Dejection Day

86 23 0
                                    

"Mau ikut Abil enggak, Kak Lisa?"

Alis Lisa mengerut penuh heran. Sejak tadi, pertanyaan yang gadis kelas dua SMP itu lontarkan, selalu saja sama. Mengajak ke suatu tempat, berlagak layaknya jin pengabul permintaan yang berasal dari teko emas mininya Aladdin. Lisa serasa tengah di dunia mimpi. Tangannya memeluk erat ensiklopedi yang dipinjam dari perpustakaan masjid agung, tidak muat untuk dimasukkan ke dalam tas selempangnya. Bahkan ukurannya jauh lebih besar dari pada badannya sendiri. "Ke mana?"

Sok misteriusnya, Abil malah terkekeh. "Abil anggap Kak Lisa setuju."

Lisa mengangkat alis, kemudian memilih untuk tak berkomentar apa-apa. Oke, tak masalah. Tidak lucu sekali kalau anak seusia Abil berniat macam-macam pada dirinya yang notabenenya lima tahun lebih tua. Bisa hancur martabatnya di hadapan bocah SMP itu.

Benak Lisa dipenuhi banyak hal, sampai tak sadar bahwa Abil yang sejak awal memimpin jalan, kini telah menghentikan langkahnya di depan sebuah bangunan dua lantai, bercat hijau muda terawat. Dengan tangkas, Abil mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan emoticon smile kuning cerah dari saku gamisnya. Abil semangat sekali memasukkannya pada lubang kunci di pintu depan.

"Eh, astaghfirullaah al-'adziim, Abil sadar, Abil! Istigfar! Ingat ada Allah! Kamu tidak boleh mengambil hak orang lain, dosa, Bil! Dosa!" Di belakangnya, Lisa sudah histeris teriak-teriak tak keruan.

Abil sedikit mendongak untuk menatap Lisa dengan dahi mengernyit. "Lho, kenapa, Kak? Ini kan rumahku sendiri."

Lisa segera menarik napas sebanyak mungkin, mengelus dadanya agar lebih tenang sedikit. Benar juga, Abil kan membawa kuncinya. Bagaimana bisa ia berpikiran negatif pada anak itu? "Kukira kamu mau mencuri. Aku jelas enggak maulah kalau harus jadi saksi di pengadilan untuk kasus pengambilan hak orang lain ini. Habisnya kau juga, sih. Buka kunci pintu aja auranya nafsu banget, bikin salah paham."

Gelakan tawa terdengar dari mulut Abil. "Ya sudah, ayo masuk, Kak Lisa."

Begitu memasuki pintu depan, Lisa mengamati interior sekeliling rumah. Tak begitu besar, tapi cukup mewah bagi Lisa. Luasnya mungkin tiga kali lipat lebih besar dari pada rumahnya. Abil malah berbaik hati menawari Lisa untuk mengelilingi rumah.

Pertama kali masuk, ruang tamu dengan tiga buah sofa merah, beberapa potret serta hiasan kaligrafi yang tergantung artistik di dinding akan menyambut mata. Penasaran, Lisa mendekat pada foto terdekat. Empat anggota keluarga yang duduk manis, terlihat harmonis. Lisa tersenyum, ada kehangatan yang bisa ia rasakan, terpancar dari senyuman lebar mereka. Lisa langsung mengenali seorang anak perempuan berusia enam tahunan dengan seragam merah-putihnya yang terlihat masih baru. Itu pasti Abil. Lisa tertawa kecil. "Tak kusangka kau punya wajah selucu ini waktu kecil, Bil. Meskipun masih kalah saing sama kembarannya Lisa Blackpink ini, sih."

"Lucunya Abil enggak luntur-luntur kok, Kak. Enggak ada tuh istilahnya lucu waktu kecil. Yang ada, Abil tambah lucu tiap waktu," sahut Abil, tak mau kalah narsis.

"Eh, kau punya kakak laki-laki, Bil?" Lisa memicingkan mata. Wajah di potret itu rasanya tidak begitu asing. Lisa terlalu fokus sampai tidak menyadari anggukan Abil. "Ih, abangmu lucu sekali, Bil. Ingin kucubit pipinya. Bikin gemes. Eh, tapi ini pasti sekitar tujuh tahun lalu, ya? Abangmu pasti sudah besar, sekarang. SMA, atau bahkan kuliah, mungkin? Kapan-kapan kenalkan padaku, ya!"

Abil mengulum senyum mendengar cerocosan Lisa. Uh, andai saja abangnya dengar, bisa-bisa melayang hingga ke sidratul muntaha dia. Abil memilih tak berkomentar apa-apa, kembali mengajak Lisa pada bagian rumah lainnya.

Tiga kamar mengelilingi ruang tamu. Satu kamar mandi di dekat dapur, kemudian ada halaman belakang luas yang asri dengan tanaman indah memenuhi sejauh mata memandang. Lantai dua, ada sebuah kamar, kamar mandi, ruang keluarga, lengkap dengan balkonnya. Berdasarkan pengakuan Abil, kamar itu adalah kamar abangnya. Memandang pintunya saja Lisa sudah bergidik. Ayolah, memasuki kamar cowok adalah sebuah mimpi buruk, hal terakhir yang akan ia lakukan di dunia ini.

Majelis in Love✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang