Something Wrong

79 20 0
                                    

Saat kau jatuh karena manusia, maka bangkitlah karena Allah.

Pesan berikutnya, dari nomor yang sama. Ada sebuah rasa yang menelisik masuk dalam ruang kalbunya. Setiap kata itu, menorehkan sensasi aneh yang tak dapat terbantahkan. Dadanya terasa sesak, menghimpit.

"Tenang saja. Ada Allah, kok. Dia sangat mengerti kamu, selaku makhluk ciptaan-Nya. Dia akan selalu mendengarkan keluh-kesahmu. Dia akan selalu hadir, bila kau selalu menghadirkan nama-Nya di setiap sepertiga malammu, waktu yang paling romantis untuk bercengkerama dengan Rabb-mu."

Pesan misterius itu bercambang, menguraikan memori Lisa pada hari menyakitkan itu. Namun, ada yang lebih menyakitkan daripada itu semua: Allah sudah memberi kode pada Lisa dengan dibangunkan persis saat sepertiga malam. Tapi Lisa masih saja tidak peka-peka. Suara hatinya berbisik lembut. Sebenarnya, kau ini siapa, Sa? Kau hanya seorang hamba berlumur dosa, bahkan rasanya kau terlalu busuk untuk memasuki Surga Allah. Kau hanya hamba lemah tak tahu diri. Kau bukan siapa-siapa, tapi dengan angkuhnya bertingkah seolah Allah yang membutuhkanmu. Padahal siapalah ia? Tak lebih dari tanah, yang akan kembali lagi pada tanah di saat Allah berkata 'ini saatnya untuk pulang'.

Semilir angin malam justru membawa Lisa pergi jauh pada sesuatu yang sempat otaknya terima beberapa jam sebelumnya. Ini soal sejarah melegenda, sejarah fantastis tiada tara yang terjadi ratusan abad lalu. Lisa mempelajari tokoh-tokoh besar itu.

Abu Bakar Ash-Shidiq senantiasa mengkhawatirkan nasibnya di akhirat kelak meskipun Rasulullah telah menjamin kehadirannya di Surga, sedangkan Lisa masih merasa aman-aman saja dengan amalnya yang tak seberapa, seolah Surga dapat dibeli dengan mudahnya.

Utsman bin Affan rela menginfakkan seluruh harta kekayaannya di jalan Allah, sedangkan Lisa bahkan tak mampu merelakan sebuah rasa berlabel haram yang tak berbalas.

Di usia muda, Ali bin Abi Thalib sudah mampu menyalurkan ilmu pengetahuannya demi umat, sedangkan Lisa bahkan mengorbankan seluruh waktu belajarnya hanya untuk mengkhayalkan masa depan dengan ilusi semata.

Umar bin Khatab punya dedikasi tinggi dan menjadi penegak tonggak kemajuan umat dengan sabetan pedangnya yang luar biasa, menggetarkan hati para musuh Allah. Sedangkan Lisa, jangankan berjihad, mengorbankan cinta untuk seorang makhluk yang sama-sama punya berbagai macam kekurangan sepertinya saja tidak mampu.

Ibunda Aisyah binti Abu Bakar mampu mengangkat derajat wanita di hadapan manusia dengan luasnya wawasan yang beliau miliki. Sedangkan Lisa, masih saja sibuk menye-menye, melankolis dengan kisah cintanya yang tak seberapa jika dibandingkan perjuangan para sahabat Rasul.

Ibunda Maryam binti Imran dapat tegar menghadapi berbagai fitnah, kecaman, tuduhan, cacian, sekaligus makian Bani Israil yang berprespektif buruk soal bayi yang dikandungnya tanpa ayah. Sedangkan Lisa, mudah tumbang hanya karena sentuhan lisan netizen.

Dengan izin Allah, di balik segalanya, banyak tokoh besar Islam yang mengangkat derajat sekaligus memperjuangkan agama Allah sampai sebesar ini. Egois sekali, kalau Lisa malah menyia-nyiakan pengorbanan besar itu hanya karena sebuah akreditasi di hadapan manusia yang hakikatnya serba kekurangan.

Basuhan air wudhu' terasa menyejukkan sampai ke hati. Rasa sesal itu berkumpul dari satu titik tubuhnya, menggumpal, kemudian bermuara pada pelupuk mata. Hingga di penghujung sujudnya, rasa itu bersatu untuk disalurkan lewat air mata yang mengalir deras.

Oh, Allah ....
Kau benar-benar terasa dekat. Sedekat kening dengan sajadah. Sedekat urat nadi yang mengalirkan darah kehidupan dalam diri.

Katanya, mengharap pada makhluk itu menyakitkan. Maka mulai detik ini, izinkan Lisa untuk menggantungkan harapan hanya kepada-Mu, satu-satunya. One and only. Katanya, tidak akan pernah ada kekecewaan bagi hamba yang berserah diri pada Rabb-nya. Karena kekuatan iman, dapat mengalahkan pahitnya kenyataan.

Majelis in Love✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang