VIDEO

6.9K 257 1
                                    

Dadaku sungguh sesak. Aku marah! Aku sangat marah pada Mas Heri. Kenapa dia membawa anaknya untuk melihat prilaku yang menjijikan itu. Kenapa dia tak mengembalikan Zidan dulu, jika memang sudah tak dapat menahan hasratnya. 'Ya Allah. Mohon tegur suami hamba!'

Dalam keadaan yang seperti itu. Aku berusaha menenangkan Zidan agar dia tak stress. Kurasa hanya Mas Heri satu-satunya ayah di dunia ini yang berprilaku bejat pada anak-anaknya. Dia tak pandang bulu.

Entah setan apa yang merasuki dua sejoli itu. Sehingga mereka tanpa merasa malu melakukan hal itu kepada Zidan.

"Sayang. Kenapa waktu ibuk itu datang Zidan enggak bilang sama Bunda?"

"Zidan takut sama ayah, Bunda. Makanya setelah Zidan siap makan, langsung pergi bun," tutur Zidan.

Aku mengingat kembali. Memang begitu Wenda masuk ke dalam rumah, Zidan menjadi sedikit gelisah. "Maafkan Bunda, ya Nak. Bunda janji akan menjaga kalian. Dia enggak akan bisa melakukan hal yang sama untuk kedua kali, Bunda janji!"

Zidan nampak lebih tenang setelah aku mengatakan hal itu. Berulang kali Zidan memelukku dan tanpa sadar itu membuat Safa yang sedari tadi berdiri, cemburu.

"Kenapa cuman Zidan yang dipeluk? Bunda nggak sayang sama Safa?" ujar Safa sembari melipat kedua tangannya.

Menggemaskan! Sungguh dia anak perempuan yang sangat menggemaskan. "Sini Sayang. Uuhh jangan merajuk dong. Bunda sayang kalian bertiga."

"Tiga?" jawab Safa seraya membuat jarinya dua.

"Tiga ini Sayang," ujarku sembari memberikannya contoh.

****
Mas Heri kembali ketika matahari sudah diupuk timur. Begitu sampai dia langsung mandi dan duduk di depan televisi sembari sibuk dengan gawainya. Gawaiku berdering. Membuatnya melirik mencari sumber suara, karena dia tidak tahu telepon genggamku sudah berganti dengan yang lebih bagus.

"Itu suara handphone siapa?"

"Punyaku, Mas."

"Kamu banyak duit, yah Mila? Apa orang tuamu yang membelikannya?"

"Iya Mas! Aku permisi sebentar."

Aku melihat gawai itu. Seseorang yang sangat kurindukan. Sepertinya dia sudah sampai Jakarta. Aku tak mengangkatnya, hanya mengirimkan pesan.

[Assalamu'alaikum. Aku enggak bisa angkat, Mas. Kamu udah sampai Jakarta? Kamu lagi di mana?]

Tak lama aku mendapat balasan.
[Wa'alaikum salam Mila. Aku baru sampai. Ini masih di bandara Soekarno- Hatta. Kalau kamu enggak sibuk, kita ketemuan sekarang, yah.]

Hatiku bahagia begitu membaca balasan dari lelaki itu. Dengan niat dan keberanian yang sudah terkumpul. Aku meminta izin pada Mas Heri untuk ke luar.
Kukira dia akan mencegah atau sekedar bertanya. Salah! Kau salah Mila! Dia sama sekali tak peduli.

"Ya sudah pergilah," ujar Mas Heri. Matanya masih terpaku pada layar datar itu.

Kecewa? Tidak, biasa saja. Aku seperti sudah terbiasa diperlakukan begitu. Kalau dulu iya. Aku akan menangis setiap kali Mas Heri cuek.

"Bunda ada sedikit urusan. Bunda janji enggak akan lama." Aku pergi setelah meyakinkan Safa dan Zidan.

Kupesan taksi online untuk menuju lokasi pertemuan kami. Hatiku berdebar setiap jarak yang ditempuh semakin dekat. "Aku sangat rindu."

*****
"Milaa!" pekik seorang lelaki, begitu aku ke luar dari taxi.

"Mas Raffi?" Aku membalikan tubuh. Betul saja. Lelaki yang memanggilku itu adalah Mas Raffi.

Video di Dalam Gawai Suamiku. [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang