The Real HAHA

88 24 0
                                    

Lima belas menit menjelang berkumandangnya adzan ashar, di atas panggung sana, Hafidz sudah menutup diskusi kali ini. Sebelum cecunguk buluk itu menyadari kehadirannya, Lisa bergegas menjejalkan alat tulisnya ke dalam tas selempang. Kemudian, Lisa mencari celah waktu saat Hafidz berbalik melangkah ke arah backstage, Lisa segera mengambil langkah seribu.

Baru lima langkah dari tempat duduknya, Lisa tetap berada pada posisi yang sama, padahal kakinya sudah berlari sekuat tenaga. Lisa menghentikan gerakan kaki begitu menyadari tudung jaket hitamnya ditarik dari belakang. Dengan wajah sebal dan ditekuk, Lisa melayangkan tatapan horor pada Nahla, dalang di balik semuanya.

Gadis berwajah oriental itu malah menampilkan cengiran, memperlihatkan deretan gigi rapi, membuat matanya terlihat segaris. "Halo, Lisa! Kukira kau tidak akan hadir. Tumben sekali."

"Lepaskan tanganmu dari jaket mahalku, Nahlun, Nahla Bahlul! Kau ingin aku mati tercekik, apa?!"

Nahla terbahak keras, menuruti permintaan Lisa yang sudah megap-megap kehabisan napas. Lisa menampilkan wajah masamnya. Heran. Rasanya, orang-orang terdekatnya hobi sekali melihat Lisa kesusahan dan ternistakan.

"Oh, ini dia anggota yang selalu kau tanyakan kehadirannya di setiap diskusi kita, Sensei! Dia ini tipe-tipe tsundere, memang. Bilangnya enggak tertarik, tapi diam-diam terus mengikuti Bumi Sastra. See? Lisa ini tipikal cewek yang gengsinya segede gajah. Padahal tinggal bilang 'saranghae' aja, susah amat," oceh Nahla yang ngawur dan orang sunda bilang 'ngaler-ngidul teu puguh tujuannana', begitu Hafidz kebetulan lewat dan berhenti di samping Lisa.

Muka Lisa sudah matang dengan suhu yang tinggi. "Shut up! Apa yang kau katakan, Nahla? Kau ini anak sastra bukan, sih, pemilahan bahasa dalam bicaramu tidak beraturan. Jangan malu-maluin jurusan, dong."

Sekilas, Lisa melirik ekspresi Hafidz. Huh, hanya soal menunggu waktu, cecunguk buluk itu pasti akan besar kepala dan mengolok-oloknya tiada henti. Tapi dugaan Lisa keliru. Hafidz hanya menatap datar, kemudian berlalu kembali ke backstage untuk memberi intruksi pada staf komunitas. Tiada kata, tiada senyum, atau apa pun itu. Aneh. Semakin hari, Hafidz semakin sulit dimengerti jalan pikirannya. Oh, kutu kupret! Kenapa Lisa seolah mengharap reaksi dan tanggapan lebih dari cecunguk buluk itu?

"Whoa, Sensei sibuk banget, ya, sampai enggak sadar mematahkan hati cewek labil satu ini."

Lisa mengernyit, menatap penuh penghakiman pada Nahla yang seolah bermaksud menyindir dirinya. Lutung kasarung! Kenapa Nahla mendadak semenyebalkan ini? Dan, sejak kapan Nahla mencomblangi Lisa dengan cecunguk buluk itu? Lisa semakin yakin, Nahla butuh psikolog atau fasilitas rumah sakit jiwa sekalian.

"Tuh, kan. Yang merasa hatinya terhancurkan pasti begitu. Dikit-dikit sensian, matanya enggak kalem, pula." Nahla justru semakin tergelak melihat wajah kesal Lisa.

Lisa mendengus, malas menanggapi teman sejurusannya yang sengklek minta ampun. Tanpa berniat menatap wajah tengilnya sekali pun, Lisa sudah berlalu dari hadapan Nahla.

Nahla lekas-lekas menarik pergelangan tangan Lisa. "Eh, jangan main ninggalin gitu dong, Sa. Ada yang harus kubicarakan padamu."

"Apa?! Awas saja kalau bawa-bawa cecunguk buluk itu!"

"Idih, Lisa. Sensei dibilang cecunguk buluk? Cermati dengan baik, deh. Sensei tuh charming, lho. Cool, ganteng, kharismatik, auranya tuh ... hm, persis cowok-cowok Wattpad yang sering kau baca itu, Sa!"

"Matamu katarak, La! Lagian, ngapain sih panggil dia 'sensei'? Dasar, wibu! Udah ah, aku duluan. Bye!"

Sebelum Lisa benar-benar meninggalkannya dan kelihatan tampang jomblo mengenaskannya, Nahla memilih untuk segera to the point. "Oke, serius ini. Aku mau bicara. Jadi begini, Sarah punya rencana bikin teater di luar kota saat liburan habis UAS."

Majelis in Love✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang