Part 15 - Helm

6K 652 33
                                    

Nara mengawali malam dengan mengerjakan tugas di meja belajar dalam kamarnya. Tiga soal matematika sejak tadi tidak berhasil Nara selesaikan. Pikirannya terbagi pada  Kenan.

Juga tentang Dini. Sejak kapan Dini dan Kenan menjadi akrab? Dini tidak pernah cerita kalau ia dan Kenan bertemu. Dan ke mana Kenan pergi bersama Dini sepulang sekolah tadi?

Melihat Kenan yang begitu akrab dengan Dini terselip rasa tidak rela di hati Nara. Seperti ada perasaan tidak ingin berbagi. Kenan dulu hanya selalu ada untuknya, tapi kini terbagi. Helm yang Kenan beli khusus untuk Nara juga kini ada pada Dini.

"Nara, ayo turun. Makan malam," terdengar teriak sang ibu, Indah.

"Iya, Ma!" Nara sengaja menaikkan nada suaranya. Bergegas Nara keluar dari kamar menuju ruang makan. Sudah ada Ayah Nara yang duduk di kursi makan, serta Ibu Nara.

Hubungan Nara dan Sang Ayah masih dingin. Rudi -Ayah Nara- enggan untuk mengajak Nara berkomunikasi. Sama-sama keras kepala membuat hubungan mereka tidak juga bertemu di pada kata damai.

Nara menarik kursi untuk dirinya. Ia duduk di sisi sang ibu. Keluarga itu makan dalam suasana hening. Tidak ada yang membuka pembicaraan.

"Malam semua," suara Kenan tiba-tiba memecahkan keheningan.

Sama seperti Nara, Kenan juga memiliki akses bebas memasuki rumah keluarga Nara. Sudah seperti keluarga sendiri hanya saja berbeda darah, seperti itulah hubungan keluarga Kenan dan Nara.

"Ayo, gabung makan, Nak Kenan," ajak Rudi.

Kenan menarik kursi kosong untuk diduduki, tepat di hadapan Nara. Meja makan yang memisahkan mereka.

"Terima kasih Kenan sudah datang," ungkap Rudi.

"Jangan sungkan, Om," balas Kenan.

Sore tadi Ayah Nara menghubungi Kenan untuk datang malam ini. Katanya ada sesuatu yang ingin Ayah Nara sampaikan pada Kenan. Kerena itu Kenan berada di tengah keluarga Nara walau hubungan mereka sedang tidak baik.

"Begini, Nak, Om dan Tante ada urusan sekitar dua minggu di luar kota. Kantor Om akan buka cabang di Kalimantan, Om yang diutus ke sana. Sementara Tante ikut untuk mengunjungi sepupunya yang sedang sakit. Dan berketepatan tinggal di Kalimantan juga. Kami tidak mungkin membawa Nara mengingat dia harus sekolah," jelas Rudi.

Nara mendengarkan penjelasan ayahnya dengan baik. Dia tidak diberitahu sebelumnya tentang ini. Apa sebegitu marah sang ayah sampai hal ini tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan Nara?

"Om titip Nara sama kamu," tambah Rudi.

Seiring dengan kalimat yang keluar dari bibir Rudi tubuh Nara dan Kenan menegang. Itu akan menjadi sesuatu yang canggung jika Kenan dan Nara dipertemukan dalam radius yang dekat.

"Nara akan tinggal di rumah kamu selama tiga minggu. Om sudah diskusikan hal ini dengan orangtuamu, mereka setuju. Tapi Om ingin menyampaikan hal ini secara langsung sama kamu mengingat kamu yang akan menjaga Nara secara langsung," suara Rudi terdengar penuh keyakinan.

Ya, Rudi sangat yakin bahwa Kenan dapat menjaga putrinya.

"Kenapa Papa nggak diskusi sama aku soal ini lebih dulu. Aku nggak mau--" Nara menghentikan aksi protesnya ketika sang ayah menatap tajam. Nara bungkam, tidak membantah lagi.

"Aku nggak masalah kalau harus menjaga Nara, Om. Takutnya Nara yang nggak mau," sindir Kenan.

Nara mendengus mendengar hal itu.

"Mau atau tidak Nara harus terima! Om nggak tenang kalau harus meninggalkan dia sendiri. Kamu tahu bagaimana pembangkangnya dia," kata Rudi pada Kenan.

"Tante dan Om akan berangkat besok siang. Jadi saat pulang sekolah tolong kamu jemput Nara, urusan baju Tante yang akan antar ke rumah kamu saat Nara sekolah besok," sela Indah.

Nara hanya menjadi pendengar  yang baik. Ia tidak bisa mendebat karena memang suaranya tidak akan didengarkan. Padahal Nara lebih ingin tinggal di rumah walau seorang diri, dari pada harus dijaga oleh Kenan.

"Sepulang sekolah Nara langsung ke rumah kamu saja," kata Indah. Dibalas anggukan oleh Kenan.

"Iya, Tante. Kenan akan jaga Nara sebaik mungkin," janji Kenan penuh kesungguhan.

"Ah, ayo kita makan. Makanannya sudah hampir dingin. Tante lega kalau Nara ada yang menjaga, apalagi orang itu Kenan," ujar Indah sambil memberikan piring kosong pada Kenan.

Tanpa sungkan Kenan ikut makan malam bersama keluarga Nara.

-o0o-

Nara menelusuri koridor kelasnya dengan langkah pelan. Hari ini ia di jemput oleh Barra di depan komplek. Sesampainya di sekolah Barra langsung pamit karena ada urusan dengan anggota PMR, membuat Barra tidak dapat mengantar Nara ke kelas.

Bukan tentang Barra yang menganggu pikiran Nara saat ini. Helm, helm motif tengkorak miliknya masih ada pada Dini. Saat masih di parkiran Nara melihat Dini menggunakan helm tersebut.

"Nara!" suara Dini terdengar dari belakang punggung Nara. Derap langkah kaki Dini terburu-buru.

"Nara, tungguin!" Dini berusaha menggapai Nara yang berjalan beberapa meter di depannya.

Bukan Nara tuli atau indra pendengarannya rusak, lebih tepatnya Nara sedang tidak ingin berkomunikasi dengan Dini. Sahabatnya itu membuat mood Nara hancur, perkara helm.

"Nara! Ih, dari parkiran dipanggil lo nggak dengar padahal suara gue toa banget. Lo sengaja, ya?!" oceh Dini begitu langkahnya dengan Nara berhasil seiring.

Nara melirik Dini sekilas. "Oh, dari tadi lo manggil gue?"

"Iya! Gue teriak sampai di pelototin sama Pak Budi pas di gerbang. Gile dah, itu guru botak serem banget tatapannya. Bikin jantung gue bergetar-getar," cercah Dini.

Nara tanggapi dengan tawa seadanya, terlihat jelas tawa Nara adalah palsu. Entah Dini menyadari atau tidak.

"Lebay lo," Nara berjalan cepat, membuat ia kembali melangkah di depan Dini.

"Tuh kan, gue ditinggal lagi," keluh Dini sambil mengejar Nara.

Sejenak kedua saling diam. Nara sibuk dengan segala pemikiran anehnya, sementara Dini tidak peka akan sikap Nara yang sedang kesal.

"Lo dan Kak Kenan makin akrab," Nara buka suara.

"Ah, nggak. Biasa aja kok," sanggah Dini. Tidak mungkin Dini berterus terang tentang dirinya dan Kenan yang sering keluar bersama untuk berghibah tentang Nara-Barra.

"Helm gue kenapa ada di lo?"

Mendadak suasana menjadi kikuk. Dini bingung sendiri menjawab pertanyaan yang Nara berikan.

"Itu... helmnya kemarin dititipkan Kak Kenan ke gue. Katanya kalian lagi marahan. Kak Kenan beranggapan lo nggak bakal mau pakai helm itu lagi. Jadi dia malas buat ambil helm itu dari gue," jelas Dini setengah berdusta. Tidak mungkin Dini mengatakan bahwa helm tersebut sudah Kenan berikan padanya.

"Jadi begitu. Ya sudah, nanti pulang sekolah helmnya kasih ke gue," balas Nara.

Dini setengah tersenyum. Ia mengangguk saja mengiyakan perkataan Nara. Pemilik asli helm tersebut meminta haknya kembali, Dini tidak mungkin menolak sekalipun helm itu sudah Kenan berikan langsung padanya.

Tbc

Mari yang mau kasih komentar tentang part ini, boleh komen di sini 👉


Makasih udah mampir 😊 awas ada typo

Ig : ami_rahmi98

Untuk Kita Yang Tidak Bahagia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang