Prolog

331 36 3
                                    

Di sebuah kota kecil di pinggiran Heidelberg, Jerman, hiduplah seorang gadis bernama Aisha Hagya Saliqah. Ia adalah seorang mahasiswa asal Indonesia yang saat ini menempuh pendidikan di salah satu universitas di kota ini.

Sejak kecil, Saliqah dibesarkan dalam keluarga yang kuat dalam iman, di mana nilai-nilai Islam diajarkan dengan penuh kasih oleh orang tuanya. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah, dan ibunya seorang dosen. Saliqah tumbuh di tengah keluarga yang hangat dan harmonis; kedua orang tuanya menanamkan dan mengajarkan Aisha tentang makna cinta, kasih sayang, kebaikan, dan pengertian dalam kebenaran. Hal ini membuat Saliqah tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas.

Kecerdasannya terbukti dengan diterimanya Saliqah di salah satu universitas di kota Heidelberg, Jerman.

"Iya, Ayah, ini Saliqah sudah selesai salat, kok," ucapnya di depan laptop yang saat itu menampilkan wajah kedua orang tuanya.

"Alhamdulillah. Ingat ya, Nduk, jangan sampai kamu tinggalkan salatmu. Jangan terbawa pengaruh di sana ya, Nduk," ucap Ayahnya mewanti-wanti.

"Ayah, Saliqah sudah hampir tiga tahun di sana, nggak pernah 'kan dia berubah dan selalu taat! Jelas, salatnya nggak bakal dilupakan! Ayah kok masih khawatir aja," kata Ibu, terdengar kesal karena Ayah masih saja khawatir.

"Iya, Ayah. Justru di sini menambah wawasan dan ilmu Saliqah, Ayah. Insyaallah, keimanan ini akan selalu teguh. Doakan saja selalu, ya," ucap Saliqah mencoba memberi pengertian kepada sang Ayah.

"Tuh, dengar! Ya, harusnya didoakan anaknya!" Ayah hanya bisa diam, kalah telak melawan dua perempuan beda generasi ini.

"Hm, Ayah, Ibu, boleh ya, obrolannya kita sudahi? Ini Saliqah harus berangkat ke kampus," ucapnya berpamitan.

Ayah dan Ibu menganggukkan kepala sambil tersenyum kepada anak bungsunya yang berada jauh di sana.

Setelah selesai mengobrol dengan kedua orang tuanya guna mengobati rasa rindu akan rumah, Saliqah segera bersiap untuk pergi ke kampus.

Saliqah berjalan menyusuri trotoar, melihat sekeliling dengan penuh rasa syukur. Ia mengenakan jaket musim dingin, menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh mahasiswa dari berbagai negara.

Tiba-tiba, ia melihat sosok yang familiar di kejauhan. Itu adalah Suhita Aqiyyah, salah seorang sahabatnya. Mereka saling mengenal karena sama-sama mahasiswa asal Indonesia.

Gadis kelahiran Aceh itu berlari ke arah Saliqah dengan mata berbinar dan senyum lebar. "Saliqah!" panggilnya heboh.

Mereka berpelukan erat, merasakan hangatnya persahabatan yang telah terjalin sejak lama.

"Assalamualaikum, Iyyah," ucap Saliqah.

"Waalaikumussalam. Kamu dari mana, Sal?" tanya Iyyah.

"Dari dorm dong. Kamu sendiri?" tanya Saliqah.

"Aku dari kampus, ada kelas pagi tadi. Setelah itu aku langsung ke lab untuk membantu profesor membuat formula," jawab Iyyah.

"Oalah, ya sudah, kalau gitu aku duluan ya, Iyyah. Mending kamu pulang dan istirahat," ucap Saliqah dengan perhatian.

"Iya, ini aku sudah ingin pulang dan tidur. Setengah hari ini begitu melelahkan," jawab Iyyah.

"Kalau gitu aku duluan ya, Sal. Tschüss! Assalamualaikum!" lanjut Iyyah berpamitan.

"Waalaikumussalam. Seien Sie vorsichtig. Tschüss!" Setelah pertemuan singkat dengan Iyyah, Saliqah melanjutkan perjalanannya menuju perpustakaan universitas.

Setibanya di perpustakaan, Saliqah merasakan suasana tenang yang biasanya mengundang inspirasi. Ia menuju rak buku yang tinggi, mencari referensi untuk tugasnya. Tangannya meraih sebuah buku tebal yang terletak di sudut rak, tetapi sebelum ia bisa menariknya, tangan lain juga meraih buku yang sama.

"Entschuldigung, welches Buch möchtest du nehmen?" tanya seorang pria berkemeja biru.

Saliqah menganggukkan kepala sambil mengambil buku yang diberikan oleh pria di depannya.

"Indonesisches Volk?" tanya Saliqah.

"Iya, kamu juga pasti," pria itu menebak, dan Saliqah mengangguk pelan.

"Berarti tidak salah orang saya. Kalau nggak salah, kita pernah bertemu di kedutaan," ucap pria itu.

Saliqah berpikir sejenak. Memang, ia ingat sosok ini dari acara di kedutaan beberapa bulan lalu. Pria ini adalah yang membuat Iyyah heboh karena mereka berdua memakai baju dengan warna yang sama persis.

"Oh iya, ingat. Yang pakai baju abu-abu hitam juga 'kan?" tanya Saliqah.

Pria itu tersenyum tipis, mengingat kejadian beberapa bulan lalu, di mana di antara puluhan orang Indonesia, gadis ini memiliki warna baju yang sama persis dengannya.

"Eh iya, saya jadi ingat juga. Baju kita kebetulan sama warnanya," kata pria itu.

Saliqah mengangguk, membenarkan ucapannya.

"Kamu kuliah di sini juga?" tanya pria itu.

"Yaps, jurusan kimia murni," ucap Saliqah.

Pria itu mengangguk.

"Kalau kamu sendiri? Eh, iya, btw siapa namanya?" tanya Saliqah.

"Filsafat. Nama saya Rajas," ucapnya memperkenalkan diri.

"Salam kenal, Mas Rajas," ucap Saliqah, dan Rajas hanya menganggukkan kepala.

"Oh ya, kamu mau ambil buku ini? Silakan, saya rasa ini relevan dengan major kamu." Rajas menyerahkan buku yang tadi ingin diambil Saliqah.

Saliqah menerimanya. "Danke," ucap Saliqah.

"Kalau begitu saya duluan, Saliqah. Tschüss, wir sehen uns," ucap Rajas.

Saliqah mengangguk. "Wir sehen uns wieder."

Saliqah menatap punggung Rajas yang menjauh, meninggalkan perpustakaan. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya penasaran, meskipun mereka baru dua kali bertemu secara kebetulan. Ia menghela napas panjang, kembali fokus pada tugasnya. Buku yang baru diambilnya dari rak kini tergeletak di meja, siap untuk dibaca.

Beberapa jam berlalu, dan Saliqah tenggelam dalam bacaan dan catatan-catatan yang dibuatnya. Di balik ketenangan perpustakaan, pikirannya sering kali melayang ke rumah, ke Indonesia. Rasa rindu kadang muncul dengan tiba-tiba, dan itu adalah hal yang tak bisa ia kendalikan. Namun, kesibukan kuliah dan hidup di negara asing menjadi cara yang cukup efektif untuk menenggelamkan rasa itu.

Setelah cukup lama berada di perpustakaan, Saliqah memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Saat ia melangkah keluar dari gedung, udara dingin segera menyambut. Ia menarik syal lebih erat ke lehernya dan mempercepat langkah menuju halte bus.

Author note: Selamat membaca. Semoga bacaan ini bisa menghibur para pembaca. Terima kasih juga karena sudah mau membaca cerita yang banyak kekurangannya ini, ambil baiknya, buang buruknya.

Simpul Dua Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang