Part 43 - Sedih

4.6K 511 84
                                    

Untuk orang-orang yang tidak mengerti perasaanku,
Semoga kalian terkena karma!
__

"Lo kelihatan senang banget," komentar Nisa setelah Dini mematikan sambungan telepon dengan Kenan. Ponsel itu kembali di letakkan secara sembarang di atas meja kantin.

"Iya dong, waktu gue ke rumah kak Kenan helm gue yang gambar tengkorak hilang di sana. Kak Kenan janji mau gantikan, nanti pulang sekolah Kek Kenan bakal beli yang baru buat gue," cerita Dini. Lagi-lagi dia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya.

"Makin akrab aja lo sama Kak Kenan. Awas jatuh cinta," Nisa  melahap mie ayamnya yang tinggal setengah.

Dini tertawa renyah. "Ngaco lo, ah! Gue sama Kak Kenan cuma temanan. Nggak lebih dan nggak kurang. Lo tahu sendirikan kalau Kak Kenan suka sama siapa."

"Hati bisa aja berubah, Dini! Ayolah, lo jangan terlalu polos. Kalian sering bareng akhir-akhir ini dan mungkin aja muncul rasa tanpa kalian sadari. Nyaman tanpa disengaja. Suka tanpa diminta. Dan jatuh cinta tanpa diduga sebelumnya," Nisa menatap tegas. Seolah menyatakan bahwa teorinya adalah sebuah kebenaran.

Dan Dini kembali merespons dengan tawa canggung. Merasa geli dengan pernyataan Nisa yang terdengar mengada-ngada. Hei, beberapa hari yang lalu Dini menyakini bahwa dirinya menyukai Barra. Tidak mungkin semua berubah secepat itu. Kecuali kalau memang tanpa disadari dan tidak disengaja untuk jatuh cinta, eh?

"Nggak mungkinlah!" elak Dini salah tingkah. Mata Dini bergerak tidak menentu asal tidak bertemu pandangan dengan Nisa yang sedang mencari kebenaran di matanya.

Menyukai Kenan? Nyaman? Tidak mungkin. Oke, Dini akui Kebersamaan mereka membuat Dini senang berada di sekitar Kenan. Tapi untuk tahap menyukai tidak mungkin secepat ini. Dini masih dalam tahap menata hati setelah hancur.

"Jangan sampai lo salah pilih cowok lagi! Pilih cowok yang wajar-wajar aja. Jangan yang banyak disukai cewek kayak Barra, dan ... Kak Kenan," Nisa memberi saran.

"Hati mana bisa didikte. Kalau hati gue suka sama cowok-cowok kelas atas, gue bisa apa? Selera gue selera tinggi," seloroh Dini dengan nada bercanda. Walau perasaannya masih saja mengganjal perihal Kenan dan rasa suka.

"Alah! Dasar jomblo," Nisa mencibir.

-o0o-

"Ah, yang benar? Barra udah putus sama cewek yang namanya Nara itu?"

"Benar! Kemarin gue liat Barra boncengan sama si Achi, sekretaris OSIS."

"Cepat banget si Barra dapat ganti yang baru. Gue yakin nih, pasti Barra cuma main-main sama Nara. Buktinya dia langsung dapat gandengan baru padahal belum genap seminggu putus dari Nara."

"Kasihan banget si Nara. Gue sih nggak suka-suka banget liat tuh cewek, mukanya jutek banget. Barra memang lebih cocok sama Achi."

"Nara mimpi ketinggian jadi pasangan ketua OSIS. Giliran jatuh gini kan pasti sakit."

Lalu dua orang yang sedang bergosip itu tertawa. Nara yang berada di bilik toilet menahan amarah. Tangan Nara menggenggam erat udara hingga buku-buku tangannya terlihat memutih.

Nara membuka pintu toilet, membuat si tukang gosip itu menoleh secara bersama-sama. Wajah keduanya tampak tegang melihat kehadiran Nara. Tidak menyangka bahwa orang yang sedang mereka ceritakan berada dalam radius yang dekat.

"Eh, Nara," sapa salah satu dari mereka dengan senyuman canggung.

Mata Nara menyorot tajam. Sejujurnya Nara ingin menangis, sejujurnya Nara tidak berani menghadapi dua murid itu dan sejujurnya dia takut. Nara tidak punya teman untuk melawan. Hanya ekspresi dingin yang dapat Nara andalkan.

Bukankah dia terlihat begitu menyedihkan?

"Kita duluan ya, Nara." Buru-buru kedua murid itu melangkah pergi. Meninggalkan Nara dengan segela gemelut dalam dirinya.

Bahu Nara melemas. "Kalau Barra cuma main-main sama gue, nggak mungkin dia rela ngerendahin harga dirinya di depan papa," ujar Nara selepas kepergian dua murid itu. Harusnya Nara mengatakan hal ini secara lantang tepat di depan wajah keduanya, namun lidah Nara terasa keluh.

Nara mengusap wajah dengan kasar, memperbaiki ekspresi wajah sebelum keluar dari toilet. Kaki Nara bergerak menuju kantin terdekat, dan terpaksa Nara urungkan saat melihat Dini dan Nisa duduk di sana sambil tertawa lepas. Keduanya terlihat bahagia.

Nara memutar badan, berjalan menjauhi area tersebut. Akan terlihat menyedihkan jika dia memasuki kantin seorang diri.

Lagi-lagi harga diri Nara terkoyak lebar saat tidak sengaja melihat Barra berdiskusi dengan si sekretaris OSIS di tepi lapangan. Pohon rindang memayungi keduanya. Barra awalnya terlihat serius, namun entah apa yang dikatakan sekretaris OSIS itu hingga membuat Barra tertawa lepas. Keduanya juga terlihat bahagia.

Semua orang terlihat baik-baik saja tanpa kehadiran Nara. Mereka tertawa dan bercanda bersama, sementara Nara sendiri di sini. Dilingkupi kesedihan dan kesepihan. Jangankan teman berbagi duka, teman untuk berbagi suka pun Nara tidak punya.

Dia sendiri, benar-benar sendiri.

Tbc

Aku suka part ini :v Tapi ya gitu, pendek memang  hahahah

Masih betah baca??

Aku mau kasih pilihan lagi nih. Mau part panjang tapi up nya agak lama, atau part pendek tapi up nya cepat.
Hayo pilih yang mana?

Awas ada typo

Untuk Kita Yang Tidak Bahagia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang