04

139 23 0
                                    

Saliqah berjalan beriringan dengan sahabatnya, Iyyah, menuju Altes Hallenbad, sebuah pusat kegiatan di tengah kota yang hari itu ramai dengan hiruk-pikuk suara bahasa Indonesia. Festival kuliner Indonesia yang diadakan oleh komunitas mahasiswa Indonesia di Jerman selalu menjadi acara yang dinanti, bukan hanya karena kelezatan makanan yang ditawarkan, tetapi juga karena menjadi tempat berkumpulnya diaspora Indonesia yang tinggal di Jerman.

"Wow, sudah ramai ya. Tadi pas kita tinggal masih sepi," ucap Iyyah memandang orang-orang Indonesia yang ada di sana.

"Iya dong, kan tadi belum dibuka neng tempatnya." Saliqah tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Mereka berdua terlibat sebagai panitia di bagian dekorasi dan penyusunan acara, memastikan suasana festival terasa senyaman mungkin dan pernak-pernik yang menghiasi lokasi membawa nuansa khas Indonesia. Sebagai mahasiswa, kegiatan ini tidak hanya memberi kesenangan dalam memperkenalkan budaya mereka ke masyarakat internasional, tapi juga kesempatan untuk mempererat persahabatan di antara sesama anak rantau.

Di dalam gedung, aroma rendang, sate, dan nasi goreng menyeruak, memenuhi udara. Saliqah menyukai suasana seperti ini—hangat, penuh kebersamaan, seperti berada di rumah meski jauh di negeri orang.

Saliqah dan Iyyah berkeliling sekaligus memeriksa semua dekorasi, memastikan tatanan sudah sempurna.

"Sudah aman nggak sih menurutmu, Sal?" tanya Iyyah sambil memperhatikan semua stand.

Saliqah menganggukkan kepala, setuju. "Iya nih aman deh menurutku." ucap Saliqah.

"Ya udah, yuk sekarang kita cari makanan! Aku sudah lapar banget tau," ucap Iyyah dengan mata berbinar melihat makanan-makanan Indonesia yang begitu banyak.

Saliqah dan Iyyah berkeliling untuk menikmati acara. Di depan stand makanan, antrean mulai mengular. Mereka melihat beberapa wajah yang familiar—mahasiswa Indonesia, pekerja, bahkan beberapa warga Jerman yang penasaran mencoba masakan Nusantara.

Sambil berjalan, tiba-tiba Iyyah menepuk bahu Saliqah. "Eh, itu Rajas, ya?"

Saliqah menghentikan langkahnya dan menoleh. Di depan stand makanan, di antara pengunjung yang sibuk, berdiri Rajas. Saliqah tak bisa menahan rasa terkejut. Dia tak menyangka akan bertemu Rajas di sini, apalagi sebagai sesama panitia.

"Dia panitia juga?" bisik Iyyah, suaranya penuh rasa ingin tahu. Saliqah menggelengkan kepalanya, tak tahu.

"Yaa nggak tahu, kamu nanya sama aku, aku nanya sama siapa?" jawab Saliqah pelan, sedikit gugup. Sejak pertemuan mereka di acara diskusi beberapa minggu lalu, Saliqah selalu memikirkan percakapan mendalam yang mereka bagi tentang iman dan kehidupan. Rajas, meski bukan seorang Muslim, tampak tertarik dengan banyak konsep yang dijelaskan Saliqah mengenai Islam.

Saliqah dan Iyyah akhirnya mendekat ke arah Rajas yang sedang memperhatikan juga mengawasi stand makanan. Rajas menoleh dan, begitu melihat Saliqah, senyumnya melebar.

"Hey, Saliqah, Iyyah! Lama nggak bertemu," sapa Rajas, ramah.

"Rajas, apa kabar?" Saliqah menyambutnya dengan senyuman tipis.

"Aku baik." jawab Rajas. "Kalian sendiri?" tanya Rajas balik.

Saliqah mengangguk. "Alhamdulillah, kami berdua juga baik. Eh iya kamu panitia juga?" tanya Saliqah berbasa-basi.

Simpul Dua Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang