Video

5.5K 197 0
                                    

"Iya, Kak. Aku janji akan membantu kamu."

"Mas Heri tunggu pembalasan dari setiap air mata wanita yang telah kamu hancurkan!"

"Tapi apa kamu yakin, Kak? Kan kamu tahu sendiri Mas Heri gimana? Aku takut dia berbuat nekat padamu ketika mengetahui semuanya." Silvi tampak sangat khawatir padaku.

Aku paham kenapa dia begitu, tapi sampai kapan Mas Heri semena-mena dengan perempuan? Aku akan berhati-hati agar tak terluka. "Kamu tenang aja, Sil. Pokoknya kamu tetap galak samaku, yah."

Silvi mengangguk. Dia menggenggam tanganku erat. Senyuman itu kutampakkan dengan sangat jelas, agar dia tahu aku tidak seperti Ibu Safa dan Zidan. Anakku akan mendapatkan haknya.

Silvi berpamitan dan kembali pada pekerjaannya. Aku ingin melihat Zidan, tapi rasanya masih sangat berat. Aku merasakan pusing yang lumayan berat. Kuharap Zidan dan Safa tak marah karena itu. Mereka belum mengetahui akan memiliki seorang adik.

"Nak. Semoga kedua kakak kamu, mencintai dan menyayangimu dengan tulus, Sayang." Aku mengusap perut terus-menerus. Hal yang paling kuinginkan akhirnya datang. Walau sebetulnya dia datang di waktu yang tidak tepat, tapi setidaknya dia membuatku semangat dan bangkit.

*****
Sedih rasanya jika mengingat dua tahun lalu saat Mas Heri melamarku. Dia tampak sangat serius dan bersungguh-sungguh mengutarakan keinginanya untuk menikahiku. Di hadapan kedua orang tuaku dia memberikan sebuah cincin berwarna putih.

"Kumohon menikahlah denganku, Mila. Jadilah ratu di hatiku dan pelindung untuk Safa dan Zidan."

Aku saat itu hanya terdiam, tak berani menjawab. Maka aku meminta waktu untuk berpikir terlebih dahulu sebelum menerima lamaran itu. Sesungguhnya aku memang mencintainya, hanya saja dengan status duda beranak dua membuat keluargaku sedikit tidak setuju. Terutama ibuku. Beliau sangat tidak senang jika aku menerima lamaran Mas Heri.

Berbeda dengan ayahku. Beliau menyerahkan sepenuhnya keputusan padaku. "Nak, yang akan menjalani rumah tangga adalah kamu. Ayah hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Jika hatimu mengatakan iya, maka ayah setuju dan merestuinya."

"Ayah! Anak kita ini gadis, dia masih perawan. Sampai hati Ayah mengatakan begitu. Ibu enggak setuju. Lihatlah dia ada anak. Akan jadi apa anak ibu nanti, Yah?"

"Buk ... enggak boleh mendahului Allah. Ibu tahu dari mana kehidupan Mila yang akan datang? Doa yang terbaik dari kedua orang tua akan memudahkan jalan hidup anak, Buk. Ibu enggak sayang sama Mila?" balas Ayah dengan penuh kasih sayang. Ayahku tetap mencoba memberikan pengertian pada ibu, agar tidak memikirkan hal buruk. Bagi ayah jika perkaraan orang tua buruk, maka Allah akan ijabah.

Saat itu aku hanya terdiam, tak berani berkata apapun. Tak ingin menyakiti ibu dengan menentangnya di depan ayah. Hatimu mencintai Mas Heri walau dia seorang duda. Bahkan Safa dan Zidan lah yang membuat cinta itu semakin bersemi.

Aku bertemu Safa ketika mendatangi sebuah pesta seorang teman. Dengan dress berwarna merah muda dan bando kupu-kupu membuat Safa sangat cantik, tapi dari aku datang dia terus menangis Aku yang memang menyukai anak kecil langsung meminta izin untuk menggendong Safa.

"Mila!" jerit seorang teman bernama Chelsea.

"Kenapa, Chel? Kok teriak?"

"Iihh ini anak dari tadi nangis mulu. Bapaknya entah ke mana. Aku udah cape usaha buat diamin, eeh sekalinya digendong kamu dia diam."

Itulah kesan pertamaku pada Safa. Aku langsung jatuh cinta padanya. Saat itu umurnya mungkin baru sekitar enpat bulan. Dalam hatiku, setelah mendengar cerita bahwa ibunya pergi untuk lelaki snagat marah. Ibu mana yang tega meninggalkan anak secantik ini, tapi sekarang aku baru tahu kebenarannya. Semua kebusukan Mas Heri satu persatu akan kuungkap dengan hati-hati.

****
"Assalamu'alaikum, boleh ibu masuk, Nak?" salam Ibu mertua menyadarkan diriku.

"Wa'alaikum salam. Boleh, Buk."

Ibu terlihat lesu. Gairahnya terlihat menghilang entah karena apa. "Mila. Maafkan Ibu, Nak."

"Kenapa, Buk?"

"Heri akan menikah hari minggu nanti," kata ibu dengan mata yang berkaca-kaca.

Sakit! Hati ini sakit dan terluka. Kugubris perasaan ini, agar tetap kuat dan membalas semua perbuatan Mas Heri. "Ya sudahlah, Buk. Mila enggak bisa apa-apa."

Hati itu kami habiskan dengan berdiam diri. Baik ibu ataupun aku tak ingin membahasnya untuk sekarang. 'Mas tunggu saja kejutan dariku.'

****
Paginya aku terjaga dan melihat Safa juga Zidan tertidur pulas di ranjang sebelah. Mungkin Silvi memindahkan Zidan, entahlah aku tak tahu. Kuambil infus itu dan perlahan turun dari ranjang. Mencari telepon genggamku untuk menghubungi seseorang yang akan membantuku membalas semuanya.

Aku harus menyusun strategi yang matang biar kemungkinan gagal hanya 0,1%. 'Kali ini kamu akan terbakar sendiri, Mas.'

"Assalamu'alaikum. Kamu di mana?"

"Aku di Palembang ada proyek kerja. Kenapa, Mil?"

"Aku ingin kamu menolongku."

"Menolong? Kamu kenapa? Suamimu mana?"

"Nanti aku cerita, yang penting setelah selesai kerja dan kamu kembali ke sini, segera hubungi aku."

"Iya ... iya. Aku merindukanmu, Mil."

"Aku juga merindukanmu. Aku hamil, usianya sudah empat minggu."

"Alhamdulillah. Aku sangat senang mendengarnya. Tunggu aku pulang, yah."

Telepon itu terputus setelah pembicaraan kami yang lumayan panjang.

****
Aku merasa sudah lebih baikan setelah berbicara dengan dia. Sekarang tinggal menunggu perawat mencabut infus ini. Tanganku sudah terasa pegal.

Sekitar pukul 07.10 WIB. Setelah semuanya bangun kecuali Safa. Kami sarapan bersama. Kemudian tak disangka kedua orang tuaku datang. Aku sangat kaget. Siapa yang memberitahukannya. Ibu nampak sangat sedih melihat kondisiku.

"Ibu sama Ayah kok bisa kesini?" tanyaku keheranan.

"Ibu yang telepon," balas mertuaku.

"Mila kamu betulan hamil, Nak?"

Aku tersenyum bahagia. "Iya, Buk. Ibu sama Ayah akan segera dapat cucu dari, Mila."

Ibu memelukku sembari menahan air matanya. Ini impian mereka yang sangat besar. Aku memiliki ssaudara. Namun, Allah mencintainya lebih. Saat melahirkan anaknya dia pulang dan meninggalkan kami selamanya. Dia tak pergi sendiri, anaknya juga ikut dibawa pulang.

"Suamimu mana, Mila?" tanya ayahku.

"Hhmmm ... a-anu, Yah. Mas Heri-----"

"Assalamu'alaikum. Ayah-Ibu? Kok datang enggak bilang-bilang," sela Mas Heri dari belakang.

#bersambung

Video di Dalam Gawai Suamiku. [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang