Cayapata? Aku sedikit mengerinyitkan dahi. Kalau tidak salah Byakta menyebut harimau setinggi dua meter itu dengan sebutan Cayapata. Lalu apa maksudnya dengan Cayapa Hitam? Membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku merinding.
"Terimakasih atas tawaran tersebut, tuan Byakta."
Salah seorang utusan akhirnya menyahut.
"Kami sadar bahwa ini adalah pilihan yang berat. Kami tidak bisa lagi membuktikan bahwa permata api sama sekali tidak ada di Majapahit. Orang-orang Adhigana juga terus mendesak memberikan sesuatu yang ada tersebut. Jikalau pun perang harus terjadi, biarlah pasukan kami saja yang berdiri tegak di medan perang dan menyatakan bahwa kami benar. Mudah-mudahan karena perbuatan itu, Adhigana mau membuka mata bahwa manusia tidak bersalah."
Jawaban itu sangat berisi, aku tidak enak hati melihat wajah Byakta dalam kondisi seperti ini. Ia baru saja ditolak. Jika dugaanku benar, orang-orang dewasa ini hanya menganggap keputusan Byakta belum lah matang, dan hanya sekedar mengikuti ego. Setelah tanggapan tersebut, suara Byakta tidak terdengar lagi.
Pertemuan usai.
"Kau mau kuantar pulang?"
Tawaran Byakta terdengar sendu. Wajahnya tampak muram. Pertemuan tadi sepertinya memukul jatuh rasa percaya dirinya.
"Tidak, aku tidak tahu harus pulang kemana."
"Sihir lintas waktu? Kau bisa menggunakannya lagi bukan?"
"Sejujurnya, aku tidak tahu mengapa aku bisa berada di sini, dan... aku juga sama sekali tidak mengerti dengan sihir lintas waktu yang kau maksud."
Aku menutup kalimat dengan nada rendah penuh ragu.
Byakta tertawa.
"Ayolah kawan, harusnya aku yang berada di posisi bersedih hati sekarang, bukan malah kau. Aku akan mengajarimu tentang masa lalu yang tidak pernah kau jumpai ini, namun malam ini sudah semakin larut, kita harus beristirahat dulu. Ayo ikut aku pulang!"
Maka melesatlah Cayapata yang kami tunggangi membelah rimbunnya hutan. Kami melompati beberapa lembah seperti tadi hingga akhirnya aku terbiasa. Cahaya rembulan juga memberiku sedikit gambaran tentang wilayah yang kami lewati.
Sama sekali aku tidak melihat gedung tinggi karena pasti memang tidak mungkin, dan hanya ada beberapa perkampungan yang kami lewati sebelum akhirnya sampai di depan sebuah air terjun.
"Ini adalah air terjun Jurang Senggani. Salah satu gerbang pemisah antara ras manusia dengan ras Indurasmi. Air terjun ini berada di tengah-tengah hutan, siapa juga manusia yang mau ke sini. Kau beruntung bisa menjadi bagian orang-orang terpiling yang dapat melihat dunia Indurasmi, meskipun caranya sedikit tidak sesuai aturan."
"Memang apa aturannya?"
"Jika kau ingin masuk tanpa masalah, kau haruslah berasal dari keturunan raja. Itu saja."
"Apa orang-orang Indurasmi akan menangkapku?" Jujur, aku sedikit ketakutan.
Byakta kembali tertawa. "Tentu saja tidak. Masalahmu di sana bukanlah orang-orangnya, namun semua makhluk seperti Cayapata dan kawanannya."
Seketika tubuhku bergidik.
"Tapi jangan terlalu dipikirkan, kau aman bersamaku."
Tanpa perlu aba-aba, Cayapata yang kami tunggangi langsung melompat ke balik air terjun yang deras. Kukira kami akan menabrak, tapi ternyata ada terowongan yang cukup besar di balik air terjun tersebut. Perlahan tapi pasti, kami bergerak menyusuri kegelapan hingga akhirnya sampai di sebuah bukit.
"Itu kerajaan kami. Sangat indah bukan?" Byakta membusungkan dada dengan bangga.
Aku ternganga diam seribu bahasa. Dari kejauhan kerajaan itu terlihat sangat megah. Megah bukan dalam artian mewah, namun lebih mengarah pada sesuatu yang tampak sederhana namun mempesona. Apalagi istana kerajaan yang berdiri tepat di tengah-tengahnya, kerajaan tersebut benar-benar memanjakan mata.
Cahaya perapian dan obor menyala di setiap jengkal kerajaan. Sisanya aku tidak dapat menjelaskannya lagi, tampak tidak begitu jelas, namun satu hal lagi yang membuat ini benar-benar seperti mimpi adalah di sekeliling istana tersebut dikelilingi oleh danau dan dua parit berlapis. Hebat!
"Jangan terlalu kagum seperti itu. Kau akan melihat Indurasmi jauh lebih indah dari ini saat cahaya matahari muncul esok hari. Kita akan kembali ke istana besok. Malam ini kita menginap di suatu tempat."
"Dimana?"
"Tidak jauh dari sini, kau pasti suka."
Aku hanya mengangguk. Lagi pula badanku juga sudah terasa sangat lelah.
Ternyata Byakta mengajakku untuk menginap di rumah saudarinya. Sepertinya mereka sama ayah namun hanya berbeda ibu. Rumah yang kami tuju tidak jauh dari pintu masuk kerajaan. Saudari Byakta mendirikan rumah tersebut untuk menampung anak-anak yatim piatu. Selain itu, rumah tersebut juga berfungsi sebagai sekolah.
Mungkin konotasi sekolah di sini jauh berbeda dengan apa yang selama ini kujalani. Pastinya mereka tidak belajar fisika, ekonomi, sosial, dan sebagainya secara teoritis, tapi praktis.
"Namaku Maheswari. Salam kenal."
Perempuan itu menjulurkan tangannya. Sungguh, paras yang begitu cantik dan anggun. Cara berbicaranya yang sopan dan berwibawa menunjukkan bertapa berbedanya kasta yang ia punya. Aku menoleh pada Byakta.
"Hei! Jangan melihatku seperti itu, aku juga keluarga kerajaan!"
Apa yang dikatakan Byakta tidak sepenuhnya seperti kenyataan.
"Aku akan menyiapkan kamar tidur untuk kalian. Besok pagi kalian bisa ke istana."
Kalimat itu menjadi penutup sebelum akhirnya Maheswari membalikkan badan dan meninggalkan kami. Sungguh, dia sangat cantik. Matanya lebih biru terang daripada Byakta, dan cara berjalannya juga. Sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIWA KEDUA
AdventureJiwa kedua merupakan cerita fiksi fantasy yang ditulis dengan campuran unsur fantasy, sejarah, sains, dan misteri. Cerita ini tidak hanya mengangkat tentang petualangan yang mistis, namun juga mengusik tentang keadaan hubungan sebuah keluarga di zam...