Sarah mengepel lantai tiga kantor itu dengan mata fokus memandang ruang kepala OB, ruang Bu Deleny.
Sejak ia mendapat sms dari Bu Deleny dan sampai sekarang, Sarah belum mendapatkan jawaban atas kebingungannya, Sarah hanya diberitahu untuk mengepel lantai tiga tapi tak boleh jauh-jauh dari area ruang Kepala OB itu.
Tiba-tiba sebuah pemandangan tak asing berhasil membuatnya makin bingung, disana, tepat di dalam ruang Bu Deleny, dua orang laki-laki berjas rapi muncul dan sedang menunjuk kearahnya, yang benar saja?! Sarah menelusuri sekitarnya, mencari, kali saja dua lelaki itu menunjuk orang yang berada didekatnya, tapi Sarah tak menemukan siapapun selain dirinya yang sedang mengepel disana. Tak lama dari itu terlihat Bu Deleny berlarian dengan wajah ngos-ngosan masuk keruangannya sendiri sambil membungkuk.
Ada apa, sih?
Sarah merengut kesal, ia mengepel dengan asal-asalan sejak tadi, karena lantai itu sebenarnya sudah sangat bersih.
Dia melakukan kesalahan apa sampai harus mengepel di lantai yang sebenarnya sudah bersih, ini pasti hukuman! Jika lantai kotor dan ia ditugaskan untuk membersihkannya, jujur, itu pekerjaan yang mudah, dan tentu saja ia tahu kapan pekerjaannya selesai tapi lain halnya jika lantai itu sudah bersih, dan dia disuruh tetap membersihkannya, kapan ia harus berhenti mengepel? Menunggu sampai lantainya keropos? Yang benar saja, itu ubin, bukan kayu!
Suara pintu dibuka mengganti fokusnya, kontan Sarah langsung cepat memperhatikan asal suara tersebut yang tentu saja berasal dari pintu ruangan Bu Deleny. Sarah mengerjabkan matanya beberapa kali ketika melihat dua lelaki dengan setelan jas rapi, bahkan sangat rapi tersebut keluar dari ruangan itu dan melirik kearahnya, bahkan salah seorang dari kedua orang itu tersenyum ramah padanya, seakan-akan mereka saling kenal.
Sarah mengernyitkan keningnya tak mengerti sambil melihat dua lelaki itu melenggang pergi. Mereka benar-benar terlihat tak asing, seakan Sarah pernah melihatnya sebelumnya, apa ini ya yang dinamakan deja vu? entahlah, sekuat apapun Sarah mengingatnya, ia tak akan bisa ingat jika bertemu hanya sepintas seperti tadi, karena sejujurnya, Sarah sangat tak bisa mengingat wajah orang sejak kecil, bahkan ayahnya sendiri, dan Sarah mengatasinya dengan mengingat ciri-ciri khas yang terdapat dari orang tersebut seperti parfum, bentuk rambut, suara.
"Sarah, masuk keruangan ku sebentar." suara melengking khas Bu Deleny menggema, lagi-lagi atasannya itu berteriak memanggilnya, mentang-mentang lantai tiga itu sedang sepi sekarang. Sarah menggeram kesal, atasannya itu memang suka senak jidatnya sendiri, buktinya sekarang beliau memanggilnya seakan dirinya adalah seorang babu!
Sarah bergerak cepat, meninggalkan peralatan mengepel nya dan langsung masuk keruangan Bu Deleny
"Duduk dulu sini." suara lembut yang dibuat-buat itu langsung menyambutnya tepat ketika baru saja ia melangkahkan kakinya masuk
Sarah mengernyit tak mengerti akan tingkah atasannya itu, tak biasanya Bu Deleny menyuruhnya untuk duduk diruangannya, kenapa mendadak jadi ramah sekali, pura-pura punya suara lembut pula
"Ya Bu, langsung saja, ada apa?" tanya Sarah malas berbasa basi, ia langsung mengambil duduk besebrangan dengan Bu Deleny yang di batasi meja
"Semangat sekali kamu." ucapnya memandang Sarah naik turun "Ini, beli pakaian baru." Bu Deleny mengeluarkan uang seratus ribuan tiga lembar, dan langsung meletakkannya di meja depan Sarah.
"B-Bu, apa salah saya? Biarkan saya tau salah saya dulu, agar dapat membela diri." Sarah bergerak mengembalikan uang itu dengan tangan bergetar, itu pasti uang terakhirnya dari perusahaan ini, ia pasti mau dipecat!
"Ha? Aku suruh beli baju, kok malah mau membela diri, sih?"
"Ibu Deleny mau pecat saya, kan?" tanya Sarah memastikan, hatinya sudah gelisah bukan main
Tiba-tiba suara erangan menahan tawa itu terdengar nyaring, Sarah benar-benar tak mengerti dengan situasi saat ini, dengan mudahnya wanita jahat didepannya ini menertawainya, disaat ia harus bersedih karena akan kehilangan pekerjaannya
"Apaan sih kamu, terlalu baper deh, selalu mencurigai saya, sih." ucapnya sambil tertawa, kali ini wanita itu tak bisa menahan tawa menggelegarnya lagi "Ini, saya beri uang buat beli baju, tadi Bapak Damian datang kesini dan menyuruhmu kerumahnya malam ini, pakai baju yang layak, rumahnya itu megah, jangan sampai kau bikin malu atasamu ini." ucapnya kembali menggeser uang seratus ribuan itu di depan Sarah.
"Bapak Damian? Siapa ya, Bu?"
"Astaga!" teriaknya nyaring sampai Sarah harus terperanjat dari kursi "Kamu tak tau siapa dia? Dia itu pemilik perusahaan ini, sekali-kali kamu harus perhatikan sekitarmu, sangat tak sopan, tahu. Eh tapi, wajar sih kalau kamu gak tau, kamu kan cuma OG, jauh sekali batasannya antara OG dan Owner." ucapnya panjang lebar, Sarah memutar bola matanya jengkel, atasannya itu memang suka menyombongkan diri
"Kenapa harus saya yang kerumahnya, Bu. Saya hanya OG yang jauh sekali batasannya dengan beliau, saya itu jauh-jauh sekali dibawah owner." ucap Sarah berusaha menyembunyikan nada jengkel pada suaranya "Kenapa tidak Bu Deleny saja."
"Saya harap juga begitu, tapi Pak Damian mendebatkan tentang mu tadi, dan menyuruhmu kerumahnya." ucap Bu Deleny lagi dengan nada lemah
"Tapi, Bu..."
"Sudahlah, ikuti saja perintahnya, nanti akan ku kirimkan lokasi rumahnya, dan juga ..." tiba-tiba Bu Deleny memperpelan suaranya "Jangan lupa, beri tau Saya apa yang ia minta dari mu. Pokoknya, kamu harus selalu kabari Saya jika menyangkut tentang Pak Damian."
"Bu, sungguh, Saya tak mengerti dengan situasi saat ini, Ibu tiba-tiba menyuruh saya ke kantor dimasa cuti saya, dan sekarang malah menyuruh untuk kerumah atasan yang bahkan saya tak kenal, jelaskan dulu ada apa, Bu. Walaupun dia yang punya perusahaan tempat Saya bekerja, dia tak bisa seenaknya saja menyuruh Saya kerumahnya." ucap Sarah panjang lebar dengan memelas, berharap, Bu Deleny dapat mengerti pemikirannya saat ini
"Sudah ku bilang, jangan banyak tanya, ikuti saja yang diperintahkan, dia punya penawaran untuk pekerjaan barumu, apa susahnya sih!"
"Loh, Bu? Tapi Saya gak mau keluar dari pekerjaan OG Saya, Saya ..."
"Tolonglah, aku malas menjelaskan panjang lebar dan malas sekali berdebat." Bu Deleny memandangnya naik turun, lagi-lagi wanita jahat itu sedang menilainya ya?!
"Kenapa Ibu selalu memandang begitu." ucap Sarah tak tahan lagi melihat Bu Deleny yang memperhatikannya terang-terangan
"Kau ... Sudah lama aku ingin mengatakan ini, sebelum kesana, kembalikan lagi rambutmu seperti semula, warna hitam, kenapa sih kau harus menyemir rambut warna kuning kunyit begitu, dan juga softlens mu itu, tak bisa ya gunakan yang natural saja, kenapa harus warna biru? Bergaya jadi bule, ya?"
"Sebenarnya saya ..." baru saja Sarah ingin menjelaskan bahwa ia sebenarnya memiliki darah campuran yang ia peroleh dari ibunya orang Rusia, sampai Sarah pikir tak ada gunanya juga, pasti Bu Deleny tak akan percaya
"Sebenarnya apa?"
Ingin sekali ia mengatakan yang sejujurnya, bahwa sebenarnya rambut saya memang warna kuning, Bu! Dulu, saya semir warna hitam karena takut jadi bahan perhatian, tapi sekarang warna nya balik lagi, mau nyemir lagi, sayang uang!
"Gak jadi." tapi malah kata lain yang keluar dari bibirnya
"Yasudah, pulanglah sana, jangan lupa jam 7 kamu sudah harus berada dirumah Bapak Damian." ucap Bu Deleny mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh Sarah keluar
"Iya."
"Juga, jangan lupa untuk selalu mengabari ku." Bu Deleny mengingatkan
"Iya." sahut Sarah malas, kemudian bergerak keluar dari ruangan Bu Deleny sambil memasukan uang seratus ribuan itu ke saku bajunya, walau kesal, tapi Sarah tak dapat memungkiri bahwa ia lumayan senang, mendapatkan uang secara tiba-tiba sebanyak tiga ratus ribu loh! Wah! Demi apapun ia tak akan membelanjakan uang itu untuk membeli baju, untuk apa juga, Sarah punya banyak baju dirumah, lebih baik uang itu, ia gunakan buat keperluan lain seperti membeli mie instan satu dus kesukaannya. Untuk membuat hatinya bahagia, memang sungguh sederhana.
♕♕♕
KAMU SEDANG MEMBACA
Mrs.Johnson
RomanceSarah Evans, perempuan yang biasa-biasa saja, jauh dari kata cantik apalagi kaya, banting tulang kerja sana-sini demi sesuap nasi, yang selalu saja mengeluh ketika berkaca, dan mengumpat kesal karena penampilannya, tapi? siapa sangka, karena penamp...