Pandu dan Iyyah, dengan gaya yang ceria dan santai, mendekat ke meja mereka. Pandu membawa nasi jinggo untuknya dan Iyyah, sementara Iyyah menatap mereka dengan senyum nakal di wajahnya.
"Eh, kalian lagi ngobrol serius ya? Kok dari jauh kelihatan kaya seru gitu," tanya Pandu sambil duduk di sebelah Rajas.
Iyyah, yang sudah lama kenal dekat dengan Saliqah, tidak mau ketinggalan meledek. Dia melipat tangannya di depan dada, matanya berkilat jahil. "Dan coba lihat kalian berdua ini. Kok bisa bajunya sama terus? Kali ini sama-sama pakai warna navy! Apa kalian sengaja, atau memang tanpa sadar telepati?"
Saliqah tertawa kecil, sembari melirik sekilas pada pakaiannya sendiri dan baju Rajas. Memang, tanpa disengaja, mereka berdua mengenakan warna yang sama—navy, warna gelap yang netral, namun elegan. Saliqah mencoba membela diri, tetapi rona merah muda sudah mulai merayap di pipinya. "Ah, kebetulan aja, Iyyah. Jangan berlebihan."
Namun, Iyyah justru semakin semangat. "Oh, iya? Kebetulan? Pas itu, pas acara di kedutaan kalian juga warnanya mirip loh, ingat nggak? Hmmm... sepertinya kebetulan ini sudah jadi agak sering, ya?"
Rajas hanya tersenyum, mencoba menahan tawa. "Mungkin warna navy ini memang tren baru di Heidelberg," ucapnya sambil melirik ke arah Saliqah dengan pandangan bersahabat. "Atau bisa jadi, ini strategi untuk tampil elegan di festival kuliner Indonesia."
Pandu tertawa melihat wajah Saliqah yang semakin merah. "Kalau benar begitu, kalian cocok, kok. Mungkin ada koneksi tersendiri di antara kalian. Telepati mungkin."
Saliqah menggelengkan kepalanya, tertawa lepas. "Sudah ah. Kok malah ngebahas ini sih. Kaya nggak ada pembahasan lainnya."
Tawa berderai di antara mereka, memecah suasana yang sebelumnya serius. Kehadiran Pandu dan Iyyah membawa nuansa riang dan santai ke meja, dan percakapan mereka pun mulai bergulir pada topik-topik ringan, dari bakso, nasi jinggo, hingga cerita-cerita kocak di fakultas mereka masing-masing.
Ketika acara kuliner mendekati penghujungnya, pengunjung mulai beranjak pulang. Para panitia, termasuk Saliqah dan Iyyah, mulai merapikan peralatan. Tenda-tenda yang sebelumnya dipenuhi dengan aroma makanan khas Indonesia perlahan mulai kosong. Suasana mulai hening, hanya disertai suara angin malam yang sejuk berhembus di sekitar kota Heidelberg.
Saliqah dan Iyyah bersiap untuk pulang, mengucapkan terima kasih kepada para panitia lainnya. "Kayaknya kita harus pulang duluan," tugasmu sudah selesai kan, Yah?" ucap Saliqah.
Iyyah mengangguk, "Hmm, ini sudah selesai, yuk pamit!"
Namun, sebelum mereka benar-benar bisa pamit, Kak Rina, tiba-tiba menghampiri. "Saliqah, Iyyah, sudah mau pulang?"
Iyyah dan Saliqah dengan kompak mengangguk. "Iya nih Kak, kita sudah mau pulang."ucap Iyyah.
"Ini ada nasi jinggo untuk kalian, kaka tadi lihat Iyyah sepertinya suka banget dan Saliqah belum coba 'kan?" Kak Rina memberikan bungkusan nasi jinggo untuk Iyyah dan Saliqah.
Mata Iyyah dan Saliqah berbinar, kapan lagi akan mendapatkan makanan Indonesia gratis, memang festival kuliner Indonesia di Jerman adalah hal yang paling ditunggu oleh mahasiswa Indonesia, apalagi dikasih gratis. Bagi mahasiswa itu adalah sebuah keberuntungan, bisa merasakan masakan yang jarang dijual dan menghemat uang belanja mereka.
"Wah! Kak Rina, danke! Rezeki anak sholeha," ucap Iyyah dengan senang.
"Danke, Kak Rina. Nasi Jinggo nya pasti enak nih, tadi aku nyicip punya Iyyah sedikit, eh Alhamdulillah dapat gratis dari Kaka," ucap Saliqah. Kak Rina tersenyum lebar melihat respon kedua gadis ini yang begitu gembira.
"Ah ya, kalian pulang sendiri?" tanya Kak Rina kepada Iyyah dan Saliqah. Keduanya mengangguk bersama.
"Pandu, Rajas, sini deh!" panggil Kak Rina kepada Pandu dan Rajas yang sedang membereskan stand milik Kak Rina.
"Ada apa kak?" tanya Pandu.
"Sini-sini, kalian antar Iyyah dan Saliqah pulang dong," ucap Kak Rina yang membuat Iyyah dan Saliqah saling menatap satu sama lain.
"Eh kak, nggak usah. Dorm kami dekat kok!" Iyyah dan Saliqah kompak untuk menolak.
"Iya Kak, Pandu dan Rajas fokus bantuin kaka beberes aja," ucap Saliqah menolak dengan pelan.
Kak Rina tersenyum. "Ah, tidak apa-apa. Kalian juga sudah banyak bantu di acara ini. Pandu, Rajas, kalian bisa kan antar mereka pulang sebentar?"
Pandu langsung menyetujui. "Iya, nggak masalah, Kak," ujarnya. Rajas juga mengangguk setuju, menambahkan, "Kami juga sudah hampir selesai beres-beres di sini."
Akhirnya, Saliqah dan Iyyah tak punya alasan lain untuk menolak. Mereka berempat pun mulai berjalan meninggalkan area acara. Sepanjang jalan, obrolan ringan terus mengalir. Pandu dan Iyyah, yang memang berjiwa ceria, menghidupkan suasana dengan bercanda dan menggoda. Sementara itu, Saliqah dan Rajas hanya tersenyum, menikmati kebersamaan tanpa banyak bicara.
Saat berjalan keluar dari Altes Hallenbad, angin malam yang dingin berhembus perlahan, membuat Saliqah dan Iyyah menarik jaket mereka lebih erat. Pandu berjalan di depan, sesekali melirik ke belakang memastikan kedua temannya tak tertinggal. Rajas berjalan di sisi Saliqah dan Iyyah, mengobrol ringan tentang makanan-makanan yang tadi mereka coba. Pembicaraan mereka terus berlanjut sepanjang jalan, dari makanan hingga perbedaan budaya yang mereka alami di Jerman.
"Jadi, kalian tinggal di asrama yang sama?" tanya Rajas, sambil menyesuaikan langkahnya dengan Saliqah yang sedikit melambat saat menyusuri jalan setapak.
"Yup, dekat dengan kampus juga. Walaupun tidak persis di Neuenheimer Feld, tapi cukup nyaman dan hemat waktu untuk ke kampus," jawab Iyyah, tersenyum.
Pandu menunjuk jalan menuju stasiun tram terdekat, "Kita naik tram aja ya, lebih cepat sampai daripada jalan kaki terus."
Begitu mereka sampai di peron tram, keempatnya menunggu sambil mengobrol. Tram malam itu tidak begitu ramai, sehingga mereka mendapat tempat duduk di sudut gerbong. Saliqah duduk di samping Iyyah, sementara Pandu dan Rajas duduk di seberang mereka.
"Kalau ingat tadi suasana di Altes Hallenbad, rasanya seperti pulang ke rumah sebentar ya," gumam Saliqah.
"Betul! Apalagi lihat makanan-makanan itu, bikin kangen," sambung Iyyah dengan tatapan menerawang.
Tram berhenti di halte yang dekat dengan asrama, dan mereka berempat pun berjalan bersama menuju pintu masuk dorm. Sesampainya di depan dorm Saliqah dan Iyyah, mereka berhenti.
"Terima kasih banyak, ya, sudah mau mengantar kami," ucap Saliqah tulus.
"Ah, nggak masalah," balas Rajas santai. "Kesempatan bagus juga untuk menikmati udara malam."
Iyyah, yang biasanya selalu menggoda, tiba-tiba tampak tenang dan tersenyum lembut. "Selamat malam kalian berdua. Hati-hati di jalan pulang!"
"Selamat malam!" ucap Pandu riang sambil melambaikan tangan. "Sampai ketemu di acara berikutnya ya!"
Saliqah dan Iyyah melambaikan tangan, lalu berbalik menuju pintu dorm mereka. Di dalam hati, Saliqah merasa bahwa malam itu bukan hanya tentang festival atau bakso, tetapi juga tentang kebersamaan yang semakin berarti, baik dengan sahabat-sahabatnya maupun dengan Rajas. Ada sesuatu yang hangat dalam pertemuan ini, seolah sebuah hubungan yang kian terjalin secara alami—penuh pengertian dan rasa persahabatan yang mendalam.
"Seru ya ngobrol sama Rajas? Anaknya pintar banget kelihatannya," ucap Iyyah yang ingin menggoda Saliqah.
Saliqah melirik. "Hmmm." gumamnya yang membuat Iyyah tertawa.
Author note: Selamat membaca. Semoga bacaan ini bisa menghibur para pembaca. Terima kasih juga karena sudah mau membaca cerita yang banyak kekurangannya ini, ambil baiknya, buang buruknya.
Mohon dikoreksi jika ada suatu hal yang tidak benar atau keliru dalam tulisan yang disampaikan pada part ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpul Dua Hati
FanfictionAisha Hagya Saliqah, seorang gadis Muslimah dan Rajastah Abraham, seorang Kristiani pencari kebenaran, tak pernah menyangka bahwa takdir akan mempertemukan mereka di sebuah kampus di Jerman. Di balik perbedaan keyakinan, diskusi mendalam tentang ag...