“Menurutmu, dia benar-benar sudah insaf dan tak akan menggangguku kan?” Ayumi tengah duduk disamping Sayuri sambil melahap tori karaage buatan ayahnya. Saat itu jam makan siang, mereka memilih duduk santai dikantin sekolah yang tak kalah ramainya dengan pasar dadakan.
Hari ini sudah genap empat bulan dari hari terakhir Tsugure mengganggu Ayumi. Hitungan yang cukup lama. Semenjak kejadian di sickbay itu, Tsugure sudah kehilangan antusias, apalagi setelah melihat sosoknya di sketch book Ayumi. Berkali-kali fikirannya melambung dengan garis halus yang digambarkan Ayumi disana. Apa maksudnya? Apa dia menyukaiku? Apa yang difikirkannya saat menggambarku? Kenapa aku dan bukan murid lain? Dan berbagai macam pertanyaan yang berdesakan dibatinnya. Anehnya, jika berpapasan dengan Ayumi, Tsugure terus memalingkan wajahnya atau pura-pura tak melihatnya. Begitu pula Ayumi. Lebih buruknya, Ayumi lebih sering salah tingkah. Pernah suatu ketika, karena tak ingin terlihat gugup, Ayumi terbahak-bahak dengan suara menggelegar yang membuat orang-orang di koridor memandangnya dengan tatapan aneh.
“Haha... aku rasa ia sudah kapok mengganggumu. Tapi aku fikir ia tahu kau menyukainya.” Jawab Sayuri dengan senyum menyeringai. Kali ini ia tengah melahap tuna sandwhich.
Ayumi berdecak. “Itu zaman bahelak. Sekarang aku sudah biasa kok. Kalaupun ia merasa aku menyukainya, toh juga nggak ada yang berubah antara aku sama dia. Dia membenciku tau.” Ia tahu, walaupun dengan segala sikap Tsugure kepadanya, rasa sukanya itu akan sulit untuk dienyahkan.
“Aku nggak percaya. Buktinya kamu masih sering menanyakannya.” Kali ini Sayuri menjulurkan lidahnya.
“Ih beneran! Aku udah lupa tuh sama yang namanya Tsugure.” Kemudian melahap satu gigitan makanannya.
Dari kejauhan, mata Ayumi melihat sosok Tsugure yang tengah berjalan kearahnya. Sayuri yang tengah duduk disampingnya menyenggol pelan lengan Ayumi menandakan ia juga menyadari seraya berbisik “Dia jalan kesini. Ini gila.”
Tampak oleh Sayuri, Ayumi terus melahap tori karaage itu sampai mulutnya kepenuhan. Dia salting. Batin Sayuri terkekeh. Ayumi menatap Sayuri seolah-olah mengajak gadis itu untuk pura-pura sibuk membicarakan sesuatu sampai bayangan lelaki bertubuh tinggi itu akhirnya berdiri didepannya. Ayumi mendongakkan kepala dengan takjub, terperangah, deg-degan plus salah tingkah. Semuanya bercampur menjadi satu.
Pipinya masih menggembung berisi makanan hingga akhirnya tersedak dan “BROT!” yang keluar adalah kunyahan makanannya yang sekarang melapisi baju Tsugure. Lelaki itu tampak bergidik jijik dengan pipi memerah. OH TIDAK! Ayumi memicingkan matanya. Takut dengan adverse impact yang akan diberikan Tsugure tak lama lagi, tangan kecil itu meraba-raba baju Tsugure untuk membersihkan kotorannya. Tsugure hanya diam sambil menggigit bibir bawahnya. Entah kenapa, jantungnya serasa memompa lebih keras dari biasanya. Antara malu, segan, marah, kesal dan.... excited. Gila. Enggak. Hapus kata excited barusan. Gumam Tsugure berusaha menetralkan perasaannya.
Karena tak sanggup dengan kinerja tubuhnya, tangan kecil itu memegang pergelangan tangan Ayumi kemudian melepaskannya diudara. Ayumi membuka perlahan matanya dan melihat muka Tsugure yang berwarna persis dengan beet root segar yang sering dijual tetangganya seharga tiga ribu rupiah per kilo. Merasa dipandangi Ayumi dengan tatapan terkejut, tangan Tsugure kemudian merogoh saku bajunya dan mengeluarkan secarik kertas dan meletakkannya dipangkuan Ayumi lalu berlalu pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Ayumi dengan sejuta pertanyaan.
Sayuri yang duduk disampingnya juga heran. “Coba buka! Coba buka!” Tangan Ayumi dengan cepat membuka kertas yang tadi diberikan Tsugure.
To: Ayumi
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in NOKORI (ON-HOLD)
Teen Fiction“Anak muda, kalian baik-baik saja kan?” “Kok bisa jatuh?” “Ada yang terluka tidak, Nak?” “Ini percobaan bunuh diri ya?!” Berbagai pertanyaan bertubi-tubi ditujukan kepada mereka berdua. Ayumi melirik kearah lelaki menyebalkan yang kini tengah tidur...