dunno why

1.4K 166 14
                                    

[CHAPTER 6]

-🥀-

Seharian berdiri dengan senyum terpatri sambil menyalami hadirin ternyata melelahkan juga. Bahkan sangat melelahkan. Jihoon rasanya ingin menangis saja saat merasakan sakit pada lututnya sehingga membuatnya sulit digerakkan.

Sialan!

'Klek'

Pintu kamar mandi di kamar Wonwoo terbuka lebar, menampakkan si pemilik yang baru saja mandi, keluar hanya berbalut celana training hitam panjang dan rambut basah serta handuk yang dikalungkan pada lehernya. Sedang tubuh bagian atasnya dibiarkan terbuka, memamerkan betapa perut kurus itu—dulunya—sekarang mulai terbentuk dan menjadikannya terlihat seksi.

Jihoon bersaksi, dia memang melihatnya sendiri. Dan seingatnya, dulu bentuk tubuh Wonwoo tidak sebagus itu.

"Like what you see, Babe?"

Jihoon cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke kiri. Membuat Wonwoo terkikik geli. Ia menutup pintu kamar mandi kemudian melangkah lebar menghampiri sang istri yang duduk di atas ranjangnya-ranjang mereka.

"Ji," panggil Wonwoo. Yang dipanggil mendongak, membelalak, terkejut.

Terlalu dekat.

"H-hyung, terlalu dekat," kata Jihoon gugup. Wonwoo terkekeh atas reaksi Jihoon lalu menarik mundur wajahnya.

"Bagaimana rasanya?" tanya Wonwoo sambil berjalan ke balkon untuk menjemur handuknya. Jihoon hanya menjawab dengan, "Huh?" disertai wajah blank yang lucu.

"Nyonya Jeon Jihoon?" lanjut Wonwoo.

Ah, Jihoon mengerti.

"Apanya yang bagaimana?" tanya Jihoon. Wonwoo tak langsung menjawab. Dirinya membawa tubuhnya ambruk di ranjang berdua dengan Jihoon.

"Usap kepalaku, Ji," kata Wonwoo sambil memposisikan kepalanya di atas paha Jihoon yang duduk bersila bersandar pada headboard. Tangan kanan Wonwoo membawa tangan kanan mungil Jihoon mengusap kepalanya.

"Ya, seperti itu. Ah, aku lelah."

Jihoon tertawa geli. Ia lupa, Wonwoo juga punya sisi manja.

"Hyung?" panggil Jihoon. Wonwoo membuka sebelah matanya, menatap langsung mata Jihoon yang berada di atasnya.

"Hm?" jawab Wonwoo lembut.

"Ak-aku ingin bertanya... sesuatu," kata Jihoon. Wonwoo mengangguk, "Silakan," katanya.

"Katakan padaku, di mana pengantinmu?"

Wonwoo bangkit tiba-tiba, membuat Jihoon agak terkejut. Namun, ia dengan cepat menguasai dirinya. Sekarang keduanya duduk berhadapan. Wonwoo meraih sepasang tangan mungil Jihoon dan menggenggamnya lembut serta erat.

"Jihoonieku sayang." Wonwoo menatap ke dalam mata sabit Jihoon penuh cinta.

"Tentu saja itu kau. Pengantinku itu kau." Wonwoo melanjutkan. Namun, yang ia dapat justru decakan tak puas dari istrinya.

"Maksudku... yang sebenarnya. Lari ke mana dia? Aku kan jadi harus menggantikannya," kata Jihoon memperjelas pertanyaannya.

Wonwoo melepaskan tautan tangan keduanya. Kedua tangan besarnya menangkup pipi gembil Jihoon.

"Itu kau, sayangku, cintaku, Jihoonie. Itu kau."

Jihoon menggeleng. Ia tak mengerti.

"Aku tidak mengerti, Hyung. K-kenapa?"

Wonwoo langsung merengkuh tubuh yang jauh lebih kecil darinya itu dan membawanya ke dalam pelukannya.

Nyaman.

"Itu kau, sayangku. Jika bukan kau, kenapa cincin yang tersemat indah di jemari manismu terukir namamu?"

Wonwoo tak melepaskan pelukannya, justru mempereratnya. Tangan kirinya masih menguasai punggung Jihoon, sedang tangan kanannya merambat naik mengelus helai rambut setengah basah Jihoon.

"T-tapi, Hyung..." Jihoon menggantung kalimatnya. Seketika ia membalas pelukan Wonwoo erat seakan tak mau melepasnya. Kemudian terdengar isak tangis tertahan dari mulut Jihoon yang tertangkap pendengaran Wonwoo. Membuat Wonwoo diserang panik luar biasa.

"Sayang, ada apa?"

Wonwoo mengurai peluk keduanya, memegang lembut kedua bahu Jihoon dan menatap ke dalam mata sabit istrinya penuh cinta.

"Kenapa? Hm? Katakan padaku jika ada sesuatu yang menyakitimu," kata Wonwoo. Sementara Jihoon masih terisak, Wonwoo sabar menanti Jihoon.

Hingga akhirnya isakan Jihoon perlahan terhenti dan lelaki mungil itu angkat bicara.

"H-hyung, ini sangat menyiksaku. Aku tidak mengerti."

Jihoon memukul-mukul kepala sebelah kanannya dengan tangan kanannya. Wonwoo yang melihat itu dengan sigap menahan kedua tangan Jihoon lalu membawa si mungil itu kembali ke dalam pelukannya.

"Hiks..."

"Apa yang tidak kau mengerti, sayang? Tanyakan semuanya. Apa yang mengganggumu?" kata Wonwoo sambil terus memeluk Jihoon, sesekali mengecup pelipis Jihoon untuk menenangkannya meski nyatanya sulit. Lelaki mungil itu tetap masih menangis bahkan isakannya semakin kuat. Jadi Wonwoo menunggunya, tidak apa menunggu lebih lama lagi.

Ia tidak mau memaksa Jihoon.

Pun jika Jihoon masih belum bisa mengungkapkannya sekarang, Wonwoo juga tidak keberatan memeluk istrinya semalaman asal istrinya tenang.

Wonwoo hanya ingin Jihoon merasakan betapa ia mencintai Jihoon.

Tbc

unpredictable; wonhoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang