Shout of Painful

87 25 0
                                    

"Lisa, tunggu!"

Tangan Syaima dicekal umminya sebelum aksi kejar-kejaran di butik itu terjadi. Syaima meringis, menatap penuh harap. "Jangan impulsif, Syaima. Tergesa-gesa adalah perbuatan setan, ingat?"

Belum sempat Syaima melayangkan protes, sosok Lisa sudah menghilang, lenyap dari pandangan. Begitu pula dengan Arkan, sudah berlarian menyusul.

Lisa tak ingin menangis. Lisa hanya lari dari kenyataan, sebagaimana yang ia lakukan selama ini. Pergi sejauh mungkin. Lebih memilih kembali bahagia dalam ilusi, seperti sebelum-sebelumnya.

"Lisa, hei. Kita bertemu lagi setelah reuni menyenangkan kemarin. Kau terlihat kelelahan setelah berlarian dari ujung sana. Keringat sebanyak itu tak wajar, Lisa.  Ada apa?"

Langkahnya terhenti, mendongak untuk mendapati sosok Kayla di hadapannya. Di belakang, suara lain sukses menyedot perhatiannya. "Lisa, ayo kita pulang. Es krim milikmu pasti sudah mencair."

Ditatapnya Arkan yang segera mengajak pulang, memahami situasi. Lisa menyemburkan napas ke udara, bersatu dengan gas lainnya. Mendadak, ia menjentikkan jemari sambil memamerkan cengiran lebar ke arah Kayla. "Oh ya, reuni. Tentu saja. Aku akan pergi reuni." Lisa menoleh, melirik sekilas pada Arkan tanpa berani mendalami manik matanya, hanya untuk menemukan harap-harap cemas di dalamnya. "Kau ... pulang duluan saja. Aku akan segera menghubungi Ibu untuk meminta izin."

"Hah? Tapi baru kema--"

"Oh, ya." Lisa buru-buru memotong pernyataan gamblang Kayla, terkekeh palsu, yang terdengar sumbang bagi telinga siapa pun. "Tak masalah. Tentu, baru kemarin undangan reuni akbar itu diedarkan. Tak mengapa. It's not a big trouble, Girl."

Tak memedulikan kerutan dalam di dahi Arkan, Lisa melambai-lambaikan tangan, tak lupa dengan wajah semringahnya. "Sa, aku yang bawa kamu ke sini. Aku juga yang bertanggung jawab harus memastikan kamu pulang dalam keadaan baik-baik saja."

Konyol. Tawa meledak begitu saja dari mulut Lisa, sementara Arkan dan Kayla berpandangan dalam tanya, merasa tidak ada yang lucu sama sekali. "Oh, tentu saja aku akan pulang tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Ada temanku, bukankah begitu, Kay?"

Kayla gelagapan, kaget karena mendadak dilibatkan pada drama kecil-kecilan di hadapan matanya. Tak ada pilihan lain, Kayla memilih mengikuti alur skenario yang tak pernah tertulis itu. "Eh? Iya," kata Kayla, terdengar gamang dan ragu-ragu.

Lisa semakin tergelak, menciptakan keheranan yang lebih terasa pada dua orang lainnya. "Nah, kau dengar sendiri, 'kan?"

"Bagaimana kau pulang?" Arkan masih membatu, mengulur waktu untuk Lisa mempertimbangkan semuanya kembali. Pertanyaan yang tidak sesederhana itu pada dasarnya. Pertanyaan yang punya makna jauh lebih luas dari kedengarannya.

Ya, pulang. Return to the place where your heart is. The place that you call home.

Memilih purnama dengan berjuta lubang celanya, mentari dengan sinar menyilaukan yang tak mampu kau genggam sedikit pun, atau justru kembali terombang-ambing, mencari tambatan baru?

"Kau benar-benar lucu, Arkan. Ini 2019, demo mogoknya tukang angkutan umum beberapa waktu silam tidak mempengaruhi maraknya ojek online di kota Tasik sekali pun. Aku punya aplikasinya. Tak perlu mencemaskan aku. Meskipun tidak modal, ada Kayla yang bisa kucuri wi-finya," sahutnya, masih tertawa yang membuat Arkan semakin resah. "Don't worry, Honey. I will contact you if i need a help or finish going back to home."

"Really?"

"Sure." Jawaban yang tetap saja tidak ampuh meredakan kecemasan Arkan.

Just let it go, Arkan. Helaan napas terdengar putus asa dari mulutnya. Dengan sebuah keterpaksaan, Arkan mengembangkan senyuman, sekadar memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja, menyembunyikan segala kecamuk rasa di dalam sukmanya. "Okay. Take care. Take your time, my dear."

Majelis in Love✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang