II

58 6 2
                                    

-o0o-

"Lo telat," kata sambutan untukku dari Matrix yang sudah setia duduk di bangku kayu yang terpatri cantik di taman depan ruangan Hiwa.

Aku melihat matahari yang masih berada di sudut empat puluh lima derajat dari timur. Itu tandanya aku tepat waktu, bukannya telat.

"Masih ada setengah derajat lagi sebelum gue telat," balasku.

Enak saja jika aku harus menyerah begitu ia menuduhku terlambat. Aku membenci kata telat, tidak mungkin aku menjilat ludah sendiri dengan kata itu.

"Lo nggak ingat kata gue tadi pagi sebelum upacara? Kita ketemu lima menit lebih awal," tandasnya.

Aku kalah telak. Bagaimana aku bisa melupakan itu. Kenapa otakku tidak bisa mengingat hal sepenting itu lebih lama?

Ini pasti gara-gara kejadian yang menggangguku barusan. Dasar Sigma, Kathleen, dan cewek sialan.

"Algo.. Algo.. walaupun Lo pinter dan punya sifat kepemimpinan yang hebat. Lo juga harus mengasah daya ingat Lo. Lain kali gue nggak mau Lo lupa lagi," Matrix menyeringai lalu tersenyum.

Aku sangat yakin, senyum Matrix tidak akan pernah tulus ia berikan. Mendengar berita yang tersebar anggota Hiwa, Matrix adalah sosok yang kejam. Kekuatan membaca pikiran yang ia punya membuat orang-orang yang berpikiran buruk tentangnya berakhir di hukuman.

Layaknya cenayang, Matrix kembali mengingatkanku tentang sesuatu yang aku lupakan. Kadang-kadang mengingat sesuatu yang tidak penting menjadi kelemahan ku. Kalau hal tersebut tidak terlalu penting, otakku tidak akan bisa mengingatnya lebih dari dua jam.

"Cewek yang Lo tabrak tadi Elmins Daniel kelas Sagius. Nomor siswa delapan. Dia cewek yang masuk di daftar siswa pelanggar pagi ini. Dia manjat tembok usai bel pelajaran pertama," jelas Matrix kepadaku.

Otakku berputar memikirkan hal yang terjadi pagi ini. Sial, mengapa aku bisa melupakan hal sepele seperti itu?

FLASHBACK ON

Matrix mengajakku untuk berpatroli menertibkan siswa di hari pertamaku. Untuk lebih mengenal posisi ketua Hiwa, aku diharuskan untuk diberi bimbingan intensif dari Matrix, ketua Hiwa yang menjabat sebelumku.

Karena ia sudah pelajar tingkat dua, Matrix harus melepaskan jabatannya dan mewariskan wewenang Hiwa kepadaku.

Seperti sudah tahu siapa saja yang akan melanggar peraturan pagi ini, Matrix mengajakku ke tembok belakang. Ia masih bergeming, tatapannya datar menatap angin yang berhembus pelan menusuk wajah kami hingga terasa dingin.

Benar, seorang siswi tampak celingak-celinguk di atas tembok sebelum akhirnya dia melompat ke bawah. Aku pun berhasil menangkap basah dirinya.

"Ekhmm.." tegurku.

Cewek itu berbalik.

FLASHBACK OFF

Astaga. Mengapa aku bisa melupakan cewek menyebalkan ini? Yang benar saja, belum juga satu hari, aku bisa melupakannya.

"Iya. Gue udah ingat," tukasku cepat.

Matrix kembali menyeringai. Entah apa kali ini yang akan ia bicarakan? Lama-lama Matrix mirip sepertiku. Bukan, memang sifat kami mungkin yang mirip. Walaupun begitu, aku tetap tidak akan kalah olehnya. Jabatan kakak tingkat sama sekali tidak membuatku takut dan tunduk terhadapnya.

The Mind FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang