa dirinya saat ini.

Mata Adlan berkaca-kaca. Dirinya menatap tidak percaya pada sosok yang kini menatapnya khawatir.

Ini bukan mimpi, ini nyata.

"Kamu denger Ayah kan?"  tanya Hendra lagi saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari Adlan.

Adlan masih tidak menjawab. Dirinya masih tidak percaya akan sosok Ayahnya yang kini ada dihadapannya.

Hendra semakin kalang kabut saat Adlan tidak menjawab satu pun pertanyaannya.

Saat dirinya ingin bangkit untuk memanggil Reni, istrinya, tangannya ditahan oleh tangan hangat milik Adlan.

"Ayah" lirih Adlan.

Hendra kembali duduk lantas setelahnya memegang kening Adlan. Panas.

"Mana yang sakit nak? Kasih tau Ayah" ujar Hendra pelan sembari mengelus lembut surai Adlan.

Adlan membisu. Air matanya keluar sesaat setelah mendengar pertanyaan Hendra.

"Reni!" teriak Hendra berharap istrinya itu bisa segera datang.

Dan benar saja, tak lama kemudian Reni masuk dengan canggung serta raut wajah yang terlihat bingung.

"Mas kenapa disini?" tanya Reni bingung.

"Adlan demam, tolong ambilkan kompresan buat Adlan"

Reni mengangguk patuh. Wanita itu keluar dari kamar dan tak lama setelahnya kembali lagi dengan handuk dan baskom kecil berisi air.

"Ayah" panggil Adlan pelan.

Hendra langsung mendekat dan memegang tangan putranya.

"Kenapa hm? Kita kerumah sakit aja ya" ajak Hendra namun di jawab gelengan oleh Adlan.

"Ayah disini aja, Ibu juga" pinta Adlan dan di setujui oleh Hendra.

Reni yang memasangkan kompresan pun hanya menyimak dalam diam saja.

Tangannya terulur mengelus rambut Adlan pelan. Hal yang belum pernah ia lakukan sedari dulu. Adlan hanya dirawat oleh pengasuh dulu.

Saat dirinya memasuki umur 7 tahun Adlan terpaksa mandiri sebab pengasuhnya tidak pernah kembali. Alias sengaja di berhentikan.

Ia tidak pernah membenci kehadiran Adlan. Suaminya lah yang membenci kehadiran Adlan.

Tiba-tiba ponsel Hendra berbunyi. Hendra yang menyadarinya pun langsung mengangkat ponselnya.

"Iya Ayah ke sana sekarang. Kamu tunggu disitu aja jangan kemana-mana" ujar Ayah terdengar khawatir.

"Ren, aku mau ke sekolah Adlina dulu ya"

Reni yang bingung pun lantas bertanya,
"Adlina gak kenapa-napa kan mas?"

"Adlina tadi pingsan makanya tadi dia minta jemput"

Reni mengangguk lantas menyuruh Hendra bergegas menjemput putri mereka.

"Ayah" panggil Adlan pelan. Hendra dan Reni pun menoleh lantas mendekati kasur Adlan.

"Ayah disini aja" pinta Adlan lemah.

Hendra terdiam. Namun detik selanjutnya ia menggeleng. Tanpa berpamitan pada Adlan ia keluar dari kamar dengan tergesa-gesa.

Putrinya sedang dalam kondisi tidak baik juga. Putrinya lebih membutuhkan dirinya sekarang.

Sementara Adlan hanya mampu tersenyum pahit. Ia memandang sendu langit-langit kamarnya.

Seharusnya sedari awal ia tidak berharap banyak. Nyatanya apapun yang terjadi Adlina adalah yang nomor satu. Adlan ada di urutan kesekian.

Walau Hendra bersikap seperti itu karena iba pada dirinya yang sekarang. Tak masalah. Asalkan Ayahnya itu mau disampingnya walau sejenak.

"Adlan" panggil suara lembut itu yang membuat Adlan menoleh.

Adlan lantas tersenyum hangat. Kali ini hanya ada Ibunya. Adlan tidak mau berharap banyak.

Bila Ibunya pun ingin meninggalkannya, yasudah.

"Bisa Ibu tinggal sebentar kan? Ibu mau nyiapin makanan buat kakak kamu"

Adlan mengangguk pelan. Tidak menjawab apapun bahkan kini ia malah tersenyum.

"Ibu" panggil Adlan yang membuat langkah Reni terhenti di ambang pintu.

"Kalau Ibu sempat tolong buatin Adlan makanan ya, Adlan lapar bu" pinta Adlan yang hanya di angguki oleh Reni.

Pada benaknya Adlan kembali merasa sedih. Satu pertanyaan, apakah Ibunya akan mengingat hal seperti itu?

¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

ADLAN️ (SUDAH TERBIT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang