"Karena aku peduli padamu, Tuan. Sungguh peduli."
❄❄❄
Jam operasional belum berakhir, Bitter Coffee malam ini tutup lebih cepat dari biasanya. Tak lupa Seoli mengeluarkan sepeda pemberian Hyungi. Pikirnya, akan lebih cepat jika ia langsung pulang setelah menemani bosnya makan malam. Seoli pun kembali sebentar ke dalam kedai untuk mematikan seluruh lampu bagian dalam maupun luar ruangan.
Takut jika hari akan semakin larut, Seoli berlari kecil untuk cepat-cepat mengunci pintu kaca dan pintu besi. Kemudian ia sangat terkejut saat mendapati Hyungi sudah duduk nyaman di atas sadel sepedanya.
Perlahan ia mendekati Hyungi yang sibuk dengan ponselnya. "Tuan, apa kau tak berniat membawa sepedamu sendiri?"
"Ini sepedaku. Lupa?" ucap Hyungi mengeklaim atas kepemilikan barangnya. Memang benar sepeda itu hanya dipinjamkan pasa Seoli.
Hampir Seoli berdecak tipis, gadis itu mengeluh, "Ya, aku tahu itu, Tuan. Maksudku aku ingin segera pulang nantinya."
"Silakan, aku tak melarang." Hyungi memasukkan ponselnya, salah satu tangan pucat itu mencengkram setang kemudi sepeda dan kakinya telah bersiap-siap mengayuh.
"Ya ya, baiklah. Tapi jangan berkendara terlalu cepat, Tuan," ucap Seoli memperingati sebelum kakinya mulai melangkah.
Sadar gadis itu berjalan kaki lebih dulu ke sembarang arah, Hyungi pun mengejarnya dengan sepeda lalu berhenti di sebelahnya. "Gadis sinting, cepat naik. Memangnya siapa yang menyuruhmu jalan kaki, huh?" cerocos Hyungi dengan wajah datar nan kesal.
Keheranan bukan main, Seoli mengernyit kuat atas perintah aneh dari atasannya itu. Mana mungkin sepeda gunung memiliki boncengan di bagian belakang. Jangankan itu, pijakan kaki untuk berdiri saja bahkan tak ada. Seoli tahu benar jika sepeda itu didesain khusus untuk satu orang saja.
"Kemari, bodoh! Jangan diam saja seperti pajangan di situ," ucap Hyungi sebal bukan main sembari menepuk rangka sepeda yang melintang sebagai penghubung setang dan tempat duduk. Membuat Seoli mendelik hampir tersedak air liurnya sendiri.
Apa dia sudah gila?
Terdiam gugup, tali tas milik Seoli pun ditarik kuat oleh Hyungi sampai gadis itu tak punya pilihan lain selain berusaha menaruh bokongnya di rangka sepeda yang Hyungi maksudkan. "Cari pegangan," saran Hyungi merundukkan tubuhnya sendiri untuk mulai menjalankan sepeda.
Pegangan kepalamu?! Seoli pun terpaksa meraih salah satu lengan Hyungi untuk menyeimbangkan tubuh yang terayun-ayun.
Udara malam sedang dingin-dinginnya, tapi itu tak berlaku untuk Seoli. Wajahnya panas sekali, merasakan deru napas serta erangan kecil Hyungi di setiap kayuhan kaki-kaki panjangnya. "Hhh, kau berat sekali sih. Rasanya seperti mengangkut karung beras," ucap pria itu lebih terdengar layaknya desahan di ujung telinga Seoli.
Ya Tuhan, seharusnya aku marah, tapi kenapa dadaku malahan terasa aneh.
"Oh tidak juga, kau itu sangat ringan seperti bulu," kelakar Hyungi tertawa datar membuat karyawan manisnya itu hanya mampu menjeling seolah membatin jika gurauan Hyungi sangatlah tidak lucu. "Dari tadi hanya diam, kau bisu ya?"
Gadis yang terduduk di antara kedua lengannya itu hanya mengembungkan pipi secara maksimal, mati-matian menahan emosi. Satu kali Hyungi melirik wajahnya dari arah samping, ternyata lucu juga.
Hyungi menghentikan lajunya di depan kios tenda berwarna merah --- sebuah tempat makan yang menjual jajanan malam dan bir--- tepat di antara deretan sepeda lainnya. Bukannya segera menarik diri, pria itu masih mempertahankan posisi kedua tangan yang masih saja mencengkram setang. Otomatis Seoli pun semakin menegang tak berdaya, mendapati wajah pucat serta terpaan napas hangat yang hampir tak berjarak menyapu wajahnya saat ia berpaling pada Hyungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snowy Miracle (✔) [PROSES PENERBITAN]
General Fiction[COMPLETED] Terdesak oleh kondisi terendah di hidupnya, Kim Seoli berusaha kuat untuk bertahan. Namun hasrat mewujudkan cita-cita itu masih menggantung tinggi, sedangkan usaha gadis itu selalu saja berujung di jalan buntu. Lalu Min Hyungi dengan seg...