33

8.3K 449 30
                                    

Sudah seminggu sejak kejadian Mentari pergi meninggalkan Lucas. Dan sejak kejadian itu, Lucas selalu mengurung dirinya di kamar. Ia berubah menjadi kasar. Setiap barang dilemparnya dan setiap orang yang masuk ke kamarnya tanpa izin akan dimarahi habis habisan oleh Lucas. Dan selama itu pula, Lucas menolak semua makanan.

Lania merasa khawatir dengan Lucas. Meskipun Lucas sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal, tapi Lucas tetaplah anaknya. Darah dagingnya.

Lania mencoba membujuk Lucas makan. Lania mengetuk pintu kamar Lucas pelan.

"Lucas, ini Mama nak. Keluar yuk. Kita makan ya." Ucap Lania.

Tak ada jawaban.

Lania mencoba lagi, tapi setelah mengetuk tiga kali dan tetap tak ada jawaban. Lania mulai khawatir. Biasanya, Lucas akan berteriak menyuruh orang itu pergi, tapi kenapa sekarang Lucas tak bersuara?

Lania memutuskan untuk memanggil Evan di ruang kerjanya. Ketika tiba di ruang kerja Evan, Lania langsung masuk dan melihat Evan sedang mengerjakan berkasnya. Lania kemudian menghampiri Evan dan mengambil berkas di tangan Evan yang membuat Evan menatapnya kesal.

"Ada apa?" Tanya Evan.

"Lucas tak mau makan." Ucap Lania.

"Biarkan saja. Jika dia lapar, dia akan keluar. Kita tunggu saja sampai kapan dia begitu." Ucap Evan acuh. Ia kemudian mencoba mengambil berkas itu, tapi kembali dijauhkan oleh Lania.

"Evan, dia anakmu." Ucap Lania.

"Memang dia anakku. Lalu kenapa?" Tanya Evan.

"Anakmu sekarang tak mau makan. Dan ini sudah seminggu ia tak keluar kamar. Anakmu bisa mati, Evan." Ucap Lania.

"Lalu aku harus bagaimana?" Tanya Evan.

"Bantu aku membuka pintunya. Lucas dari tadi tak mau menjawab panggilanku. Aku takut dia kenapa kenapa." Ucap Lania.

Evan menghela nafas kasar. Ia merasa Lania terlalu memanjakan Lucas. Jika menurutnya, Lucas harus diberi pelajaran atas perbuatannya.

"Baik. Tapi jika tak mau keluar, aku akan keluar." Ucap Evan.

Lania mengangguk. Mereka kemudian menuju kamar Lucas. Sesampainya di depan kamar Lucas, Evan mengetuk pintu itu.

"Lucas, keluarlah. Jangan seperti anak kecil. Ibumu khawatir padamu." Ucap Evan.

Tapi tak ada jawaban. Evan mencoba lagi dan hasilnya sama saja. Evan kemudian berbalik menatap Lania.

"Kau lihatkan. Lucas tak mau keluar. Sudah biarkan saja dia. Dia sudah besar." Ucap Evan kemudian berlalu pergi tapi dicegah oleh Lania.

"Coba kau dobrak pintunya." Ucap Lania.

"Kumohon." Ucap Lania saat melihat Evan akan menolaknya. Evan mengacak rambutnya kasar sebelum menyetujui permintaan Lania.

"Baiklah."

Evan kemudian mengambil ancang ancang untuk mendobrak pintu. Dan dalam sekali sentak, pintu itu terbuka lebar.

"Lucas." Ucap Lania saat melihat Lucas terkapar di lantai kamarnya.

Lania kemudian berlari mendekati Lucas dan membalik tubuh Lucas.

Panas.

Itulah yang dirasakan Lania saat menyentuh badan Lucas.

"Pa, tolong angkat Lucas." Ucap Lania.

Evan kemudian menghampiri Lucas dan mengangkat Lucas ke ranjang. Lania keluar memanggil dokter.

Tak lama Lania kembali dengan dokter di belakangnya. Evan memberikan ruang bagi dokter itu untuk memeriksa Lucas.

"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" Tanya Lania.

"Anak ibu hanya dehidrasi dan kekurangan nutrisi." Ucap dokter setelah ia memeriksa Lucas.

Lania menghela nafas lega mendengar itu. Ia kira Lucas akan kenapa kenapa.

"Nyonya, bagaimana kandungan menantu anda?" Tanya dokter yang membuat Lania menegang.

Apa Mentari hamil?

"Apa menantu saya hamil, dok?"

"Anda belum tahu? Menantu anda sedang hamil. Apa menantu anda belum memberi Nyonya?"

Jadi, benar Mentari hamil. Apa Mentari tak memberi tahu Lucas perihal kehamilannya?

"Saya rasa menantu saya ingin memberi saya kejutan." Bohong Lania.

"Nyonya, ini obatnya. Dan saya mohon undur diri." Ucap dokter itu. Evan kemudian mengantar dokter itu keluar.

Lania menatap Lucas dan mengelus rambutnya pelan.

"Kau akan segera menjadi ayah, Lucas. Selamat."

Tanpa disadari oleh Lania, Lucas telah sadar dan mendengar semua percakapan itu.

****
Zealand melihat Mentari yang murung di kamar. Mentari menjadi seperti itu sejak ia tahu ia hamil.

Zealand kemudian menghampiri Mentari dan duduk di samping Mentari. Mentari tak menyadari keberadaan Zealand.

"Mentari." Panggil Zealand pelan yang mengangetkan Mentari. Mentari menoleh dan tersenyum pada Zealand.

"Ada apa?" Tanya Zealand.

"Tidak ada."

"Mentari, Lia mencarimu." Ucap Zealand.

"Nanti aku akan menemuinya." Ucap Mentari.

"Mentari, dengar ini. Kau sedang hamil dan kau tak boleh terlalu banyak pikiran. Itu akan membahayakan kandunganmu." Ucap Zealand.

"Aku tahu, Zealand. Aku hanya berpikir apakah Lucas akan mengambil anak ini." Ucap Mentari.

"Mentari, Lucas tak akan mengambil anakmu. Lucas juga tak tahu kau hamil. Dan kau adalah ibunya. Tak akan ada yang bisa memisahkan seorang anak dengan ibunya." Ucap Zealand.

"Mentari, kau sudah menerima anakmu kan?" Tanya Zealand.

"Tentu saja. Dia adalah anakku. Aku tak mungkin menolaknya."

"Baguslah. Kalau begitu sekarang kita keluar dan mencari udara segar. Tak baik seorang ibu hamil terus mengurung dirinya." Ucap Zealand sambil mengajak Mentari keluar.

Mentari tersenyum. Ia sungguh beruntung mendapatkan Zealand yang menerima dia apa adanya.

Sorry baru up, soalnya kemarin adikku ulang tahun jadi bantu bantu. Dan juga ada tugas bikin blog. Baca sama komen ya. Blog aku cenlivia6721.blogspot.com

SORRY, I LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang