Chapter 5: "KEMBALI"

37 2 1
                                    

Pagi harinya kami langsung berpamitan pada Maheswari dan segera berangkat ke istana. Aku juga sudah beradaptasi dengan mengganti pakaianku seperti penduduk lainnya. Seperti yang dikatakan Byakta, Indurasmi tampak begitu indah saat matahari muncul. 

Bunga-bunga bermekaran di sepanjang jalan, air sungai mengalir deras berkilauan tanpa sedikit pun sampah. Oh, aku jadi teringat ke tempat tinggalku di kota dulu. Setelah melewati dua sampai tiga perkampungan, sesaat kami terpaksa harus melintasi hutan lagi agar tidak melewati keramaian ibu kota kerajaan. 

Byakta tahu bahwa kehadiranku di sana pasti akan menarik banyak perhatian. Sialnya saat melewati hutan, belasan hingga puluhan makhluk-makhluk di luar logika bertebaran dimana-mana. 

Kami juga sempat diiringi oleh Cayapata Putih karena ia mencium aroma tubuhku sebagai mangsa, namun saat Byakta mengarahkan telapak tangannya pada Cayapata tersebut, seketika ia urung mengejar dan berhenti.

"Itu sihir penjinakan. Sangat jarang orang yang bisa menguasainya."

Byakta juga menjelaskan bahwa Cayapata adalah jenis yang sangat sulit untuk dijinakkan, namun kehadiran mereka sangat dibutuhkan untuk berbagai situasi, terutama perang. 

Selain Ras Indurasmi atau Ras Cahaya Rembulan, masih banyak lagi ras di bumi ini bahkan belum tersentuh. Kata Byakta memang harusnya seperti itu, karena jika antara ras yang satu bertemu dengan ras yang lain, belum tentu mereka bisa akur.

Kami sampai di belakang istana.

Byakta mengajakku masuk lewat pintu dapur, kemudian naik ke lantai atas hingga akhirnya sampai di ruangan raja. Awalnya Byakta sangat percaya diri untuk mengenalkanku pada ayahnya, namun sesaat sebelum kami mendekat, kami sempat mendengar pengaduan dari panglima tentang sikap Byakta kepada sang raja. 

Seketika telinga Byakta panas mendengar hal tersebut. Apa yang dikatakan panglima jauh berbeda dengan apa yang terjadi. Byakta sedikit pun tidak berlagak sok jagoan, dia hanya ingin membantu, dan aku setuju dengan hal itu.

"Kuharap ayah tidak mempercayai apa yang dikatakan panglima!"

Intonasi itu langsung melejit tinggi. Panglima tampak benar-benar kaget melihat aku dan Byakta muncul tiba-tiba dari balik salah satu pilar.

"Aku hanya ingin menawarkan bantuan pada kerajaan Majapahit. Ras manusia sama sekali bukan tandingan kerajaan Adhigana. Aku sama sekali tidak bertindak sok jagoan dan merendahkan nama keluarga kerajaan, tapi musuh yang akan mereka hadapi adalah pasukan dengan puluhan Cayapata Hitam. Itu pasti tidak seimbang."

"Aku mengerti apa yang kau rasakan, Byakta." Raja menjawa datar.

"Tidak. Ayah tidak pernah peduli. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku juga layak untuk kerajaan ini. Aku bukan anak cengeng yang hanya bisa berlindung di balik jubah sang raja. Aku juga hanya ingin meneruskan tekad ayah bahwa ras kita dan manusia tetap akan bisa berdampingan sampai kapan pun. Apa yang sekarang membuat ayah seolah-olah hendak menarik ucapan ayah sendiri?!"

"Cukup, Byakta! Kau sama sekali tidak mengerti!"

"Aku mengerti, ayah! Alasan selama ini kau mengekangku dan tidak membiarkan aku ikut turun dalam medan tempur adalah karena ayah takut aku mati bukan?! Ayah tidak percaya padaku, benar 'kan?! Sampai kapan pun di mata ayah aku hanyalah anak yang harus selalu dijaga bukan?! Tolonglah ayah, aku sudah tidak sanggup mendengar ocehan penduduk kerajaan yang menganggap aku putra mahkota yang tak layak, hanya karena aku lemah, hanya karena penyakit..."

Seketika Byakta tercekat. Menahan sakit di dadanya, lalu akhirnya pingsan.

Raja kemudian menyuruh panglima untuk segera membawa Byakta ke ruang perawatan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JIWA KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang