Video

5.8K 202 0
                                    


"Aaaaggg!" Aku merintih kesakitan, perutku nyeri. Rasanya sangat sakit. Mataku berkunang-kunang.

"Mila! Mila!" jeritan Ibu terdengar sebelum aku menutup mata.

***********
Perlahan-lahan kubuka mata yang masih terasa berat. Kepala bagian belakang sangat sakit. Ruangan putih yang berbau khas itu membuatku sedikit mual, "Aaakh." Aku meringis kesakitan. Lalu mencoba untuk duduk.

"Mila! Nak kamu udah sadar? Alhamdulillah kamu dan bayimu selamat. Allah masih menyayangi kalian, Nak." Suara Ibu mertuaku terdengar parau. Entahlah, sepertinya dia baru saja menangis.

Terbayang kembali dalam benakku apa yang terjadi di restoran itu. Mas Heri dengan gamblangnya meminta izin untuk menikah. Aah tidak! Dia akan tetap menikah walau tanpa izin keluarga. Masih ada satu yang mengganjal selain itu semua. Mobil! Iya mobil siapa yang dipakai Mas Heri.

Aku tahu betul, dia tak mungkin diberikan mobil oleh perusahaan tempatnya bekerja. Mas ... ternyata begitu banyak rahasia dan kejadian yang tak kutahu selama pernikahan kita ini. Ternyata kau telah membakarku hidup-hidup selama ini, hanya saja aku terlalu naif untuk mencari tahunya.

"Bunda ...." Suara yang membuatku rindu itu menyadarkan diri ini dari lamunan yang menyakitkan.
Terlihat Safa mendekat dan langsung menggenggam tangan yang terpasang selang infus itu. Senyum Safa sangat ikhlas dan menyejukkan hati. Kubalas senyumnya, walau hati teriris sangat dahsyat atas perbuatan ayahnya.

"Bunda jangan sakit," serunya dengan mata yang berbinar.

Anak kecil ini membuatku tak dapat menahan sesak di dada. Jantungku sakit. Sungguh sakit! Sekuat tenaga kutahan air mata itu, agar tak ke luar. "Iya, Sayang. Safa jangan nangis, nanti Bunda ikut nangis."

Seketika itu juga Safa menyeka air matanya dan kembali tersenyum. "Safa sayang Bunda." Safa mencium tanganku.

'Dia bukan anakku, Ya Allah. Namun, cinta ini begitu besar untuk mereka.'

"Sudah ... sudah, Safa jangan ganggu bunda. Biar bunda istirahat dulu," ujar Ibu mertuaku dan membawa Safa ke luar.

Aku sendiri di ruangan yang serba putih itu, "Nak! Kita harus kuat. Kamu harus kuat. Bunda janji kamu akan mendapatkan yang layak." Aku mengusap perut seraya melirik ke langit-langit. Berbicara sendiri. Menarik napas dan mengaturnya perlahan.

Terdengar suara pintu sedang dibuka. Silvi berdiri dengan sorot mata yang masih tajam. Saat ini bagiku itu semua sudah tak berarti. Aku harus kuat dan tak takut lagi walau apa yang akan Silvi ucapkan. Sekejam atau sesakit apapun akan kuterima, mungkin itu cara Silvi memperingatkan orang.

"Gimana?"

"Gimana apanya, Sil?" tanyaku heran.

"Ya gimana perasaanmu setelah mengetahui bahwa Mas Heri selingkuh?" ujar Silvi sambil mendekatkan kursi ke ranjangku.

"K-kamu tahu dari mana?"

"Ibu cerita tadi samaku, Kak. Bagaimana? Masih mau bertahan?" Pertanyaan menohok yang dilemparkan Silvi tepat masuk ke jantungku.

Aku terdiam sesaat, sembari memikirkan apa yang harus dikatakan, "Haaah ...." Aku menarik napas panjang.

"Kenapa? Apa segitu cintanya kamu dengan Mas Heri, Kak? Kamu masih mau bertahan setelah apa yang dia lakukan padamu? Serius? Haaah! Cinta, ini yang membuatku sampai sekarang tak ingin terlalu menaruh hati walau pada suamiku sendiri. Aku hanya mencintai anak-anakku, karena mereka tak akan menyakiti hati ini." Silvi terlihat menahan tangisnya.

Kenapa suasana seakan terasa sunyi, setelah Silvi mengatakan semua itu? Apa sebenarnya yang Silvi ketahui tentang Mas Heri?

"Dulu tak ada yang percaya padaku bahwa Mas Heri menyiksa mantan istrinya secara batin. Seluruh keluarga malah marah dan menganggapku cemburu karena Mas Heri menikahi wanita kaya raya," sambung Silvi yang kini sudah berlinang air mata.

"Sil. Sebetulnya apa yang terjadi? Apa yang kamu ketahui dan yang enggak aku ketahui?" tanyaku cemas.

"Kamu enggak tahu apapun, Kak. Seandainya dua tahun lalu aku lebih dulu bertemu denganmu, pasti pernikahan kalian tidak akan terjadi. Aku akan mencegahmu untuk tidak menikah dengan Mas Heri."

"Kenapa? Bukankah Mas Heri abangmu?"

"Iya! Dia abangku, Kakak betul. Dia memang abangku, tapi dia lelaki bajingan yang pernah kukenal."

"Ibu bilang kalian sangat dekat kan, Sil?"

"Benar semuanya benar, Kak! Hanya saja, banyak yang orang tidak tahu tentang, Heri!" Silvi terlihat emosional sekali ketika menyebut nama suamiku.

"Tolong ceritakan padaku, Sil."

******

"Begitulah Kak yang sebetulnya terjadi. Heri itu lelaki bajingan. Sekarang, setelah kamu mengetahui semuanya. Apa kamu masih mau bertahan?"

Penjelasan Silvi yang amat panjang itu menghujam jantungku berkali-kali. Mas Heri, lelaki yang menikahiku dua tahun lalu ternyata seorang lelaki yang tidak memiliki perasaan pada wanita. Kata cinta dan sayang yang dia umbar ternyata hanyalah jebakan, agar para wanita mau padanya. Dia menggunakan anak-anaknya untuk mencari simpati semua orang. 'Mas kamu keterlaluan!'

"Aku mau minum, Sil."

Dengan sigap Silvi meraih gelas yang ada di sebelah kirinya. "Ini, Kak. Maafkan aku sudah bertindak kejam selama ini padamu. Aku suka padamu, namun kasihan karena mengetahui yang sesungguhnya."

"Nggak apa Sil. Kamu nggak salah. Malah sekarang aku menjadi tahu apa yang harus dilakukan," balasku yakin.

"Jadi kamu masih mau bertahan?"

"Iya! Aku akan bertahan dan memberikan Mas Heri pelajaran yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Aku janji, Sil!"

"Kak. Aku bangga padamu. Ibu Safa dan Zidan tak memiliki keberanian sepertimu. Dia tersiksa jauh lebih parah lagi. Dia ... dia---"

"Dia wanita hebat, Sil. Dia merahasiakan semua perlakukan Mas Heri dari keluarganya dan memilih bertahan. Namun aku masih menyayangkan dia tak membawa anak-anak bersamanya."

"Dia ingin, Kak! Dia ingin, tapi Mas Heri yang mengancamnya. Jika dia membawa Safa dan Zidan, Mas Heri akan melakukan hal yang di luar akal sehat. Dia kehilangan anaknya karena stres yang amat berat."

"Anaknya?"

"Iya, Kak. Zidan memiliki adik kembar yang meninggal saat berusia empat bulan dalam kandungan. Ibu mereka mengalami depresi yang sangat berat saat itu. Jika hidup mereka akan berusia tiga tahun lebih."

"Jadi Safa hanya selisih beberapa bulan."

"Itulah kebiadaban Mas Heri yang sesungguhnya, Kak. Dia menyiksa istrinya secara batin. Aku nggak mau kamu mengalami hal yang sama. Apalagi kehamilan ini yang kamu tunggu sejak dua tahun lamanya." Silvi menggenggam tanganku erat.

"Enggak, Sil. Mas Heri nggak akan bisa menyakitku atau anak dalam kandungan ini, seperti yang dia lakukan dulu. Kamu enggak usah khawatir, yang penting kamu rahasiakan ini dari keluarga. Aku enggak mau bapak dan ibu sakit karena ini."

"Iya, Kak. Aku janji akan membantu kamu."

"Mas Heri tunggu pembalasan dari setiap air mata wanita yang telah kamu hancurkan!"

#bersambung

*****

Video di Dalam Gawai Suamiku. [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang