Part 2. Way of Apology

1.4K 240 171
                                    

Dengan memendam rasa bersalahnya, para pecundang berharap waktu dapat memperbaiki keadaan.

Gedung apartemen kelas atas di salah satu ruas jalan utama pada distrik Yongsan yang memiliki pemandangan ke arah sungai Han itu menjadi pilihan Hyungi untuk bertempat tinggal sejak menikah. Lokasi strategis adalah faktor utamanya.

Jangan ditanya bagaimana tingkat keamanan serta kenyamanannya, tentu saja nomor wahid. Ia sengaja menyediakan tempat yang sekiranya dapat membuat sang istri betah untuk hidup bersamanya. Namun sejak perceraian terjadi begitu saja, pria itu sangat jarang berada di tempat tinggalnya sendiri.

Malam ini juga, Hyungi terpaksa pulang karena mendapatkan surel terkait tagihan pembayaran biaya sewa.

Setelah masuk melalui pintu hitam kokoh berlapis sandi, Hyungi kembali mendapati kosong pada ruang apartemennya. Ia pun mengambrukkan diri di sofa ruang tamu, melepas penat atas kejadian yang menimpanya secara bertubi-tubi di sepanjang hari tadi. Ini hanya jadi sia-sia saja.

Dengan melangkahkan kakinya lambat nan malas-malasan, Hyungi beranjak ke dapur senyapnya. Tersenyum miris mengingat jika satu kali pun bekas istrinya tak pernah menyentuh ruangan istimewa di dalam unit apartemen tersebut. Bagi Hyungi, dapur seperti memiliki nilai magis hangatnya kehidupan di dalam sebuah keluarga. Padahal ia sendiri pun tak pernah tahu.

Terus melewatinya hingga ke dalam kamar tidur. Hyungi pun merebahkan diri pada ranjang berukuran besar di dalam sana, tanpa lebih dulu berganti pakaian. Ia mengerang rendah atas hidupnya yang dirasa sangat tidak beruntung itu.

"Sialan! Brengsek!" Hyungi menggulung tubuhnya dengan emosi yang rawan pecah di dalam dirinya. Memukuli sebuah bantal kosong tak bertuan tanpa kehendaknya. "Min Hyungi, kau memang payah," lirihnya.

Napas terengah-engah milik Hyungi berangsur normal seiring lemahnya pukulan tangan pria itu sendiri. Tak ada setitik pun air mata, namun hatinya telanjur remuk redam.

Baru saja kehilangan orang kepercayaan tentu terasa sangat menyakitkan untuknya.

Di zaman sekarang ini memang sulit mendapatkan pegawai tetap yang kompatibel, sesuai dengan kriteria ideal Hyungi sejak awal kedai kopi Bitter Coffee didirikan pada sebidang tanah miliknya. Ya, itu merupakan hasil memeras keringat Hyungi sendiri. Harta paling berharga satu-satunya yang ia miliki hingga detik ini--- setelah pernikahan terkutuk itu kandas tentunya.

Seharusnya aku tak perlu percaya pada cinta, itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja.

Lalu sebuah ide terlintas begitu saja di kepalanya. Hyungi menelentangkan tubuh, juga memijit pelipisnya. Berpikiran untuk tinggal saja di kedai kopinya. Toh lantai atas hanya menjadi ruangan kosong saja. Mungkin hanya perlu sedikit sulap untuk menjelma menjadi sebuah kamar tidur. Tak perlu nyaman, yang penting cukup untuk sekadar beristirahat. Itu jauh akan lebih efisien ketimbang harus membayarkan sejumlah uang berjumlah besar untuk sesuatu hal yang mubazir.

***

Keesokan harinya, tanpa mengulur waktu, Hyungi benar-benar melakukan buah pikirannya sendiri. Hyungi baru saja selesai menggunakan jasa pengiriman untuk perabot serta barang-barang pribadi miliknya. Setengah hari ia habiskan untuk membersihkan ruangan lantai atas pada kedainya.

Sweater yang sudah basah keringat menjadi penanda pria itu harus segera beristirahat, belum lagi perutnya pun sudah mulai berbunyi nyaring. Ia pun turun ke kedai, mengernyit heran saat mendapati ponselnya berdering.

"Oh, Jaesung Hyung?"

Suara pria di seberang sana pun menyahut, "Yaa Min Hyungi, kenapa kau menutup kedaimu, huh?! Kau sudah bangkrut rupanya? Cepat bukakan aku pintu!"

Snowy Miracle (✔) [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang