Shut Up, and Let Me Protect You

85 25 0
                                    

Satu setengah jam berlalu penuh sumpah-serapah dari mulut Lisa. Bukan apa-apa, Nahla dan si pantat panci menyebalkan itu menyeretnya masuk kafe. Pakai bawa-bawa kata komitmen dan tanggung jawab, pula. Padahal waktu segitu lebih dari cukup untuk menghabiskan ratusan halaman novel.

Sebelum Lisa benar-benar menghabiskan seluruh energinya untuk mengayuh sepeda, getaran di ponsel sukses menyedot perhatiannya di antara sejuta kekesalan yang ada.

Jangan bersedih ketika sang mentari tenggelam tanpa pernah terbit kembali. Meski diliputi kegelapan, masih ada rembulan yang bersinar dengan sejuta purnamanya. Percaya atau tidak, itu adalah aku.

Nomor tak dikenal, pesan misterius kedua dengan nomor berbeda yang tampaknya ditulis oleh orang yang sama. Lisa memiringkan kepala. Meski dirinya jurusan Sastra Indonesia yang terbiasa bermain dengan diksi, ia tak punya petunjuk sedikitpun mengenai sosok anonim itu.

Siapa dia? Secret admirer-nya kah? Lisa nyengir, menyembulkan gigi kelincinya. Lisa tak menyangka bahwa ia sehebat itu sampai punya pengagum rahasia segala.

"Punya secret admirer ternyata menyenangkan juga ya, Mano. Rasanya seperti dapat perhatian setiap saat." Tangan kanan Lisa menepuk-nepuk kepala sepeda dengan bangga. Oh ya, Lisa sampai lupa mengenalkan. Mano itu nama sepeda kesayangannya. Sengaja memilih 'Mano' karena diambil dari penggalan nama panjang kembarannya, Lalisa Manoban.

Bangunan rumah sakit bercat putih tulang itu berdiri kokoh, menjulang tinggi. Tampilan gagahnya justru memberi kesan suatu hal mengerikan yang tersembunyi. Sambil mengayuh pedal sepeda, imajinasi Lisa mulai melanglang buana sambil melayangkan pandang pada rumah sakit yang hanya terpaut lima meter dari posisinya saat ini, muncul dari balik rimbunnya dedaunan pohon yang berjajar di sekitar.

Seakan ada kekuatan magis, mata Lisa merasa tertarik untuk terus tertaut pada bangunan putih itu. Lisa bergidik ngeri, membayangkan betapa menyakitkannya suara tangisan kehilangan yang selalu bergema di sana. Tangisan yang telah melepas kepergian orang tersayang kembali pada pelukan kasih-Nya. Tangis yang Lisa takutkan akan terdengar dari kamar 108.

Oh, ayolah. Lisa menyemburkan udara ke atas. Pikirannya harus positif. Tidak ada tangis, tidak ada sedih, dan tidak ada yang kehilangan atau meninggalkan hari ini. Sudut hatinya memanas. Egois sekali rasanya, kalau ia berharap Syaima mati hanya untuk membuka kesempatan lebih lebar, bahwa Je dapat ia raih. Lisa tak sekejam itu.

Sepeda motor melesat cepat di belakang sana, dan menyerempet ban belakang sepeda Lisa yang tanpa sadar sudah ke tengah jalanan sejak tadi. Sebelum sepedanya benar-benar tertabrak, Lisa membanting setang ke bahu jalan dan sepeda motor itu hanya menggores bagian belakang sepeda. Lisa terguling, dengan sepeda yang menindihnya dalam keadaan sama buruknya.

"Woy, jangan kabur gitu aja!" Saking tersulut emosi, Lisa melupakan lukanya. Ia membanting sepeda agar tak menghalangi gerak tubuhnya, kemudian berlari kecil, menyongsong pengendara motor tadi yang sudah menjauh dan menghilang di kelokan jalan. Sadar bahwa mengejar manusia tak tahu diri itu sudah tak memungkinkan, Lisa hanya bisa menggerutu, kembali ke posisi di mana sepedanya terbanting.

"Dasar, ya. Lagi jalanin motor aja buka hape, sih. Padahal pasti enggak lebih penting daripada keselamatan kita, Mano. Kusumpahi semoga hapenya kecebur got, aamiin. Oh ya, maafkan aku, Mano. Tadi spontan membantingmu. Kau tidak apa-apa, 'kan?" Begitu memeriksa sepeda, Lisa baru merasakan perih di lututnya. Pasti ada lebam akibat hantaman dengan aspal. Lisa meringis, tak henti menyumpah-nyumpah orang tak bertanggung jawab tadi. "Bertahanlah, Mano. Pulang ini aku akan mengobatimu di tempat servis."

Lisa memarkirkan sepeda, kemudian memasuki bangunan putih rumah sakit. Di lorong-lorong, Lisa celingukan kiri-kanan, sudah macam hendak mencuri ayam kampung Pak RT, takut ketahuan. Aman. Tak ada keluarga Syaima di sekitar sana. Menilik waktu yang sudah masuk ashar, keluarga bahagia itu pasti sedang bermunajat dengan Rabb-nya. Tapi rasanya, mereka tidak mungkin meninggalkan Syaima sendirian.

Majelis in Love✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang