Bab 1 "CELENGAN KERAMAT"

2.7K 57 3
                                    


Tak pernah sekalipun aku berkhayal bisa melangkah sejauh itu untuk bisa datang ke rumah seorang gadis yang aku kagumi keanggunan dan kesholehanya sejak lama, sehingga aku bisa meminta jawaban dari harapanku untuk memulai kisah cinta dalam sebuah ikatan pernikahan bersamanya. Terlebih bila mengingat bahwa aku hanya seorang pemuda miskin yang cuma bisa mengandalkan kemampuan melukisku yang bahkan tak seberapa hebat sebagai mata pencaharian.

Sebagai seorang lelaki, keadaan ekonomiyang sulit membuatku tidak terpikir untuk menikah dalam waktu yang dekat, apalagi memang belum ada perempuan yang di rasa akan mau menerima aku yang seperti sekarang, walaupun sebenarnya di hatiku ada satu nama yang aku harapkan ia akan menajadi istriku kelak, tapi bagai pungguk yang merindukan bulan, aku merasa terlalu rendah bila menginginkan hal itu terjadi. Sehingga tak pernah sekalipun kuutarakan perasaanku itu pada orang lain, bahkan tak pernah kusebut namanya dalam doa sekalipun. Pernah sekali waktu kucoba, ketika kutengadahkan tanganku, kututup mataku dan saat bersiap menyebut namanya, hatiku menjadi malu, tak sanggup rasanya walau hanya sekedar kugerakan bibir untuk menyebut nama gadis itu di hadapan Allah yang maha tahu, betapa rasanya dia terlalusempurna untuk aku yang hanya seorang pemuda biasa. Begitulah yang hatiku rasa, meskipun aku tahu Allah maha berkehendak, tapi rasanya aku tak mampu melawan perasaan yang membuatku merasa kerdil itu.

Kain kanvas, cat dan kuas adalah teman yang mewarnai kehidupan abu-abuku, dan disamping keseharianku melukis itu, akupun cukup getol mengikuti kajian islam dipengajian setiap ahad pagi dimana itulah satu-satunya waktu dalam seminggu aku akan berjumpa dengan Sarah, gadis tambatan hatiku. Biasanya kami hanya bisa melihat satu sama lain dari kejauhan tanpa pernah sekalipun bertegur sapa,tapi seiring berjalannya waktu kamipun saling mengenal meski hanya sebatas mengetahui nama satu sama lain saja. Dia adalah gadis teranggun yang pernah kujumpai seumur hidupku, angga-unggunya yang sederhana menjadi pembeda di antara gadis yang lain, kelembutan hatinya yang menawan begitu nampak meski tertutup oleh kain panjang sederhana yang selalu ia kenakan, membuatku jatuh hati sebelum waktunya. Sungguh aku takut ini adalah sebuah dosa, tapi katanya perasaan seperti itu adalah fitrah, dia akan suci selama kau tahu apa yang harus kau perbuat dengan perasaan tersebut. Di samping minderku, itulah alasan kenapa tak pernah kuisyaratkan cinta padanya meski hati sangat ingin.

Tapi aku sampai pada momen di mana Allah seakan memberikankujalan dari masalah asmaraku itu. Bu Lany adalah tetangga sekaligus teman baikku, aku biasa memanggilnya dengan sebutan "Bu Lan", dia adalah seorang janda beranak satu yang ditinggal suaminya menikah dengan perempuan lain, tapi meski memiliki kisah pilu, pribadinya yang jenaka dari dulu tak pernah pupus, tingkahnya konyol dan lucu, sehingga tak jarang kelakuannya itu berhasil membuatku tertawa lepas. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya kecuali wajahnya selalu berseri, meski usianya hampir kepala empat tapi dia tak pernah sungkan untuk bergaul dengan siapapun, termasuk dengan aku yangberusia 24 tahun ini. Sama seperti aku dan Sarah, dia juga mengikuti kajian rutin setiap ahad, bahkan kalau teman sesama ibu-ibunya sedang berhalangan untuk mengikuti kajian, biasanya aku akan menawarkan boncengan agar bisa berangkat ke kajian bersama.

Entahlah Bu Lany itu memiliki indra ke-6 yang membuat dia bisa melihat isi hati seseorang, atau aku saja yang secara tak sadar melakukan gerak gerik mencurigakan saat berpapasan dengan Sarah, sehingga membuat Bu Lany curiga bahwa aku memiliki perasaan sepesial pada gadis anggun itu. Sekali waktu saat setelah usai kajian aku membonceng Bu Lany pulang, dan di perjalanan ia menanyakan hal yang tak kuduga sama sekali.

"Kamu suka ya sama Sarah?"

Begitu tiba-tiba pertanyaan Bu Lany

"Kenapa Bu Lan tiba-tiba nanya kaya gitu?"

Jawabku agak gagap

"Udah gak usah malu, kalau suka bilang aja langsung sama orangnya, mumpung dia belum ada yang ngelamar"

"Bu Lan, mana mungkin perempuan kaya Sarah mau sama saya"

"Kamu jangan merendah kaya gitu, coba aja dulu"

"Coba kaya gimana maksudnya, Bu Lan?"

"Ya dateng ke rumahnya, lamar"

"Huuh... Bu Lan kan tahu, buat ngidupin diri sendiri aja saya masih susah, apalagi buat ngidupin anak orang. Lagian apa yang menarik dari diri saya yang bakal membuat Sarah nerima saya?"

"Hus ! kamu itu ya, kaya orang yang gak pernah ngaji aja, gak baik tahu ngomng kaya gitu, selama niat nikahnya karna Allah, nanti Allah yang ngasih rezeki. makannya coba aja dulu, aku yakin Sarah itu anaknya baik, dia gak akan lihat laki-laki dari hartanya"

Motor yang kami tumpangi terus melaju seakan tak perduli dengan apa yang kami perbincangkan, sementara aku terdiam memikirkan apa yang di katakan Bu Lany, Begitu lama sampai tak terasa kemudian kamipun sampai di depan rumahnya yang kebetulan lebih dekat daripada rumahku, sesaat sebelum ia turun dari motor, aku memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sebenarnya aku malu untuk mempertanyakannya.

"Bu Lan yakin dia mau sama saya?"

Tanyaku sambil agak malu-malu

"Aku gak bisa mastiin, tapi jujur aku bakalan ikut seneng kalo kamu sama Sarah berjodoh"

"Hmmm... ya sudah Bu Lan kalo gitu saya pamit, makasih ya Bu Lan"

"Ia sama-sama, ayo bismillah, harus yakin!"

"InsyaAlloh, ya udah saya pulang ya, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam"

Semenjak hari itu aku selalu sibuk memikirkan tentang apa yang Bu Lany sarankan, semakin lama dan semakin sering aku memikirkannya perasaan itupun semakin besar, hingga mulai mempengaruhi hari-hariku, wajahnya tak henti hilir mudik di kepalaku, hingga setiap apapun yang aku lakukan bayangan tentang dia sering datang dan mengganggu. seiring bertambahnya perasaan cinta itu akupun mulai di hantui perasaan khawatir akan berdosa, hatiku gelisah tak pernah tenang mengingat tentang bagaimana mungkin aku menyibukan hatiku pada seorang wanita yang bahkan masih belum kukenal, mengalahkan kesibukanku dalam mengingat Allah. Aku khawatir dengan ujian perasaan ini, aku takut kecintaanku pada perempuan yang bahkan belum tentu menjadi jodohku itu mengalahkan kecintaanku pada Allah, na'udzubillah. Mungkin inilah yang orang-orang namakan galau, sungguh waktu itu aku merasa keimananku perlahan melemah.

Kalau sudah begini tidak ada yang bisa menenangkan hati kecuali sang pemilik hati itu sendiri. Semenjak itu aku bertekad untuk meningkatkan ibadahku demi untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa perasaanku pada Sarah tidak akan pernah mengalahkan kecintaanku pada Allah. Tapi di sisi lain aku sadar hal itu juga tidak boleh membuat aku menyerah dari apa yang sedang aku harapkan, apalagi menikah adalah perintah agama, aku harus terus melanjutkan apa yang akan aku lakukan dengan berusaha sekuat mungkin untuk tidak melabuhkan hati padanya sebelum perjanjian suci itu di ucapkan.

Tapi yang membuatku bimbang bukanlah tentang keyakinan mengenai apakah dia adalah seorang yang baik untukku atau tidak, karna aku sudah banyak mendengar tentang kebaikan-kebaikannya dari Bu Lany dan orang-orang yang dekat dengannya. Justru yang mengganggu dan menjadi pertimbanganku adalah tentang apakah aku pantas untuknya ataukah tidak. Beruntunglah sebenarnya aku selalu berada di sekeliling orang-orang baik sehingga saat di liputi keraguan seperti ini aku mudah untuk mendapatkan nasihat, di kajian rutin setiap ahad itu ustadzku mengajarkan, bila seorang muslim ragu dalam memilih sesuatu hendaknya dia melaksanakan sholat istikhoroh untuk meminta petunjuk dari Allah, sehingga aku pun mulai rutin melakukannya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, setelah sekian lama aku meminta petunjuk dari Allah agar di mantapkan hatiku, akhirnya aku yakin untuk datang ke rumah Sarah dan melamarnya. Tapi tunggu dulu, sebagaimana aku harus mempersiapkan diri bila mana di tolak, aku juga harus mempesiapkan diri bilamana di terima. Ya, aku harus mulai mengumpulan uang, meski penghasilanku berdagang lukisan tak seberapa tapi aku tak boleh menyerah begitu saja, aku harus yakin bahwa Allah tidak akan merasa kesulitan untuk memberikanku rezeki dari jalan mana saja. setelah kuyakinkan diriku kemudian aku pergi ke warung dan membeli celengan berbentuk tong yang terbuat dari pelastik, setelah kembali ke rumah, kutatap celengan itu lama sambil bergumam di dalam hati "Ya Allah bila kau ridho Sarah menjadi jodohku, maka mudahkanlah urusanku" kemudian kuambil spidol lalu kutulis di celengan tersebut "UNTUK MENGHALALKAN SARAH". Semenjak itu aku makin giat dalam mendagangkan lukisan-lukisanku, hari demi hari di isi dengan usahaku yang puluhan kali lipat lebih hebat dari biasanya.

LAKI LAKI BIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang