Bab 16 "FLASHBACK"

383 15 0
                                    


Bu Lany dan Pak Rahmat tak pernah menghubungiku lagi semenjak penolakan itu. Meskipun mereka tak pernah menanyakannya secara langsung padaku, aku yakin mereka mengetahuinya dari Bobi atau Anwar. Sepertinya mereka tak enak hati untuk hanya sekedar menegurku lewat telepon dan menanyakan hal yang sensitif itu langsung padaku, apalagi mereka memang mengenalku sebagai seorang yang cendrung tak mau menceritakan hal-hal yang membuatku sedih. Orang-orang terdekatku memang suka mengatakan bahwa aku adalah orang yang rumit.

Tapi setelah beberapa minggu aku tinggal di Jogja akhirnya satu persatu Pak Rahmat dan Bu Lany akhirnya menanyakan kabarku juga. Mereka merasa kaget dengan tindakanku yang dirasanya berlebihan, sampai harus kabur ke Jogja, tapi aku menjelaskan kepada mereka bahwa aku ke sini karena mendapatkan pekerjaan, adapun waktunya yang tak jauh berbeda dengan moement di mana Sarah menolakku adalah suatu kebetulan.

Tentu mereka tak begitu saja percaya, dengan berhati-hati agar aku tak kembali jatuh dalam ingatan yang menyakitkan itu mereka menasehatiku semampu mereka, namun aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja.

Pak Rahmat meyakinkanku bahwa aku pantas mendapatkan seorang perempuan yang lebih sholeha dari Sarah, dia mengatakan bahwa dia yakin aku adalah seorang pemuda sholeh yang tak mungkin Allah biarkan aku berjodoh dengan wanita yang salah.

Semenjak SMA aku memang merasa di spesialkan oleh guruku itu. Entahlah apa yang dia lihat dariku, kalau karena pintar banyak muridnya yang lebih pintar, kalau karena baik bahkan lebih banyak juga yang baik. Tapi bila boleh kutebak alasan kenapa ia menspesialkan aku di antara murid-muridnya yang lain mungkin karena aku punya darah seniman sama sepertinya. Dia memang dikenal sebagai seorang penikmat seni, hal itu bisa lebih jelas terlihat bila datang langsung ke rumahnya dan melihat koleksi buku-buku sastra yang menumpuk di lemari-lemari rumahnya tersebut, foto-foto seniman seperti W.S. Rendrea, Chairil Anwar dan Buya Hamka menghiasi dinding-dindingnya. Meski usianya sudah lebih dari setengah abad tapi jiwa muda masih kental di balik tubuhnya, pandangan hidupnya yang idealis juga ia tularkan kepadaku semenjak SMA dan berbekas sampai sekarang.

Sama seperti ayah dan ibu, aku merasa dia juga menaruh harapan padaku. Aku bisa merasakan betapa ia berharap suatu hari nanti aku akan jadi orang yang berpengaruh, dia sering memberikan wejangan padaku agar aku tak mudah menyerah dalam mengejar cinta-cintaku. Tercatat di dalam hatiku kalau dia adalah salah satu orang yang paling ingin aku melanjutkan kuliah, bahkan dia pernah akan memberikanku sejumlah uang agar aku bisa membayar biaya kuliahku setelah dia tahu kalau aku mau keluar dari kampus, tapi aku tolak, karena aku malu, ia sudah terlalu banyak membantuku.

Aku rasa sudah lama ia memendam kecewa sekaligus kasian padaku, bayangkan saja, dari sekian banyak muridnya hanya aku yang dipilihnya untuk ia jadikan jagoannya, tapi sekarang waktu telah membuktikan bahwa pilihannya itu salah, dan tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Bila mengingat hal tersebut, ada rasa takut di hatiku kalau sikapnya selama ini yang konsisten terus membersamaiku hanya sebuah keterpaksaan saja agar aku tidak semakin terpuruk.

Dan kejadian penolakan Sarah mungkin telah menambah simpatinya padaku, mugkin aku di matanya sekarang hanyalah seorang pemuda miskin yang gagal dan selalu sial. Tapi entahlah, aku tak tahu pasti, bisa jadi itu hanya perasangkaku saja. Tapi yang pasti semua itu selalu menggangguku sejak lama dan aku tak pernah tahu bagaimana cara untuk memperbaiki keadaan yang tak menyenangkan itu.

Saat ini ia sudah tahu kalau aku pergi ke Jogja untuk melupakan semua kejadian buruk yang menimpaku, yang ia tak tahu adalah kapan aku akan pulang dan apakah aku sudah menyerah ataukah belum. Itu yang aku tangkap dari nasehat-nasehat yang ia sampaikan padaku melalui telepon. Mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seolah menggambarkan kehawatiran yang tak dibuat-buat kepada aku yang bukan siapa-siapanya kecuali muridnya waktu di SMA.

Dia bagai ayah ke dua bagiku, dia tak meninggalkanku meski sudah kukecewakan berkali-kali, aku selalu membayangkan suatu saat bisa membuat dia bangga, membuktikan bahwa dia tak salah menilaiku. Tapi kenyataan, semakin aku memikirkan hal itu kehidupan membawaku pada kegagalan demi kegagalan. Dan hal tersebut menjadi salah satu yang menghantuiku.

Sementara Bu Lany sudah kukenal cukup lama namun kami menjadi sangat dekat baru semenjak ia mengomporiku untuk melamar Sarah, sebelumnya aku hanya menggap dia hanya seorang tetangga yang baik dan periang, tapi semakin aku mengenalnya ternyata ia lebih dari itu. Entahlah karena simpati melihat nasibku yang selalu tak beruntung atau karena hal lain, ia juga menjadi salah satu orang yang begitu terasa olehku bahwa ia ingin melihat aku bahagia. Ia ingin aku bahagia dengan aku menikahi seorang wanita sholeha seperti Sarah. Walaupun apa yang kami berdua harapka itu tidak jadi kenyataan. Tapi dengan semua itu sudah cukup membuktikan bahwa Bu Lany adalah salah satu orang yang menyayangiku.

Dan setelah dia tahu kalau aku sekarang menetap di Jogja ia mengatakan bahwa ia merasa bersalah sudah mengomporiku untuk melamar Sarah, dia tak menyangka Sarah akan menolakku sebab dari awal ia berpikir bahwa aku adalah laki-laki yang cocok untuknya. Tapi aku mengatakan kepadanya untuk jangan merasa bersalah karena memang itu adalah keputusanku.

Dia mengatakan setelah mendapatkan kabar penolakan itu dari Bobi dan Anwar, Bu Lany langsung mempertanyakan keputusan itu pada Sarah. Dan Sarah tak mau mengatakan alasannya sama sekali. Bu Lany mengatakan ia tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa mendoakan saja agar siapapun jodohku nanti, Sarah atau bukan. Wanita itu adalah pilihan Allah yang terbaik untukku. Semua yang di ungkapkannya membuatku merasa sangat berterimakasih kepadanya atas perhatian yang ia perlihatkan padaku, sekaligus membuatku merasa rendah karena aku mengira perhatiannya itu datang dari rasa kasihan.

Dia berharap aku segera pulang dan menjalani kehidupanku seperti dulu, mengikuti kajian tiap ahad, menghabiskan waktu dan melakukan hal-hal bodoh dengan Bobi dan Anwar. Sebenarnya aku juga mengharapkan hal yang sama tapi sepertinya itu adalah hal yang sulit, Bobi dan Anwar sampai sekarang belum menghubungiku seperti dulu, dan aku sudah beberapa kali menghubungi mereka tapi cara mereka meresponku tak seperti biasa. Aku merasa canggung untuk membicarakan atau bahkan meminta maaf untuk kejadian yang lalu itu. Akupun tak mengerti mengapa aku merasakan hal itu tapi itulah yang terjadi padaku.

Aku juga belum siap untuk memenuhi keinginan BuLany agar aku segera pulang. Berada di Bandung membuatku sulit untuk melupakankejadian demi kejadian itu. Meski kehidupanku disni juga tak terlalu baik tapi setidaknya disni hatikutidak terlalu sakit, kesibukanku bekerja membuatku bisa sedikit melupakan masalah-masalah itu. Aku tak tahu kapan aku akan pulang, tapi sepertinya aku akantinggal disni dalam waktu yang cukup lama

LAKI LAKI BIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang