Chaos Holiday!

80 25 0
                                    

Semilir angin siang itu menciptakan haus tiada tara di kerongkongan. Seputar wajah banjir oleh keringat. Hancur sudah niat Lisa yang sempat terpikirkan untuk sekalian mencari jodoh di kota pelajar ini. Yogya benar-benar panas! Tiga kali lipat lebih panas dibandingkan musim kemarau panjang di Tasik. Setidaknya, Lisa belajar satu hal. Di kota kelahirannya dulu, panas sedikit saja, Lisa sudah mesam-mesem sebal sambil tak henti mengeluh. Tahunya, masih banyak kota yang jauh lebih mengerikan dengan cuaca ekstremnya.

Seisi stasiun berjibun makhluk berbagai macam rupa. Ada yang standar, lokal, keturunan blasteran, burik, produk impor, sampai pelancong-pelancong asing berkulit putih dari manca negara. Kalau saja tidak ingat situasinya, Lisa pasti sudah menghambur ke arah bule yang terlihat kepanasan itu, untuk meminta selfie. Norak, macam yang ia lakukan saat study tour kelas delapan dulu. Habisnya, di Tasik mana ada kesempatan ketemu orang luar negeri. Probabilitasnya 0,0001%. Terlalu kecil kemungkinan.

Meski begitu, tak dapat dipungkiri, di tengah padatnya kesibukan stasiun, Lisa sempat-sempatnya berkali-kali curi pandang ke arah gerombolan lelaki turis berbadan kekar plus wajah tampan yang dicucuri keringat. Cogan, broh! Gila. Daerah yang punya destinasi wisata menarik, memang beda. Oh, apalagi yang tinggi bercambang macam Zayn Malik itu. Cool! Niat laknat tadi kembali muncul ke permukaan. Kali aja jodoh, lumayan untuk memperbaiki keturunan.

Nahla angkat suara, sambil tak henti mengipas-ngipas wajah mengkilapnya dengan tangan--yang tidak berpengaruh menghalau panas sedikit pun. "Waduh, Sar. Gerah banget. Yakin mau jalan-jalan dulu, enggak langsung check-in hotel aja biar bisa istirahat?"

Sang pencetus ide berpikir cepat, mempertimbangkan situasi. "Oke, mending kita istirahat dulu sambil makan siang di kedai sana. Gimana?"

Yang lain mengangguk setuju sambil sesekali mengobrol ringan, yang lagi-lagi mengeluh kepanasan. Mereka baru berhasil keluar dari ramainya stasiun. Lisa sih, no comment. Anak itu lebih sibuk menelusuri sekeliling, menganalisis tiap orang yang berpotensi sesuai dengan tipenya. Dasar cewek ganjen bermata keranjang!

"Hei, kau dengarkan intruksi Sarah, enggak, sih? Jangan jauh-jauh, ya. Awas aja kalau aku harus mencarimu di tengah sumpeknya manusia-manusia ini. Sadar diri, kau terlalu kecil. Merepotkan banget kalau sampai hilang," omel Nahla sambil terus menggenggam pergelangan tangan Lisa yang memang tak fokus pada jalannya sendiri.

Bukannya menanggapi ledekan Nahla, Lisa justru histeris. "Huaa, Nahlun! Banyak cowok ganteng!" Mata Lisa melebar antusias, berjingkrak-jingkrak tanpa sadar. Terus terang saja, saat awal menginjakkan kaki di tengah kerumunan orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing, ditambah serangan ganas mentari di atas sana membuat bibir Lisa gatal untuk segera mengeluh. Tapi urung begitu melihat turis-turis tampan itu. Bagaikan melihat oase di tengah padang pasir! Ya, Lisa suka banget sama produk impor, meskipun sering minder karena kulit mereka jauh lebih putih dari pada dirinya yang cewek tulen.

Nahla mendengus, mengeratkan genggaman tangan Lisa. Kalau tidak dicangcang begini, bisa-bisa Lisa sudah kabur terbius oleh kegantengan pelancong luar negeri itu. Berbeda dengan Lisa, Nahla justru tidak tertarik. Putih sih, putih. Tapi barang bawaan diangkut asisten. Enggak jantan, enggak gentleman. Jauh kebangetan kalau dibandingkan dengan Levy yang gagah berani memusnahkan titan-titan sialan itu. Nahla tuh tipenya tsundere atau cowok-cowok dingin kayak di anime begitu.

Gerombolan anak sastra memilih kedai lesehan pinggir jalan yang tak begitu besar, tapi sepi. Hanya makanan sederhana, tidak neko-neko. Lagi pula, mereka cukup sadar diri kok sebagai mahasiswa yang kebanyakannya ngekos dan punya uang terbatas.

Pemandangan cowok-cowok ganteng luar negeri itu lenyap, berganti dengan om-om berjanggut lebat dengan keriput sana-sini yang merupakan pemilik lesehan tempat mereka makan. Seolah baru saja sadar dari biusnya, Lisa kembali merasakan keringnya kerongkongan. Saking sakitnya, Lisa sampai sulit membuka mulut hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Aduh, Lisa benar-benar butuh es krim!

Majelis in Love✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang