[CHAPTER 5]
-🥀-
"Saudara Jeon Wonwoo, apakah saudara bersedia meresmikan perkawinan ini sungguh dengan ikhlas hati?"
Pastor bertanya pada Wonwoo pertama kali.
"Ya, sungguh," jawab yang ditanya.
Seketika mata kecil Jihoon melebar. Sementara kedua tangan panjang Wonwoo setia menggenggam lembut jemari lentik Jihoon yang entah sejak kapan.
"Bersediakah saudara mengasihi dan menghormati istri saudara sepanjang hidup?"
"Ya, saya bersedia."
Jihoon semakin membelalak. Kedua mata sipitnya tak bisa berhenti berkelana sedari tadi. Terus berputar mencari keberadaan pengantin Wonwoo yang hingga sekarang Jihoon belum tahu ada di mana.
Sementara waktu terus berjalan.
"Bersediakah saudara menjadi bapa yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saudara, dan mendidik mereka menjadi orang Katolik yang setia?"
Pastor tak berhenti menanyai Wonwoo dan lelaki itu terus menjawab dengan jawaban yang berarti menyetujui.
"Ya, saya bersedia."
Kemudian Pastor beralih pada Jihoon dan bersiap menanyainya.
"Saudari—maaf—saudara Lee Jihoon, apakah saudara meresmikan perkawinan ini sungguh dengan ikhlas hati?"
Jihoon ragu menatap Wonwoo. Wonwoo mengangguk mantap dengan senyum terkembang manis. Namun, Jihoon tetap ragu. Sehingga ia hanya diam hingga dua menit lamanya sebelum akhirnya berkata,
"Y-ya, s-ss-sungguh."
"Bersediakah saudara mengasihi dan menghormati suami saudara sepanjang hidup?"
"Y-ya, s-saya ber-sedia."
"Bersediakah saudara menjadi ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saudara, dan mendidik mereka menjadi orang Katolik yang setia?"
"Ehm, y-ya, saya ber-sedia."
Pastor selesai menanyai kedua anak Adam yang masih saling menggenggam tangan itu. Mengambil waktu jeda sebentar sebelum kembali melanjutkan.
"Maka tibalah saatnya untuk meresmikan perkawinan saudara. Saya persilakan mengucapkan janji perkawinan satu-persatu," kata Pastor yang diangguki oleh Wonwoo. Sementara itu, Jihoon tetap diam. Ia gugup dan takut setengah mati. Ia tidak tahu apa yang sekiranya terjadi saat ini, apa yang menimpanya, dan bagaimana bisa. Ia hanya diam. Sampai perkataan Wonwoo membuat mata bulan sabitnya kembali melebar.
"Lee Jihoon. Saya memilih engkau menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup."
"Saudara Lee Jihoon?"
Pastor menyodorkan mikrofon dan sebuah kertas pada Jihoon. Lelaki mungil itu segera melepas tautan tangan Wonwoo dan menerima mikrofon serta kertas yang Pastor berikan.
Kenapa aku menerimanya?
"Silakan."
"S-saya?" Jihoon menunjuk dirinya sendiri. Sang Pastor mengangguk mengiyakan. Jihoon beralih menatap Wonwoo dan mendapat anggukan yang sama dari lelaki itu. Namun, sama sekali tak berubah, ia tetap saja ragu.
"J-jeon Wonwoo Hyung."
Wonwoo menahan tawanya yang ia samarkan menjadi sebuah senyuman konyol saat mendengar Jihoon tidak meninggalkan kata 'hyung' untuk menyebutnya.
"S-saya me-memilih eng-kau menjadi s-ss-suami saya. Saya berjanji s-setia kepadamu dalam un-untung dan m-malang, di waktu sehat dan sakit, dan dan saya mau m-men-cin-cintai dan menghormati engkau s-seumur h-hidup."
Selesai. Jihoon selesai mengucap sumpah janji suci perkawinannya dengan peluh menetes deras mengaliri pelipisnya. Ia bahkan menggenggam mikrofonnya dengan sangat erat dan kertasnya menjadi agak kusut.
"Atas nama Gereja Allah dan di hadapan para saksi, saya menegaskan bahwa perkawinan yang telah diresmikan ini adalah perkawinan yang sah. Semoga upacara kudus ini menjadi bagi saudara berdua sumber kekuatan dan kebahagiaan. Yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia."
"Janganlah diceraikan manusia." Seluruh tamu undangan menjawab.
Kemudian Pastor melanjutkan dengan pemberkatan dan pemakaian cincin kedua mempelai.
"Pas sekali. Aku memang tidak pernah salah tentangmu," kata Wonwoo saat memasangkan cincin pada jari manis kanan Jihoon.
Itu benar-benar sungguh pas. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Tepat sasaran. Jihoon sendiri sampai tidak tahu harus berkata apa. Terlebih saat ia menyadari namanya terukir di sisi luar lingkaran lambang pengikat itu.
'Jihoon Jeon'
"Sekarang saudara Lee Jihoon bisa memasangkan cincin pada suami saudara."
Jihoon tersadar dari lamunan sejenaknya. Tangan kanannya mengambil alih sebuah cincin emas yang ukurannya lebih besar dari miliknya dari sebuah kotak perhiasan yang dibawa Pastor.
"Pasangkan," kata Wonwoo lembut sambil menyodorkan tangan kanannya tepat di hadapan Jihoon.
"H-hyung?"
"Jangan ragu. Milikmu menunggu."
Akhirnya, dengan gemetar yang tak bisa ia tahan, Jihoon sekuat tenaga menahan diri agar tidak menjatuhkan cincin Wonwoo. Setelah sedikit tenang, ia segera memasangkan cincin tadi pada jemari manis kanan Wonwoo.
"Ayo pamerkan pada mereka, Jihoonie! Tunjukkan pada mereka! Sekarang kita saling memiliki!"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
unpredictable; wonhoon
FanfictionJihoon merasa semua seperti mimpi. Tepat ketika Wonwoo mengatakan bahwa ia akan menikah, memintanya untuk menjadi pendampingnya, dan justru menggiringnya ke altar untuk dipinang. "H-hyung?"