Chapter 2: "MENUNGGANGI HARIMAU"

36 0 0
                                    


Sudah belasan tahun sampai sekarang, aku hanya menjadi boneka di depan ayah dan ibuku. Sesosok boneka tersebut hanya manut dengan setiap perintah dan tidak pernah bisa menyanggah. Hanya Rima dan kakek lah yang tahu seperti apa mata sayu dan tatapan kosong yang kupunya, sedangkan ayah dan ibu tidak. Kakek sudah berusaha mengingatkan ayah dan ibu agar lebih memperhatikanku dan Rima, namun mereka terlalu sibuk. Kakek juga tidak bisa berbuat banyak.

"Kakak, aku dapat buku ini di gudang kakek, eh..."

Sayup-sayup aku dapat mendengar suara Rima mengutarakan kalimat itu. Kalimatnya tertahan karena mendapati aku yang seketika kaget tiba-tiba ia masuk ke kamar.

"Maaf, Kak." Rima merasa bersalah.

Aku hanya mengangguk menahan kantuk. Lalu kembali berbaring.

"Aku dapat buku ini di gudang kakek. Isinya ditulis dengan tinta lama."

"Tidak peduli." Aku menjawab datar dan membelakangi Rima.

"Tapi buku ini sangat aneh, sampulnya dari kayu. Sepertinya buku ini sudah sangat tua."

Aku tidak menanggapi

"Ya sudah, aku baca di sini keras-keras. Lagi pula tidak baik tidur jam segini."

"Terserah."

Aku mengerutu kesal. Pernah terpikirkan juga bagaimana jadinya jika sehari saja Rima menggangguku, rasanya dunia pasti berbeda.

Aku memang sedang tidak memandangi Rima, tetapi dari bangku di sudut kamar yang terdengar bergeser, Rima pasti tengah duduk di sana. Seperti yang dia katakan juga, ia mulai membaca tulisan demi tulisan di dalam buku itu dengan cukup nyaring. Dia benar-benar berusaha keras menghibur sekaligus mengusikku.

Sial!

Aku melipatkan bantal ke kepala kuat-kuat.

Gemuruh di atas langit bersahutan semakin garang. Matahari belum terbenam, namun di luar sudah sangat gelap. Selang beberapa saat, hujan mulai turun. Setiap rintikannya berdenting ramai di atas genting. Rasa kantukku semakin berat. 

Jam dinding di kamar terus berdetik. 

Mataku terpejam rapat dan kesadaranku perlahan lenyap sebelum akhirnya tertidur pulas.

Beberapa waktu yang lalu aku membaca sebuah berita bahwa ilmuan mengungkapkan bahwa indera pendengaran manusia masih dapat mendengarkan suara di sekitar mereka dengan baik meski orang tersebut sudah tertidur, dengan kata lain ternyata apa yang didengar akan mempengaruhi kinerja otak dan ruang alam bawah sadar. Aku tidak dapat memastikan apakah itu benar atau tidak, tapi yang jelas, di antara kegelapan aku mendengar sayup suara Rima.

"Aku tidak tahu dari mana semuanya bermula. Keadaan di sekelilingku gelap tiba-tiba. Aku berusaha berteriak, namun suara-suara yang kembali hanyalah gema. Beberapa saat kemudian muncul setitik cahaya yang dalam sekejap langsung menyeruap memenuhi ruangan gelap itu."

Aku tidak tahu dimana Rima berada, suaranya muncul begitu saja. Setiap untaian kata yang dia ucapkan seketika mempengaruhi apa yang kulihat. Aku tengah berada di ruang gelap, bahkan untuk menatap telapak tangan pun tidak bisa, kemudian perlahan muncul cahaya dari satu titik yang menerangi seluruh ruangan hingga semuanya terlihat menyilaukan. Aku berteriak kencang memanggil Rima, namun tidak ada sahutan kembali kecuali gema!

"Semuanya tampak menyilaukan. Aku mulai ketakutan, napasku sesak, dan entah mengapa pula aku dapat mendengar suara gemuruh dan petir menyalak garang seiring semakin silaunya cahaya tersebut."

Itu suara Rima lagi! Tentu saja aku tidak sempat mencari dimana Rima, malah yang datang menghampiri adalah gemuruh dan petir yang bersahutan. Perlahan napasku mulai sesak, pandanganku kabur, hingga akhirnya aku jatuh pingsan.

Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu.

Rintik hujan dan petir yang menyambar seketika membangunkanku. Tersentak kaget dan sama sekali tidak percaya bahwa aku tengah berada di tengah-tengah hutan dan tubuhku terbaring di sebuah jalan setapak.

Aku bangkit, mengusap mata sembari memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.

Sial! Hujan turun kian deras. Pepohonan di hutan ini sangat lebat. Jarak pandangku sangat terbatas. Aku berusaha teduh di sebuah pohon yang lebih rindang. Dengan sependaran cahaya malam yang masih ada, aku memastikan tubuhku baik-baik saja dan tidak terluka. Setelah memastikan bahwa aku baik-baik saja, aku kembali menatap langit berawan hitam dan bergemuruh. Sungguh, dimana aku?

"Hei! Cepat pergi dari sini!"

Seseorang berteriak dari jauh. Samar ia tampak sedang menunggangi sesuatu. Aku juga tidak dapat memastikan itu apa, tapi yang jelas itu bukan kuda. Dalam sekejap anak itu sudah berada di lima langkah dari tempatku berdiri. Seorang anak laki-laki, sepertinya sumuran denganku.

Napasku tersengal, badanku bergetar, setengah mati ketakutan dengan apa yang kulihat.

"Tidak usah takut, dia sudah jinak. Cepat naik, di sini sudah tidak aman!"

Alih-alih mengikuti perkataannya, tubuhku malah ambruk, tidak bisa bergerak.

Aku terlalu takut.

"Cayapata tidak akan memakanmu, itu pantangan mereka. Seharusnya kaulebih takut pada pasukan Adhigana yangsedang mengejar kami. Kau sepertinya bukan dari sini, ayo naik, kita harus segera pergi."

JIWA KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang