Sore itu kanopi sekolah disesaki oleh anak-anak yang tengah berteduh dari hujan yang tengah mengguyur pekarangannya. Para penjual makanan kecil mulai bersurai dan bergegas meninggalkan tempat jaga masing-masing. Satpam sekolah pun tak luput meniupkan peluitnya sambil memberi arahan agar anak-anak tak berlarian. Apalagi saat banyak genangan air, banyak anak memilih berloncat-loncatan digenangan itu sambil tertawa terkekeh-kekeh dan ini banyak merugikan anak-anak lain yang lewat.
“Hujannya masih deras nih.” Ujar Sayuri sambil menyingkap jendela yang menutupi ruang beraroma antiseptik itu sambil memandangi hiruk pikuk suasana diluar sekolah. Ia memutuskan untuk menemani Ayumi sampai ia dijemput ayahnya. Kebetulan Ayumi juga tidak membawa payung hari itu dan pulang sekolah dalam keadaan demam disertai hujan deras adalah bukan keputusan yang bijak.
Ruang sickbay itu dibelah oleh tiga tirai yang menutupi setiap kasurnya: bagian pojok, tengah dan juga pinggir yang posisinya dekat dengan pintu masuk. Ayumi tengah tidur dibagian pinggir yang memang dekat dengan pintu masuk. Saat itu ruangan sepi, suster yang biasa menjaga tengah menghadiri meeting dengan guru-guru yang lain. Maka dari itu dua sahabat tersebut bisa leluasa berbicara.
“Kamu disini dulu saja. Tunggu sampai hujannya reda ya.” Lanjutnya seraya berjalan kecil menuju tempat duduk disamping Ayumi berbaring.
Mata Ayumi masih menutup. Lengannya ia angkat sambil menutupi sebagian mukanya.
“Iya.” Seraya menjawab lemah. Kemudian melanjutkan tanyanya “Sekarang pukul berapa?”
“Pukul tiga. Ayahmu akan menjemputmu hari ini.” Jawab Sayuri singkat. Perempuan itu tengah mengeluarkan karet ikat rambut dari tangannya dan memainkannya.
Ayumi menggeserkan tubuhnya yang mulai berkeringat. “Tapi aku belum menelponnya.”
“Tadi sudah ditelpon oleh Haruda Sensei untuk segera menjemputmu kok. Jangan khawatir ya.” tuturnya lembut dan masih menggeluti karet yang tengah dimainkannya.
Ayumi terus mengukir senyum. “Arigatou, Sayuri.” Kemudian ia terlihat mengambil nafas sedikit. “Oh iya, kamu tahu....” kata-katanya terhenti sebentar.
“Tahu apa??” Sayuri menghentikan gerakan ditangannya. Ia mulai antusias dengan kata-kata yang akan dikeluarkan oleh teman baiknya. Dan tampak didepannya, Ayumi masih menutupi sebagian muka pucatnya dengan lengan kecilnya itu.
“Ini soal Tsugure.”
Alis Sayuri bertautan. Ia sudah bisa mengkespektasikan bahwa alasan yang selalu bisa membuat Ayumi bersedih adalah tingkah laku anak jenius itu. “Kenapa lagi dia? Aku tak habis fikir tentang alasannya yang selalu mengganggumu.”
Ayumi menghela nafas. Bibirnya yang kering tampak semakin pucat. “Iya. Aku pun berfikiran sama. Aku rasa ia membenciku.“ Sayuri tampak iba dengan tuturan sahabatnya. Selama ini, ia rasa Ayumi adalah anak yang baik. Ia heran saja, bagaimana mungkin anak sebaik dia diperlakukan seperti itu oleh Tsugure. Dan itu memakan waktu hampir setiap harinya.
“Dan hari ini, ia mengambil buku gambarku.”
Bola mata perempuan dengan rambut yang dikepang ala fish tail itu membesar. Sayuri tampak geram dan menyatukan dengan keras telapak tangan kiri-nya bersamaan dengan kepalan tangan kanannya. “Oh Tuhan. Dia itu kenapa sih?! Itu kan buku favoritmu! Kau mau aku saja yang mengambilnya dari tikus tanah itu?” Saking jengkelnya, Sayuri sampai-sampai mengatainya dengan sebutan tikus tanah. Haha...
Ayumi tersenyum kecut. Ia yakin, bocah senakal Tsugure tidak akan mungkin mengembalikan bukunya secepat itu.
“Aku hanya berfikir. Kenapa ia bisa sejahat itu denganku? Apa ia tak puas-puas menggangguku?” Dadanya mulai sesak. "Kemarin, ia mencabuti bulu dari gantungan kunci ayam-ayaman dalam tasku. Dan hari ini, sketch book itu. Kamu tahu kan, itu buku kesayanganku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in NOKORI (ON-HOLD)
Fiksi Remaja“Anak muda, kalian baik-baik saja kan?” “Kok bisa jatuh?” “Ada yang terluka tidak, Nak?” “Ini percobaan bunuh diri ya?!” Berbagai pertanyaan bertubi-tubi ditujukan kepada mereka berdua. Ayumi melirik kearah lelaki menyebalkan yang kini tengah tidur...