Reformasi

294 40 19
                                    

"Ama!" Pekikan riang yang sudah tak asing di telinga Syaima itu memenuhi setiap sudut halaman masjid agung Tasikmalaya.

"Maa syaa Allah," refleks Syaima, menatap penampilan makhluk absurd di hadapannya yang kini terlihat sangat berbeda. Kerudung merah muda mencapai perut, gamis terusan biru muda dengan dilapisi jaket hitam kesayangannya. Ia lebih memukau meskipun terlihat kedodoran dan menampilkan dengan jelas betapa kerempeng tubuhnya. "Kau jadi kelihatan cantik banget, Sa. Sampai pangling mataku melihatnya."

Pantas saja pagi ini mentari bersinar begitu terangnya. Terlihat anggun tertutupi gumpalan awan putih cemerlang yang menghiasi angkasa raya. Tak heran hari ini sangat cerah.

Lisa terbahak kegirangan. "Dari lahir, Lisa tuh udah cantik maksimal. Baru sekarang, kamu nyadar?"

"Hush," tegur Syaima. "Muslimah baik tidak pernah tertawa berlebihan."

Lisa berdeham, memperbaiki ekspresi. "Oh, iya. Biasanya, ikhwan-ikhwan alim itu lebih suka wanita anggun dari pada wanita bobrok kayak aku, ya." Gadis itu menampilkan cengiran lebarnya. Terlihat bangga menyatakan diri sebagai 'wanita bobrok'.

"Lebih tepatnya gini, bagi seorang wanita, rasa malu itu suatu hal yang penting. Bahkan suatu hadis pernah mengatakan bahwa apabila hilang rasa malu pada seorang wanita, hilang pulalah seluruh kebaikannya."

"Oke, Lisa, stay cool," petuahnya pada dirinya sendiri. "Harus bisa jaga image depan calon imam."

"Yang lebih penting itu jaga image di hadapan Allah," koreksi Syaima, lagi.

Lisa mendengus sebal. "Iya, deh!"

Syaima terkikik sambil menutup mulutnya. "Aku seneng sih, bisa lihat kamu syar'i banget kayak gini. Semoga istiqomah, ya."

"Pasti! Biar Abang Ganteng juga istiqomah dalam mencintaiku. 2018, kembaran Lisa Blackpink road to hijrah. Reformasi, dimulai!"

Syaima menggeleng. "Stop dramatis, ya, Sa."

Lisa melirik jam tangan biru laut yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. "Masih ada lima belas menit sebelum pengajian di mulai. Aku ke sana dulu, ya. Beli cemilan." Lisa menunjukkan cengiran lebarnya. Baginya, cemilan adalah hal paling penting ketika mendengar ceramah. Biar enggak ngantuk, katanya.

Syaima tersenyum memaklumi kepribadiannya dan memilih untuk masuk masjid terlebih dahulu.

Angin segar pagi hari memainkan lembut jilbab merah muda Lisa. Gadis itu menatap bergantian jajaan pedagang makanan dan minuman di setiap sisi trotoar.

Netranya berhenti di gerobak sederhana dengan tempelan huruf membentuk kalimat 'Batagor si Mang Handsome. Batagor Spesial, dari Mang Spesial, untuk Kamu yang Spesial.' Langkah Lisa terhenti, diiringi seruannya, "Mang, batagor spesialnya satu, ya. Enggak usah pake pedas. Bonteng, kecap, sama bumbu kacangnya yang banyak, ya."

"Siap, Neng."

Lisa memutuskan menunggu sambil memainkan game Happy Mall Story di ponselnya. Meskipun sering dibilang 'membosankan dan enggak ada gunanya' oleh teman-teman sekelas, bagi Lisa game ini bisa mengasah kemampuan berwirausaha dan belajar mengelola keuangan dengan baik. Biar bisa jadi istri idaman buat Abang Ganteng, gitu. Padahal, itu semua hanya kamuflase. Selera Lisa memang anti-mainstream, cuy.

Majelis in Love✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang