Chapter 1 : "NODA HITAM"

58 0 0
                                    

Lokasi ini berada tepat di tengah-tengah pedesaan. Desa yang sangat asri seolah-olah tak tersentuh oleh zaman. Aku dan Rima akan tinggal di sini hingga bulan depan. 

Orang tua kami, mereka akan menyelesaikan pekerjaan serius sehingga kami harus diantara ke rumah kakek ini. Kata mereka jikalau pun aku dan Rima tinggal di rumah, tidak akan ada yang mengurus, besok atau lusa mereka sudah pergi keluar kota. 

Menyebalkan untuk Rima dan biasa saja untukku. Aku sudah besar, umurku sudah 18 tahun. Berpisah dengan orang tua untuk waktu yang lama bukanlah masalah. Hanya satu bulan. Tidak lebih. 

Lagi pula tempat ini sangat nyaman. Aku menghela napas sangat dalam, lalu menghembuskannya pelan. Aku tidak menyukai buku, aku tidak menyukai sekolah, dan tempat ini adalah jawaban dari semua.

Ini adalah liburan, harus dinikmati.

Rima sudah berusia 15 tahun. Bertolak belakang denganku, entah kenapa Rima adalah perwujudanku dari kutub yang berlawanan, seperti Utara dengan Selatan atau Barat dengan Timur. Rima sangar suka membaca, kemana-mana selalu membawa buku. 

Sialnya, rumah kakek bukanlah perpustakaan tempat dia bisa lupa diri dan tidak ingat pulang. Desa ini juga, tidak ada yang menyukai buku, di kantor desa tadi siang juga hanya ada berkas desa yang ditumpuk berantakan, tidak ada bacaan yang terlalu berarti. 

Sayang, bukan Rima namanya jika tidak menyentuh buku bacaan meski itu hanya sehari. Daypack kecil miliknya bisa memuat 3-6 buku, semua itu ia bawa dari rumah untuk amunisi bacaan selama satu bulan. 

Aku berusaha mengabaikannya saat ia masuk kembali ke rumah. Aku tidak ingin dicegat lagi dengan pertanyaan seputar sejarah sebelum aku masuk ke kamar.

"Eh, tunggu dulu!"

Sial! Sudah kuduga Rima tidak akan membiarkanku masuk begitu saja. Rima masih dengan setelan pindahan dengan satu buku tebal pangkuannya. Ruang tamu milik kakek hanya punya dua bangku, dan Rima duduk di bangku paling dekat dengan pintu. Kakinya terangkat, menahan kakiku melangkah.

"Kak, harusnya krisis moneter yang terjadi waktu tahun 98 itu..."

"Tidak tahu."

"Eh, belum selesai pertanyaannya."

"Tidak peduli."

"Ya sudah, diganti." Rima menurunkan kakinya.

Aku melangkah masuk menuju pintu kamar.

"Kakak, jangan masuk dulu. Siapa raja pertama kerajaan Majapa..."

Aku langsung menutup pintu. Rima sudah seperti perpustakaan berjalan yang juga bernapas. Dari dalam kamar aku masih bisa mendengar umpatan kesalnya. Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaan itu meski seperti rutinitas saat masih di rumah, hanya saja, pikiranku sedang tidak berada di sini. 

Aku masih teringat percakapan ayah, ibu, dan kakek beberapa jam yang lalu sebelum mereka pergi. Perusahaan ayah dan ibu terlilit hutang yang besar, dan mereka harus segera menyelesaikan masalah itu. Sialnya para investor dan relasi kerja mereka hilang tanpa kabar begitu saja dalam beberapa waktu terakhir. 

Kabar angin yang kudengar, di kota memang sedang heboh tentang pembunuhan terhadap para pembisinis besar oleh pembunuh bayaran. Bisa saja mereka ketakutan dengan kabar seperti itu karena sebelum terlilit hutan ini perusahaan ayah dan ibu tergolong cukup sukses.

Kabar buruk perusahaan terlilit hutang, ayah dan ibuku harus pergi lama keluar kota. Kabar baiknya, ayah dan ibuku tidak terancam oleh para pembunuh bayaran tersebut yang tengah berkeliaran di kota. Bagian ini hanya imajinasiku saja. Katanya kabar itu memang benar.

Aku merebahkan badan di atas tempat tidur. Sedikit berderik di bagian sambungan karena ranjangnya sudah cukup tua. Aku mendongak ke luar jendela. Sore ini gelap lebih cepat dari jam yang biasa. Awan hitam terus berkumpul dan gemuruh mulai bersahut-sahutan. Sepertinya malam ini akan turun badai.

Satu jam lagi matahari tenggelam.

Celetuk Rima masih terdengar dari balik pintu. Perkiraanku ia akan segera masuk ke kamar, menggangguku dan mengganti pertanyaannya.

Mataku mengantuk, lelah, dan pikiranku tentang ayah dan ibu semakin rumit. Aku tidak habis pikir mengapa ayah dan ibu begitu mementingkan pekerjaan mereka. 

Terlilit hutang memanglah sangat menyeramkan, namun seharusnya tidak sampai menelantarkan kami seperti ini. Mungkin agak terkesan kasar, tetapi memang itulah yang kami rasakan, khususnya aku karena boleh jadi Rima belum mau memikirkan tentang ini.

Aku bukan seorang pembangkang, hanya saja hati tidak bisa membungkam mulutnya.

Sejak kecil aku diasuh oleh pengasuh anak yang diperkerjakan oleh ayah dan ibu. Hal yang sama juga berlaku untuk Rima. Pergi dan pulang sekolah kami selalu dijemput sopir pribadi. Meja makan di rumah juga tidak pernah ramai. Ayah dan ibu selalu sarapan terburu-buru dan mereka selalu pulang larut malam. 

Ruang keluarga tidak pernah terasa hangat, lebih sering hanya ada aku dan Rima. Sesekali asisten rumah tangga juga ikut bergabung meski hanya untuk menonton film keluarga namun bukan bersama keluarganya. 

Andai saja ada seorang filsuf yang membenarkan keadaanku, pastilah ia akan merangkai kalimat seperti ini.

"Saking sayangnya orang tua kepada sang anak, mereka akan memberikan segala yang ada di dunia. Mereka akan membanting tulang belulang jika perlu hingga retak, namun sayangnya mereka lupa bahwa waktu bersama keluarga adalah harta di atas semua berlian."

Aku bukan seorang pembangkang, hanya saja hati tidak bisa membungkam mulutnya.

Jika boleh berandaidan aku tahu ini mungkin tidak akan pernah terjadi. Aku ingin sekali meja makandi rumah kembali ramai dan ruangan keluarga kembali terasa hangat. Meski sudahterlambat meminta, jika pun baru bisa terwujud sekarang tidak apa-apa. Akuhanya ingin seperti keluarga yang lain. 

Hatiku iri melihat sang ibu memelukanaknya sebelum masuk ke gerbang sekolah, perasaanku teriris saat seorang ayahberadu jotos dengan putranya yang baru dapat juara satu perlombaan sekolah.Sesederhana itu yang kuminta, mungkin Rima juga. 

Waktu kecil aku tidakmemikirkan hal ini, yang kurasakan dulu hanyalah kesepian meski Rima selaluberusaha menghiburku. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan konyol tentang sejarahitu 

Rima ajukan agar aku mau berbicara dengannya, agar aku tidak terus bermurung diri dan diam, Rima hanya ingin membantu, tetapi hatiku sudah terlanjur terbungkus noda hitam. 

JIWA KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang