Seminar

33 2 2
                                    

Peringatan!
Chapter kali ini, berisi konten dewasa dan LGBTQ+. Jadi kalau kamu merasa terganggu atau belum cukup umur, silakan lewati chapter ini!

✧ ✧ ✧

Siang itu ketika matahari sedang terik-teriknya, Mareta menyeruput es teh manisnya sampai habis.

Tingkat sanitasi kantin gedung B yang hari ini ia kunjungi memang tergolong rendah, tapi rasa makanannya memang paling juara dibanding kantin gedung lain di sekitaran sini.

Biasanya Mareta cuma bisa makan setengah porsi orang biasa. Tapi, karena Mareta sudah lama tidak mencicipi soto betawi, maka jadilah perempuan itu menghabiskan seporsi ditambah 2 bungkus emping.

Setelah membayar, Mareta segera masuk ke dalam gedung. Mareta bahkan tidak sempat duduk-duduk sebentar sambil menghisap sebatang-dua batang tembakau seperti yang biasa dilakukannya sehabis makan.

Hari ini pengecualian karena Mareta ada seminar. Seminar kali ini berbeda dengan seminar-seminar yang pernah ia hadiri sebelumnya.

Seminar kali ini membahas tentang kasus yang cukup sensitif, bahkan bisa dibilang tabu di Indonesia; LGBT. Yang mana pembicaranya adalah Mareta sendiri.

Ah, tapi ini juga bukan kali pertamanya menjadi pembicara dalam seminar. Jadi sebenarnya apa yang membuat acara ini berkesan sangat penting bagi Mareta?

✧ ✧ ✧

Saat ini Mareta sudah berada di back stage. Sudah ganti baju karena bajunya yang sebelumnya basah karena keringat.

Jantung Mareta berdegup kencang. Sebentar lagi ia harus naik ke atas panggung.

Rasanya Mareta gugup. Keringat dingin, perut mulas. Persis seperti kali pertamanya menjadi pembicara. Temanya waktu itu sama pula dengan sekarang. Sama-sama bahas tentang LGBT.

Mareta meneguk sebotol air mineral yang berada di dekatnya. Berharap air itu mampu mengurangi rasa gugupnya sedikit. Tapi tidak ampuh rupanya. Lalu Mareta mencepol rambut kribonya agar tidak lepek kena keringat.

Dan tiba saatnya Mareta naik ke atas panggung. Matanya lari ke sana ke mari, mencari sosok yang membuatnya gugup setengah mati.

Tapi terlalu banyak penonton kali ini sehingga Mareta kesulitan mencari sosok itu. Atau hanya karena ia gugup?

"Se- selamat siang semuanya."

Kacau. Mareta selalu luwes dalam berbicara. Tidak pernah terbata-bata bagai bocah baru belajar tata bahasa seperti ini.

Riuh audiens membalas sapaan Mareta. Membuat Mareta, entah bagaimana, merasa sedikit lebih rileks.

Akhirnya gugup itu hilang dengan sendirinya. Acara berjalan lancar seperti biasanya. Di akhir, audiens ramai bertepuk tangan. Bentuk apresiasi untuk Mareta yang gaya pembawaannya memang tidak biasa.

Tapi bukannya senang, wajah Mareta malah ditekuk kecewa. Yang dicarinya selama di atas panggung tadi, nihil. Bangku yang seharusnya penuh semua, bolong satu.

Setelah ganti baju lagi dan berpamitan dengan rekan-rekannya, Mareta berjalan keluar gedung. Langit bercampur antara warna jingga dan ungu. Serta sedikit semburat merah muda yang menambah cantik panorama sore ini.

Kepalanya mendongak, menatap langit yang warnanya saling tubruk tapi tetap indah itu. Dan tiba-tiba saja dalam benaknya terlintas sebuah pemikiran.

Apa bisa dunia yang isinya berbeda-beda ini menjadi 'seindah' itu? Seungu semerah muda itu. Membikin siapa saja yang melihat merasa damai. Aku mau dunia itu.

Ketika Mareta masih hanyut dalam pemikirannya sendiri, tiba-tiba seseorang menghadapkan sebuket bunga di depan wajahnya.

"Maaf. Aku gak datang di seminarnya."

Senyum yang sudah sejak tadi bertengger di bibir Mareta menjadi semakin lebar. Dipeluknya tubuh itu. Tubuh kurus dengan wangi buah ceri.

Bau yang selalu Mareta rindukan siang dan malam, hingga rasanya ingin ia hirup sebanyak-banyaknya agar tetap ingat, takkan pernah lupa lagi pada bau yang sanggup membuatnya dimabuk kepayang terus menerus.

Mareta melepas pelukannya. Menatap lekat-lekat wajah perempuan di hadapannya. Tangan kanan Mareta menggenggam tangan kirinya. Mengelus lembut jemari yang manisnya sudah bercincin emas.

Tanpa sadar, air mata sudah menetes mengaliri pipi Mareta yang walaupun ditutup bedak, flek-flek hitam itu tetap kelihatan.

Tangannya yang sudah tidak halus lagi, mengelus pipi Mareta lembut, menghapus jejak air matanya. Perlahan, Mareta mendekat dan mengecup bibir yang juga rasa ceri itu dalam-dalam. Lalu tersenyum.

"Usia sudah memakan kita berdua, kekasihku. Memberi kerut yang tak lagi bisa dihapus. Tapi kamu, cantikmu abadi untukku. Meskipun kamu takkan pernah milikku, selamanya aku adalah milikmu."

Perempuan itu tersenyum. Lalu mereka berjalan berdampingan di atas trotoar yang sepi. Seakan-akan semesta ikut merestui pertemuan ini sampai dibuatnya trotoar yang biasanya ramai orang jadi sepi.

"Kok setelah bertahun-tahun, kamu masih saja bau ceri? Nggak bosan?"

Perempuan itu tertawa kali ini. Kepalanya sedikit mendongak dan matanya menyipit. Memperjelas kerut wajahnya di sana-sini.

"Gak setiap hari, Mar. Hanya 15 tahun yang lalu dan hari ini. Dulu untukmu, sekarang juga untukmu."

✧ ✧ ✧

Drop your thoughts here about LGBT!

Mine: Kalo menurut aku, setiap orang bebas mau suka sama siapa aja. Setiap orang bebas mementukan jati dirinya sebagai apa. Tapi ya kalo dilihat dari sisi agama, jelas salah. Jadi ada pro dan kontra nya juga. Tergantung orang-orang mandang dari perspektif yang kayak mana.

Kala ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang