Chapter 1: CHILDHOOD MEMORY - You ruin my life.

131 4 2
                                    

PLUK! PLUK!

Gulungan kertas berbentuk bola kecil itu berterusan menghujani punggung dan kepala perempuan berbadan mungil dengan rambut dikepang dua, berbaju all-over jeans dengan kaos stripes hitam-putih. Perempuan kecil itu tengah duduk manis, sambil menggambar pemandangan alam yang tampak dari sudut jendela kelas. Dari bidikan pertama sampai bidikan yang entah sudah berapa banyak, perempuan kecil ini diam dan merungut kesal. Bibirnya manyun 5 senti.

“Apaan sih?! Sakit tau ngga!” sambil mengelus-elus pelan punggungnya. Pipi tembam putih miliknya memerah karena gusar. Namun sayangnya yang ditegur tetap tak bergeming. Peringatan pertama itu betul-betul tak digubris dan ia terus memasukkan bola-bola kertas kecil kedalam sedotan dan kemudian meniupkan sekencang-kencangnya, satu persatu. Sambil tertawa senang ia mencibir, “Biarin. Emang enak?!” kemudian menjulurkan lidah.

 “Tsugure Prahayatama! Sekali lagi kamu meniupkan bola ini, aku akan memukulmu dengan sapu itu!” sahut perempuan kecil itu. Jari mungilnya menunjuk ke arah sapu yang berdiri tegap disamping pintu masuk bertuliskan “6A”.

Tsugure Prahayatama. Namanya unik. Itu yang dipikir pertama kali oleh kebanyakan teman-temannya. Benar, Tsugure berdarah campuran Indo-Jepang. Ayahnya yang Jepang dan ibunya yang berasal dari Yogyakarta. Dan uniknya, Tsugure memiliki mata sipit namun berkulit kuning langsat. Rambutnya berponi lebat dan sering menutupi mata mungilnya. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Sekilas, dia terlihat seperti Kento Yamazaki.

Lelaki berbaju merah maroon itu tak mau kalah. “Coba saja kalau kamu berani. Aku ngga takut!” jawab Tsugure cuek. Kontan merasa ditantang, perempuan mungil ini berlari kearah pintu masuk dan dengan sigap mengambil batang sapu itu dan berjalan menuju meja Tsugure yang letaknya dua meja dibelakang perempuan mungil ini. Sapu itu diayunkan pelan ke arah lengan Tsugure.

Hari itu adalah hari senin, break time makan siang, dimana guru-guru sudah kembali ke kantornya dan hanya ada hiruk-pikuk anak-anak yang berlarian di koridor, meja-meja kecil yang disatukan guna menjadi what-so-called “meja makan”, dan bahkan ada beberapa yang bermain bola di dalam kelas. Wajar saja, karena merasa tidak diawasi, terkadang murid-murid menjadi out of control, salah satunya Tsugure Prahayatama dan si perempuan mungil tadi.

“A...A..Au! Sakit!” Ujar Tsugure sambil memegangi lengannya. Sebenarnya ia tidak begitu merasa kesakitan. Namun ia hanya melebih-lebihkan ekspresi agar mendapat perhatian dari teman-temannya. Perempuan mungil itu sedikit terkejut. Ia merasa tidak memukul keras namun mendapatkan impak yg mengejutkan dari ekspresi Tsugure.

“Aku tidak benar-benar serius memukulmu, tau!” ujarnya sambil merasa bersalah.

“Iya, tapi sakit!” jawabnya sambil terus memegangi lengannya, kemudian mendorong perempuan kecil ini hingga terjatuh.

BRUK!!

Kontan satu kelas langsung mencari sumber bunyi keras tadi. Bahkan saking kuatnya, salah satu kursi jatuh terpelanting. Tidak sampai satu menit, seluruh murid mengelilingi dua sejoli yang tengah berkelahi. Perempuan kecil itu terduduk diam dan menundukkan kepalanya. Ia merasa malu karena teman-temannya melihatnya. Tidak, lebih tepatnya karena merasa harga dirinya jatuh.

Terdengar salah satu murid mulai menyoraki, “Hayoo.. Tsugure bikin Ayumi nangis!” dengan nada mencibir. Tsugure pun tidak menyangka bahwa tangannya memiliki kekuatan yang besar. Ia fikir itu hanya dorongan ringan. Sedetik, terbesit dalam hatinya rasa bersalah dan ingin menolong. Namun apa daya, gengsinya yang terlalu besar mengekang anak itu untuk membantu. Alih-alih, Tsugure hanya berdiri membalikkan badan. Ayumi masih duduk terdiam. Ia bingung harus bagaimana dipandangi teman satu kelas seperti itu. Selang beberapa detik, temannya, Sayuri dari kejauhan berlari mendekat.

Memories in NOKORI (ON-HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang