Suara Altar ngebuat gue menoleh menatapnya "Ini kak, kak Allata ngedorong aku, padahal aku cuma nanya dia baik baik eh dia malah ngedorong aku" adunya ke Altar, Altar membantunya berdiri dan kini Altar menatap gue dengan sebelah alis yang diangkat
"Gue gak ngerasa ngedorong elu, tangan gue juga diem aja, bahkan tangan gue masih ada bekas tangan lu. Tapi gue akui drama lu bagus, queen. Sangking bagusnya dapat ngebuat orang sekitar kasihan. sama lu!" balas gue tak mau kalah dengan dia, gue melipat kedua tangan gue di depan dada enatap angkuh orang di hadapan gue.
"Maksud Kakak apa? Drama apa, ha?! Kakak tuh gak usah memutar balikkan fakta ya! Gara gara Kakak, aku luka! Kalau Kakak emang gak suka sama aku, ngomong! bukan malah kayak gini!" bentak Zia membuat gue tersentak, namun gue menormalkan ekspresi gue kembali "Aku curiga sama Kakak, jangan jangan Kakak mau pisahin aku dari Kak Altar atau bahasa kasarnya mau nikung, aku juga gak percaya kalau Kakak hanya sebatas sahabat sama Kak Altar dan Kak Barkan! Asal Kakak tau, Kakak gak jauh lebih buruk dari seekor hama penganggu! Aku kasian sama Kak Altar sama Kak Barkan, pasti mereka merasa gak keganggu punya sahabat kayak Kak Allata, ck kasian!" ujar Zia sinis, gue mengepalkan kedua tangan gue, mencoba tidak terpancing dengan ucapan Zia.
"ZIA!" suara bentakan itu membuat gue maupun Zia terkejut, Altar. Suara itu berasal dari Altar. gue melupakan Altar yang sendari tadi berada tak jauh dari gue maupun Zia, begitu pula dengan teman teman Altar yang berada di belakang Altar "Minta maaf ke Allata!" seru Altar dengan nada yang tegas
"Kenapa aku harus minta maaf ke Kak Allata? Aku gak salah disini! seharusnya Kak Allata yang harus minta maaf ke aku! Lagian Kak Altar tuh harus berterima kasih sama aku, kalau gak ada aku, hama kayak Kak Allata gak akan pernah sadar kalau dia itu penganggu. Seekor hama tuh harus dibasmi biar gak ganggu! Aku kasian sama Kak Altar, pasti selalu keganggu dengan keberadaan Kak Allata! Seharusnya Kak Allata tuh sadar, posisi Kakak tuh gak seharusnya berada diantara Kak Altar dan Kak Barkan, Kakak tuh cuma bisa nyusahin orang!" gue menatap Zia tak percaya dengan apa yang dia katakan, iya sih banyak anak sekolah yang kadang mandang gue sinis, tapi baru dia yang berhasil ngomong kayak gitu ke gue. Hebatlah, gue tuh salut sama orang yang berani bilang gitu sama gue secara langsung ketimbang harus repot repot ngomongin gue dari belakang. Sebenarnya gue marah Zia ngefitnah gue tadi tapi perlahan gue terteguk mendengar ngomongan Zia ke gue, jarang kan ada orang yang ngomong secara langsung kayak gitu. Hingga perkataan Zia buat gue bener bener marah kali ini
"Apa Kak Allata gak pernah diajarin sama orang tua Kakak buat jangan jadi pengganggu di kehidupan seseorang, miris sih kalau orang tua Kak Allata gak pernah ngajarin Kak Allata gitu"
Altar sempat melirik kearah gue, dengan gerakan tubuh yang was-was, tapi gue gak menggubrisnya dan terus berjalan kearah Zia
"Gue gak pernah keberatan lu ngehina gue hama, ngehina gue pengganggu, gue bakal tetep diam berharap dengan keterdiaman gue lu berhenti ngoceh, tapi asal lu tau aja gue gak bakal diam kalau lu udah ngomong tentang keluarga gue! Siapa lu yang berani ngomong tentang keluarga gue! Lu hanya orang luar yang kurang kerjaan ngurusin hidup gue, orang luar yang cuma bisa ngomong sampah, gak guna dan gak berbobot!" jawab gue dingin dengan sorot mata yang tajam menatap manik mata Zia, gue melangkah maju kearah Zia hingga membuat Zia reflek memundurkan langkahnya "Gue gak pernah cari gara gara sama orang, It's okay lu ngomong sampek mulut lu berbusa gue bakal diam, gue gak bakal kesinggung dengan segala omongan lu yang gak berbobot ini, karena ada yang lebih parah dari omongan lu, tapi gue gak bakal semarah ini kalau lu! udah menyangkut pautkan keluarga gue! sekarang mau lu apa ha!!" bentak gue geram, kesal dan marah hingga membuat Zia terkejut, bahkan membuat beberapa orang yang memusatkan perhatiannya mundur. Altar tak akan melakukan apa-apa jika hal yang gue lakukan masih dalam batas.
"Kakak harus jauh-jauh dari Kak Altar!" balas Zia dengan sisa keberaniannya, gue melipat kedua tangan gue menatap Zia di depan gue "Oke" balas gue, membuat Zia tersenyum tipis "Kalau itu kemauan Altar gue bakal lakuin, tapi kalau enggak, lu bisa apa?" lanjut gue dengan wajah angkuh, gue menatap Altar yang kebetulah menatap gue. Sebuah gelengan kecil dapat membuat gue tersenyum sangat tipis. Setelah itu gue melangkah pergi meninggalkan kerumunan, tak perduli Zia udah mencak mencak disana dengan Altar yang berusaha menenangkannya.
***
Hal yang paling gue sukai di tempat futsal ini selain udaranya sejuk disini juga ada tamannya, dan kini gue memilih duduk disebuah ayunan, karena tamannya lumayan sepi jadi otomatis gak bakal ada yang ngegangu gue disini.
Gue gak mengingat lagi hal yang terjadi pada menit lalu, gue juga gak dendam ataupun masukin ke hati omongan Zia yang tadi, ya walaupun gue masih sedikit marah karena keluarga gue disangkut pautkan, gak terimalah gue. Tapi yaudah lah, sabar aja gue.
Gue membuka kantong kresek dan mengeluarkan es krim yang sempat gue beli tadi, gue memainkan ponsel seraya memakan es krim yang kini mulai mencair. Ponsel yang gue mainkan kini menampilkan panggilan dari sebrang sana. Jeha.
"Halo, Tha"
"Salam dulu kek"
"Hehehe, sorry. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, apa?"
"Yaampun Tha lu tau gak?"
"Enggaklah"
"Jangan dipotong dulu dong"
"Iya, apa?"
"Gue lagi jalan sama si Arkan, Ya Allah Tha, gue seneng banget"
"Dijajanin apa lu sama dia?"
"Cuma nyari makan sih, deket deket rumah gue"
"Yaela, Je"
"Tapi gue seneng gitu, kapan lagi diajak makan sama Arkan"
"Dia yang ngajak atau lu yang maksa ngajak dia, gue gak yakin sih kalau dia yang ngajak dulu"
"Heheheh, ya gue lah, Tha. Mana mau dia ngajak duluan, orang dia kaku kayak gitu"
"Heh, itu temen gue yaaa!"
"Iya iya maaf deh"
"Lagian ya, Je. Kalau dipikir pikir nih ya, lu itu beruntung banget, karena setiap ada olimpiade lu selalu dipasangin sama Arkan. Kurang beruntung gimana coba, yakan?"
"Iya juga sih, Tha"
"Tapi dia dingin banget ke gue""Es batu juga butuh waktu buat mencair kali, Je"
"Gilee omang gue udah kayak apaan, hahahaha"
"Anjirr sok puitis banget sih lu, hahahaha."
"Yaudah deh kalau gitu, gue mau kencan dulu""Gitu doang? Lu telfon gue cuma bilang kayak gitu, bener bener ya lu"
"Iyee deh, yang kencan. seneng seneng ya lu"
"Ya maap deh, Tha. Hehehe, see you, muah, assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Gue kembali bermain ponsel saat sambungan ponsel dimatikan oleh Jeha, entah membuka apa yang jelas gue bener bener gabut dan gak mau beranjak dari sini. Akhirnya gue memilih menonton film yang kemaren sempat gue download disekolah, The divergent. Larut dalam film gue hampir gak sadar ada sepasang sepatu sneakers yang ujungnya menyentuk ujung sepatu sneakers milik gue membuat gue yang menunduk kini mendongak. Senyum itu menular hingga membuat gue juga ikut tersenyum.
-10Ok19-

KAMU SEDANG MEMBACA
ALLATA
Teen FictionIni cerita tentang sebuah pilihan terberat yang akan Allata hadapi Pilihan dari sang semesta, yang akan menentukan masa depannya Dengan bantuan kedua sahabat kampret tersayang, Allata siap menghadapi masa masa tersulit sekalipun Tak perduli apapun r...