Bab 9

1.6K 18 0
                                    

“Pulanglah Ran, kamu harus sekolah.”

“Sekolah atau tidak aku tetap bekerja di tempat terkutuk itu.”

“Setidaknya dengan sekolah kamu akan mendapatkan ijazah dan bisa melamar pekerjaan di tempat lain.”

Ransi terdiam, berpikir apa yang diucapkan Azalea ada benarnya.

“Aku bekerja di club Neptu.”

“Apa?” ucap Azalea tak percaya.

Ransi pernah bilang bahwa ia bekerja di club untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargannya. Club Neptu? Azalea tak mengetahui jika Ransi bekerja di club yang sangat terkenal dan lebih tertuju pada seks bebas.

Azalea meraba-raba bahu Ransi memberi ketenangan untuk temannya itu, Ransi tersenyum hangat ke arah Azalea meski ia tau Azalea tidak bisa melihat senyumnya.

“Azalea, aku sudah menemukan jawaban dari perkataan mu waktu itu.”

“Benarkah?”

“Terlihat indah. Namun, begitu perih jika duri itu tergores.” Ransi mengulangi perkataan Azalea tempoh Hari.

“Bunga Mawar,duri dan goresan luka. Semua itu terbungkus menjadi satu paket kehidupan setiap manusia. Dimana Bunga Mawar berperan sebagai seorang peran utama yang harus melewati banyak ujian hidup terasa bagaikan duri yang melekat secara permanen dan duri itu dengan sendirinya akan membentuk goresan luka yang akan meninggalakan rasa perih yang amat terasa”
Azalea tersenyum mendengar jawaban Ransi yang begitu tepat menyebutkan maksud dari setiap kata yang di ucapkan.

Gadis feminim itu beralih meraba-raba wajah Ransi, Azalea perlahan menghapus air mata Ransi yang perlahan menetes menyentuh jari-jari mungilnya.

“Sering terlintas dalam pikiran ku untuk mengakhiri semua ini. Namun, jika aku melakukannya bagaimana dengan kehidupan Ara.”

Ransi menangis di dalam pelukan Azalea.

“Kamu adalah Bunga Mawar Ransi. Meski duri dan goresan luka itu menyentuh kehidupan mu. Bertahanlah dan jangan berpikir untuk melarikan diri dari takdir mu. Kelak suatau saat pemilik Bunga Mawar itu akan menemukanmu dengan cara yang berbeda.”

Ransi dan Azalea saling berbagi air mata di atas bangku panjang yang terdapat di depan  teras. Dua cangkir teh hangat dan bebrapa makanan ringan di atas meja seolah menjadi saksi bisu cerita kelam diantara keduannya.

“Sebelum peristiwa buruk itu terjadi aku dapat melihat langit yang begitu cerah di tambah burug-burung yang berterbangan membentuk formasi huruf  V, keindahan alam dan bunga yang berwarna-warni aku bisa melihat semua itu dengan kedua mata ku.”

Ransi menatap sendu ke arah Azalea.

“Malam itu sangat gelap aku tidak bisa melihat seseorang yang masuk lewat jendela kamar, seluruh lampu padam dan tak ada sedikit pun cahaya yang dapat menembus pengelihatanku, dengan nada suara tinggi di tambah rasa takut yang memburu aku bertanya kepada seorang yang berjalan mendekat ke arah ku. Namun, tak ada jawaban ia semakin mendekat sehingga aku dapat merasakan hembusan nafasnya.”

Kedua tangan Azalea gemetaran mengingat peristiwa yang terjadi lima tahun lalu, jantungnya pun berdegup sangat kencang. Ransi mengenggam jari-jari Azalae.

“Jangan di teruskan jika akan membuat mu terluka,” ucap Ransi.

“Apa yang bisa ku lakukan pada saat itu selain pasrah saat tubuhku di paksa naik ke atas kasur dan secara kasar tangan itu membuka semua pakaian ku. Dia adalah seorang lelaki yang merengut kesucian ku. Bukan hanya itu, lelaki bajingan itu jugalah yang membuat kedua mata ku buta akibat dorongan keras yang ia lakukan terhadap tubuhku sehingga pecahan kaca itu melukai kedua mata ku.”

Ransi menutup mulut dengan tangannya, gadis itu begitu syok mendengar kisah kelam Azalea yang begitu keji terdengar.

Azale menangis sambil memegangi jantungnya yang berdetak hebat, peristiwa itu terus terbayang di sepanjang hari-hari yang ia lalui.

“Lelaki pemilik liontin itu yang telah membuat kehidupan ku hancur menjadi sehancur-hancurnya.”

Ransi memeluk Azalea, gadis itu pun ikut menangis membayangkan betapa hancurnya kehidupan Azalea selama ini.

Pantas saja Azalea memberikan liontin itu kepada Ransi. liontin yang menyimpan banyak cerita kelam tiada berujung.

*****

Rafan memakai jaket kulit dan mengambil kunci motor yang terletak di atas nakas, ia berlarian menurunin anak tangga sambil merapikan rambutnya yang berantakan menggunakan jari-jarinya.

Saat ia inigin memakai helm selintas Rafan melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya.

“Lima menit aku akan sampai ke taman. Aku tidak akan membuat mu menunggu lama,” gumamnya sambil naik ke atas motor.

Rafan yang tadinya sedang berguling-guling di atas kasur langsung meloncat saat ia membaca pesan dari seseorang yang sangat ia rindukan beberapa hari ini.

Lelaki berkumis tipis itu menambah kecepatan laju motornya. Benar saja, dalam waktu empat menit ia berhasil memarkirkan motor di pinggir taman dan langsung berlarian ke arah bangku yang terdapat di bawah pohon besar.

Ransi tertawa terbahak-bahak melihat Rafan yang telah berdiri di hadapannya, Rafan heran mengapa kekasihnya itu tertawa.

Ransi yang tadinya duduk kini berdiri di depan Rafan, perlahan gadis itu membuka tali helm yang masih terpasang dengan cempurna di kepala Rafan. Kemudian Ransi membuka helm tersebut, sementara pipi Rafan memerah menahan rasa malu yang tak terbendung.

“Motornya sekalian di bawa ke sini aja Raf. Biar bunga-bunga di taman ini jadi rusak akibat lindesan  roda motor mu,” sindir Ransi sambil kembali duduk di atas bangku.

Rafan mengaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengambil duduk di samping Ransi.

“Aku benar-benar merindukanmu sampai lupa membuka helm.”

“Benarkah kamu merindukan ku?”

“Pertanyaa macam apa itu? Kamu tau sendiri jawabannya. AKU SANGAT MERINDUKAN MU.” Rafan menekan kata di akhir kalimat.

Membuat pujaan hatinya terkekeh pelan.

“Besok aku akan bekerja lagi,” ucap Ransi.

“Hmm terserah."

“Apa kamu marah pada ku?”

“Kapan kamu akan berhenti dari pekerjaan mu itu, Ran.”

“Raf!”

“Baiklah. Jangan bahas itu. Bagaimana dengan sekolah mu, sayang kalo tidak di lanjutkan.”

“Aku akan mengikuti ujian nasional minggu depan.” Perkataan Rnsi membuat Rafan bernafas lega.

“Pemikiran yang bagus, percuma sekolah bertahun-tahun jika tidak mendapat ijazah,” oceh Rafan.

“Aku tidak sebodoh dirimu, Raf.” Canda Ransi.

“Heyy jangan mengatakan kejujuran, aku malu mendengarnya,” balas Rafan.

Ransi tertawa kecil sambil menyenderkan kepalanya di dada Rafan bahkan menempel tepat di bawah leher lelaki itu.

Sore ini Ransi ingin menghabiskan waktu bersama Rafan, lelaki yang terus membayang di pikirannya selama beberapa hari belakangan ini. Ternyata bukan hanya Rafan yang merindukan kekasihnya, Ransi pun merasakan hal yang sama.

Beberapa menit berlalu, Rafan memegang kedua pipi Ransi, ia menatap dalam begitupun sebaliknya.

Cupp..

Rafan mencium kening Ransi sebagai simbol rasa cintanya.

“Andai saja kamu pemilik gelang itu, pasti hati ini akan berdegup kencang saat kamu menicium ku Raf. Namun, sampai sejauh ini getaran itu tak kunjung ku rasakan,” batin Ransi.





Mohon kritik dan saran gaes..






EX-BITCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang