Chapter. 2

1.8K 344 48
                                    

Ketika itu, Alan diajak oleh ibunya untuk menemui seseorang. Seseorang yang ia tahu menjadi sumber kebahagiaan Sang Ibu beberapa waktu belakangan ini. Alan mengerti sekali dengan antusias Ibunya mengenai pertemuan ini. Karena Alan pun sudah menyiapkan dirinya sendiri.

Alan sudah siap untuk bertemu dengan calon Ayah barunya.

Tempat pertemuan itu ternyata terletak di sebuah restoran mewah dimana kau bisa memesan sebuah ruangan khusus. Entah untuk perjamuan bisnis, makan malam keluarga ataupun acara private lainnya. Dan sampailah mereka di sana; disambut oleh dua orang laki-laki.

"Alan."

Namanya disebut oleh seorang laki-laki yang masih terlihat muda. Alan menyakini usia sosok itu tidak sampai setengah abad. Sosok yang terlihat masih gagah dan diam-diam Alan mengagumi penampilan seseorang yang ia tebak akan menjadi Ayah tirinya itu.

Tapi ketika matanya mengarah pada satu laki-laki lainnya di ruangan itu, Alan terpana.

Sosok itu terlihat tidak asing dan Alan tahu sekali siapa sosok yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. Sepertinya hampir semua penduduk di negeri ini akan langsung mengenali sosok itu pada detik pertama mereka melihatnya.

Sosok itu tinggi dengan balutan jas hitam dan dasi kupu-kupu yang tersemat di leher panjangnya. Rambut coklatnya mengkilap. Wajahnya tirus tanpa cela. Alan bisa melihat bahwa sosok itu terlahir dari dua jenis darah yang berbeda. Hal yang paling mencolok dari penampilannya adalah warna mata sosok itu.

Itu berwarna hijau, hijau zamrud.

Warna mata yang jarang sekali Alan temui dan ini adalah kali pertama ia lihat secara nyata. Bola mata itu terlihat hijau namun bening di saat bersamaan dan Alan merasa dirinya terpaku; tertegun ketika menatap lurus pada kedua bola mata itu hingga suara Ibunya menarik atensinya.

"Al, ini Manu. Kamu pasti udah tau dia kan?" Alan hanya bisa mengangguk atas pertanyaan Ibunya. Sekarang ia merasa tengah berada di depan papan puzzle yang harus ia susun dan ketika ia berhasil menyusunnya, Alan merasa speechless.

"Manu akan jadi adik kamu."

Di dalam berbagai mimpinya, bayangannya atau bahkan imajinasinya sekalipun; Alan tidak pernah menyangka akan mendapatkan saudara tiri seorang Manu Winata. Aktor muda yang tengah naik daun; yang namanya berada dimana-mana, yang gambarnya hampir berada di semua cover majalah.

Alan merasa speechless, lagi.

"Yo, kak Alan."

Suara pertama yang keluar dari seorang Manu dan saat itu pula, Alan merasa tidak yakin. Ada sesuatu yang terasa tidak benar tapi ia bahkan tidak mengetahuinya. Di tengah rasa bingungnya, Alan hanya bisa tersenyum kepada Manu dan mengikuti acara perjamuan ini.

Tanpa diduga, Ayah Manu adalah seorang yang sangat humble. Beliau sudah menjadi seorang single parent bahkan sebelum Manu belum bisa berbicara. Alan hanya harus mendengarkan cerita tentang bagaimana Ibunya dan Ayah Manu bertemu hingga mereka memutuskan untuk bersama.

That's kinda sweet but sometimes cringe.

Ketika Alan merasakan hal itu, matanya mengarah pada Manu. Cowok itu terlihat sangat memperhatikan bahkan menikmati ketika Ayahnya bercerita ataupun berbicara. Alan tertegun saat melihat kilat bangga di mata hijau itu juga ekspresi bahagia di wajah Manu saat menatap kepada Ayahnya.

Dari situlah Alan menyimpulkan bahwa Manu begitu menghormati dan mengagumi Ayahnya. Ia menemukan itu sebagai hal yang lucu hingga membuatnya tertawa kecil.

"Ada yang lucu, Al?"

Ayah Si Aktor bertanya dan Alan menggeleng. Ia bahkan sudah merasa kagum pada pandangan pertama pada beliau jadi Alan bisa sedikit merasakan perasaan Manu yang bahkan menjadi anak kandungnya.

Mereka mempunyai kemiripan hampir pada presentase 80 persen. Hal yang membedakan mereka adalah warna mata dan rambut. Alan menebak bahwa warna mata dan rambut itu Manu dapatkan dari sosok Ibunya. Belakangan ia mengetahui bahwa Ibu dari Manu masih keturunan Eropa dan beliau meninggal ketika melahirkan Manu.

Alan merasa buruk untuk itu. Ia kembali mengingat pada perjuangannya selama ini bersama Ibunya. Perjuangan yang ternyata tidak hanya ia dan Ibunya rasakan. Masih ada orang lain yang mungkin merasakan jauh lebih menderita daripada dirinya.

Jadi ketika Alan melihat Ibunya bersama dengan seseorang yang mampu membuatnya bahagia, begitu pula sebaliknya; ia juga akan menjadi bahagia untuk mereka.

Alan hanya tidak bisa mengalihkan pandangannya pada Manu yang sekarang tengah menatap Ayahnya sendiri dan Ibunya dengan tatapan bahagia bercampur sedih. Dan Alan merasa bisa memahami cara Manu memandang mereka. Walau bagaimanapun juga, ia dan Manu pernah merasakan yang namanya kehilangan.

"Gue denger kak Alan suka es krim ya?"

Tiba-tiba Manu bertanya dengan senyuman di wajahnya yang mana menarik atensi semua orang. Alan mengangguk dengan tidak yakin. Ia tidak mau memikirkan darimana Manu mendapatkan informasi itu.

"Cari es krim di bawah, yuk. Gue traktir deh." Katanya dan Alan terdiam. Manu masih tersenyum ketika ia melihat kepada Ibunya dan ia diberi sebuah anggukan jadi Alan menghela nafasnya lalu mengangguk pada Manu. Mereka pergi meninggalkan orang tua mereka di sana.

Di luar dugaan, Manu mengajaknya keluar restoran. Mereka berjalan di pinggir jalan yang lalu lalang oleh kendaraan tapi sepi oleh orang-orang.

Ini akan menjadi hari paling aneh yang pernah Alan alami ketika ia berjalan dengan seseorang di sampingnya yang baru dikenalnya beberapa menit lalu, di malam hari dengan pemikiran kenapa sosok itu bisa sangat santai untuk melakukan hal seperti ini di samping profesinya sebagai aktor.

Apa sosok itu tidak takut paparazzi akan menyergapnya dan bertanya macam-macam mengenai keberadaannya?

Tapi mungkin Alan pikir bahwa menjadi aktor di dunia nyata tidak seheboh di drama-drama yang biasa ia lihat bersama Ibunya. Buktinya tidak ada orang yang mendekat kepada mereka.

Alan melirik Manu di sampingnya. Sosok itu sudah melepas jas hitamnya dan dasi kupu-kupu dari lehernya. Manu juga melepas beberapa kancing kemeja teratasnya dan Alan menyimpulkan bahwa sosok itu tidak terlalu menyukai outfit tersebut.

Hingga akhirnya mereka sampai pada taman yang di sana berdiri sebuah truk es krim, barulah beberapa orang yang kebanyakan cewek seperti menyadari eksistensi seorang Manu Winata. Mereka meminta foto bersama dan cowok itu menyanggupi dengan sangat ramah.

Alan menghela nafas. Ia tidak pernah menyangka sosok itu akan lebih muda darinya, bahkan akan menjadi adik tirinya. Ia mendengus saat memikirkan hal itu.

"Lo mau varian apa?" Alan mendongak, dahinya sedikit mengernyit melihat Manu di hadapannya. Ia juga merasa sedikit aneh dengan gaya dan cara bicara cowok itu. Rasanya Manu tidak menggunakan semua itu ketika tadi bersama Ayah dan Ibunya. Dahi Alan semakin menyernyit.

"Gue tanya lo mau varian rasa apa, Al?"

Alan mengerjap.

Kemana panggilan kakak yang Manu berikan padanya beberapa menit lalu? Ia hanya bisa memandang Manu dengan aneh saat sosok itu berseringai hingga membuat Alan merasa syok di atas kedua akinya.

Seringai itu tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tidak di dalam drama, majalah ataupun acara televisi yang Manu bintangi, bahkan di dalam pertemuan mereka beberapa menit yang lalu bersama orang tua mereka.

Seketika Alan merasa asing.

"Lo mau berapa bilang aja, gue yang banyar kok." Seringai itu masih ada di sana. "Nggak usah malu-malu," sambungnya sambil mendekatkan wajahnya kepada Alan yang mana membuatnya automatically melangkah mundur.

"Lo kan bakal jadi Kakak gue."

Alan terdiam.

Apakah ini adalah sifat sebenarnya dari seorang Manu Winata yang tidak diperlihatkan kepada publik?

.

To be continued.
Saturday, 28 September 2019.

Note; FINALLY I HAVE DONE WITH THIS ONE. What'dya think, fellas? Miss them already? So this is for you. Please enjoy!

When Love Finds Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang