Part 32 - Tentang debaran

5K 527 34
                                    

Aku bingung. Alam raya seluas itu, tapi aku cuma mau kamu.
___

Kenan duduk di kursi belajar yang ada di kamarnya. Meja belajar itu berada pada sudut tepat di dekat jendela, dari sini Kenan dapat melihat jelas halaman belakang rumah mereka. Sinar bulan masuk melalui jendela kamar dan menerpa wajah Kenan yang tampan.

Di tangan Kenan ada formulir dan brosur beasiswa. Kenan sudah bicara dengan orangtuanya setelah pulang kampus tadi, dan Kenan diberi izin untuk pergi. Kata ayah Kenan, ini kesempatan yang bagus untuk masa depannya.

Namun ada satu hal yang masih menahan langkah Kenan. Nara, berat sekali jika harus jauh dari perempuan keras kepala itu. Kenan berada di sekitar perempuan itu saja ia sudah direbut oleh laki-laki lain, apalagi jika Kenan pergi nanti.

Nara adalah debaran pertama yang meruntuhkan batasan tiada akhir untuk mengenal cinta. Bukan maksud ingin diperbudak oleh rasa ini. Nara hadir dalam kekosongan yang hampa. Nara itu kesederhanaan untuk bahagia bagi Kenan.

Kenan simpan brosur dan formulir beasiswa itu ke dalam laci meja. Masih ada beberapa hari lagi sebelum Kenan memutuskan, ia akan berpikir matang-matang.

"Gue nggak bisa ikut kerja kelompok. Gue titip nama aja," ujar Nara melalui sambungan telepon.

Nara bukannya malas untuk hadir dalam kerja kelompok bahasa Indonesia malam ini, namun ia sungguh tidak diberi izin oleh Kenan untuk pergi. Beruntung Nara satu kelompok dengan Dini dan Nisa serta tiga teman mereka lainnya.

"Pokoknya nama gue jangan lupa dicantumkan," Nara berlangkah menuju kamar, dia baru selesai berbincang-bincang dengan orangtua Kenan.

"Oke, makasih. Kalian memang yang terbaik." Lalu Nara mematikan sambungan telepon tersebut, merasa bersyukur mengenal Nisa dan Dini yang sangat mengerti dirinya.

Nara lanjut melangkah menuju kamar. Namun ia berhenti ketika melewati kamar Kenan, Nara mengintip melalui celah pintu yang tidak tertutup sempurna. Kenan tampak melamun di kursi belajar.

Beberapa menit Nara menikmati punggung laki-laki yang duduk membelakanginya. Menerka apa yang kira-kira sedang Kenan lamunkan, mungkinkah ada dia saat ini dalam pikiran laki-laki itu? Atau Dini?

"Jangan bengong di depan pintu kamar!" sentak Kenan tiba-tiba.

Nara tersadar. "Nggak bengong kok," kilahnya.

"Kak Kenan lagi mikirin apa? Serius banget kayaknya," Nara memasuki kamar Kenan, lalu duduk di pinggir ranjang.

"Kamu nggak jadi kerja kelompok?" Kenan balik bertanya.

"Nggak, gimana mau pergi kalau nggak dikasih izin. Aku udah titip nama kok sama Dini," ujar Nara sambil menyisir rambut sepanjang punggungnya dengan jari.

"Luka Dini bagaimana kabarnya? Dia nggak buat rusuh kan tadi di sekolah?" Kenan bertanya, ia putar arah kursi agar dapat bertatapan dengan Nara.

Ketika masalah luka disebut Nara melirik kakinya yang tergores tadi pagi. Luka yang masih saja Nara harapkan agar mendapat perhatian dari Kenan. Tidak yang seperti Nara harapkan karena Kenan hanya peduli pada Dini, menurutnya.

"Menurut Kak Ken, Dini orang yang seperti apa?"

"Entahlah. Kakak bingung harus memilih kata apa untuk menggambarkan anak itu. Dia orang yang aktif dan mudah bergaul pada siapa saja. Dengan sifat yang ceria orang-orang akan merasa nyaman berada di sampingnya."

Tanpa sadar senyuman Kenan tercipta dengan sendirinya saat bercerita tentang Dini. Mata Kenan menerawang jauh ke tempat Dini berada hingga membawa perempuan itu singgah pada memorinya. Semua tentang Dini berputar-putar dalam ingatan Kenan.

"Dini spesial," tambah Kenan.

Spesial? Lalu aku apa? Nara membatin.

"Spesial sampai helm punya aku di kasih ke dia," cibir Nara tanpa sadar. "Kak Kenan nyebelin banget tau, nggak!"

Kenan tercegang. Nara tiba-tiba memekik kesal padanya. "Kamu kenapa marah?"

Tidak ada kata yang mampu Nara ungkapkan untuk menjawab pertanyaan Kenan. Terlalu marah membuat emosi muncul begitu saja. Harusnya Kenan paham tanpa Nara harus menjelaskan, Nara berharap seperti itu.

"Besok Om dan Tante pulang, jadi pulang sekolah kamu jangan pergi keluyuran nggak jelas," peringat Kenan.

Nara mencibir. "Memangnya kapan aku pergi keluyuran?"

"Besok kamu aku jemput sepulang dari kampus. Jangan pergi pacaran sama Barra," Kenan kembali memperingati.

"Kalau aku mau pergi gimana?" jawab Nara tidak mau kalah.

"Aku bakal marah!" Kenan membalas. Matanya menatap Nara dengan serius.

Kenan bangun dari duduknya dan menghampiri Nara yang duduk di tepi ranjang. Langkah Kenan berhenti tepat di depan Nara. Angin malam yang masuk melalui celah jendela menemani kebersamaan mereka.

"Kamu ini kenapa susah sekali untuk diingatkan?" Kenan menyentil kening Nara, membuat perempuan itu meringis sakit.

Jantung Nara berdetak tak karuan saat tangan Kenan tiba-tiba memperbaiki anak rambutnya. Tatapan mata laki-laki itu melembut dan membuat Nara enggan untuk berpaling. Nara tenggelam di sana, pada dua bola mata Kenan.

Tidak ada kata yang terucap. Keduanya menikmati kebersamaan dibawah sinar bulan yang masuk melalui celah jendela.

"Asssh," Nara meringis, tangan Kenan beralih mencubit hidung kecil milik Nara.

"Nara," Kenan membisikkan nama Nara dengan nada halus. Terdengar sangat indah. Debaran di dada Nara semakin gila.

Wajah Kenan tepat di depan mata Nara.  Menikmati kebersamaan yang entah mengapa sangat mendebarkan. Nara terdiam dan menantikan kata-kata Kenan selanjutnya.

"Sana masuk ke kamar kamu!" suruh Kenan.

Nara masih terpaku, ditatapnya dengan dalam wajah Kenan yang tampan. Seolah dunia Nara berhenti di sana.

"Masuk ke kamar kamu, Nara!" ulang Kenan. Sekali lagi dia mencubit hidung Nara sedikit lebih kuat.

"Asssh," Nara menjauhkan wajahnya dari jangkauan Kenan.

"Belajar sana!" suruh Kenan.

Buru-buru Nara bangun dari ranjang milik Kenan. Lutut Nara terasa lemas saat akan melangkah, hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Nara segera pergi dari kamar Kenan dengan jantung yang masih saja bergemetar hebat.

"Nara," suara Kenan menghentikan langkah Nara saat di ambang pintu. Nara berhenti tanpa menoleh.

"Jangan pernah masuk ke kamar laki-laki lain kecuali kamar ini," Kenan kembali duduk di kursi belajarnya.

Nara melirik sekilas. Ia berlalu pergi tanpa mengiyakan. Di dalam kamarnya sendiri Nara baru dapat melemaskan bahu. Ia hempaskan tubuhnya di atas ranjang. Nara tarik udara sebanyak yang ia bisa. Sial, debaran ini tak kunjung normal.

"Ini jantung ngapa, sih?! Minta gue copot?" omel Nara sambil memukul dadanya satu kali.

Ponsel yang berada dalam genggaman Nara bergetar. Segera Nara periksa benda persegi kecil itu. Nama Barra tertera pada urutan teratas chat WA milik Nara.

Barra: Hari ini tepat satu bulan kita jadian. Gue bahagia!

Nara terpaku pada ponselnya. Membaca pesan Barra berulang kali untuk memastikan bahwa ia tidak salah baca. Nara merasa jahat tidak mengingat tanggal yang seharusnya spesial bagi dirinya dan Barra.

Beberapa detik kemudian pesan dari Barra kembali mewarnai chat teratas Nara.

Barra: gue sayang sama lo

Nara meringis.

Barra : ❤

Dan Nara merasa benar-benar jahat.

Tbc

Sampai sini masih mau lanjut???

Kasih kritik dan saran 👉

🚫Typo is wow🚫
Awas ada wow

Untuk Kita Yang Tidak Bahagia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang