Mosi tidak percaya

34 2 4
                                    

Semua dimulai dari salah satu temannya yang menyodorkan berita dari salah satu situs terpercaya. Kemudian dilanjut dengan diskusi-diskusi dengan teman-temannya yang lain. Beberapa ada yang berbeda pendapat, beberapa lagi setuju dan sepemikiran.

Sampai kemudian, setelah banyak rumor dan desas-desus beredar, hari itu sungguhan datang. Hari yang didamba-damba atas rindunya pada restorasi demokrasi.

Hari ini Gayatri bangun pagi. Dari jam 7, Gayatri sudah memutar lagu-lagu bertemakan protes di kamarnya yang juga dipenuhi poster band metal dan poster-poster sejenis lainnya. Oh dan ada juga bendera merah-putih menggantung. Sebagai pengingat, agar Gayatri tidak tersesat dan tetap ingat akan jati dirinya.

Lalu layar ponselnya diikuti getaran yang menandakan ada sebuah pesan masuk.

Amir Ihsan: Kumpul pake baju item sama bawa jaket kuning.

Akhirnya! Aspirasi yang selama ini hanya ada di dalam kepalanya, kini akan dia junjung tinggi-tinggi melalui karton putih bertinta merah yang ia bawa.

Setelah mengecek isi kamarnya kostnya, Gayatri menguncinya. Lalu pergi ke kampus dengan semangat membara.

✧ ✧ ✧

Ricuh.

Setelah aparat menembakkan water canon, situasi menjadi tidak terkendali. Semuanya marah, semuanya melawan.

Dan ketika gas air mata ditembakkan, Gayatri sudah mengoleskan odol di bawah matanya lebih dulu sebelumnya. Temannya yang menyuruh sebagai bentuk antisipasi. Tapi sekarang temannya itu sudah hilang entah kemana.

Lalu tiba-tiba seseorang menarik tangan Gayatri. Posisinya yang semula di garis depan, ditarik mundur oleh laki-laki ini.

Ia juga menghalangi tubuh Gayatri dari water canon yang hampir mengenainya dengan jaket warna biru dongker. Entah bagaimana perempuan itu tiba-tiba sudah ada di garis depan.

"Di sini aja, di depan gak aman. Hati-hati."

Sosoknya terlihat jelas pada momen ini. Tinggi, agak kurus, rambut pendek, kulitnya sawo matang, dan berkacamata.

Gayatri sempat mengucap terima kasih, namun sepertinya laki-laki itu tidak dengar karena langsung cepat-cepat merangsek ke garis depan lagi. Melawan polisi.

Padahal Gayatri juga mau memberikan jaket biru dongkernya yang lupa ia bawa lagi.

Gayatri segera balik badan, mencari teman-temannya yang mungkin sedang berkumpul entah dimana.

✧ ✧ ✧

"Mba Aga nggak ikut demo lagi?"

Ini sepupu Gayatri, namanya Hanin. Hanin masih SMA, rumahnya juga tidak jauh dari rumah kost Gayatri. Makanya Hanin sering main ke tempat Gayatri. Entah untuk numpang tiduran, numpang pup, numpang pesen makanan, numpang ngegame pakai Alienware punya Gayatri, numpang curhat tentang cowok yang lagi dekat dengannya, atau numpang semuanya sambil nanya-nanya seperti tadi.

Kadang Gayatri heran. Padahal Hanin juga punya kakak perempuan. Tapi kenapa nempelnya ke Gayatri bukan ke kakaknya sendiri? Bahkan makin hari, Gayatri merasa Hanin seakan makin mirip dengannya. Entah itu gaya pakaian, selera musik, cara bicara. Semuanya makin mirip saja.

Gayatri yang memang biasa dipanggil Mba Aga di rumahnya, menggeleng. "Kaki gue masih sakit. Kemaren kan sempet keseleo."

Hanin langsung mengalihkan pandangannya dari layar laptop. "Hah?! Terus Mba Aga gimana? Jatoh nggak?"

"Hampir sih. Cuma gue pegangan gitu sama orang jadinya gajadi jatoh," jawab Gayatri.

"Oh... Ya bagus deh. Trus trus ada cerita apa lagi?"

Gayatri sempat mempertimbangkan untuk menceritakan tentang pemilik jaket biru dongker yang masih digantung di belakang pintu. Tapi batal.

"Gak ada."

"Ah masa? Terus itu jaket biru punya siapa? Pastinya bukan punya Mba Aga karena baunya beda."

Tapi Hanin lebih pintar dari Gayatri. Mau tidak mau Gayatri menceritakan perihal jaket biru dongker dan pemiliknya yang tidak Gayatri ketahui identitasnya sampai saat ini.

"Wah gila udah kayak sinetron aja."

Gayatri melempar bantal yang mengenai wajah Hanin. "Sembarangan."

Perempuan itu berdiri. Mengambil dompet dan memakai jaket biru dongker yang pemiliknya masih belum diketahui. Siapa tahu pemiliknya notice jaket yang dia pakai dan meminta dikembalikan?

Atau setidaknya, itu yang Gayatri pikir sebelum benar-benar pergi ke luar untuk membeli ketoprak.

Amir Ihsan sent a picture.

Nafsu makannya seketika hilang begitu melihat isi pesan yang baru saja dikirim temannya.

Laki-laki yang di foto sedang terbaring di ruang ICU itu. Tinggi, agak kurus, rambut pendek, kulitnya sawo matang, dan berkacamata. Cuma sekarang tambah bonyok sana-sini, selang infus, dan masker oksigen.

Amir Ihsan: Jangan buat usaha mereka sia sia. Panjang umur perjuangan.

Kala ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang