How Can They Meet? pt.1

134 16 16
                                    

Mobil lamborgini putih berjalan cukup cepat dijalanan lenggang milik Seoul siang itu. Bahkan jika dilihat, lalu lintas saat itu memang minim kendaraan, tidak seperti hari biasanya, padahal masih hari ketiga diminggu pertama bulan November. Bukankah seharusnya padat akan orang yang sibuk pergi bekerja atau semacamnya?

"sepi sekali? Bukankah sekarang hari rabu?" pemuda yang masih berumur sekitar 19 tahun dengan setelan jas putihnya menengok kearah luar mobilnya.

"benar, tuan. Tapi belakangan ini mereka memang lebih memilih berjalan kaki." sahut pria berumur setengah abad yang duduk dibangku sopir.

"benarkah? Wah, pantas saja jalanan sangat sepi. Kenapa saya baru tau? Woahh, rasanya saya seperti baru keluar dari tahanan berbentuk rumah selama sembilan belas tahun ! Wow ! Entah apa yang saya lewatkan selama itu !" sahut pemuda tersebut.

Pria yang hanya duduk berdua bersamanya didalam mobil tersebut terkekeh pelan sebelum menjawab pertanyaan dari pemuda yang ia sebut sebagai tuan.

"anda jarang sekali keluar istana, tuan. Anda selalu memiliki banyak alasan."

"yah, kau tau sendiri, kan? Lebih baik saya bermain di dalam rumah daripada harus berkenalan dengan orang asing?" balas pemuda tersebut seraya berpangku tangan.

Matanya melirik kearah depan dimana ia melihat sang sopirnya tersebut masih terkekeh.

"dan jangan sebut rumah sialan itu sebagai istana. Saya tidak suka." lanjutnya.

Sang sopir hanya mengangguk melihat dari spion dalam mobil, tuannya kembali menatap sayu keluar mobil. Menelisik aktivitas yang terjadi diluar sana.

"uhm, tuan? Apa boleh saya memberi nasehat?" tanya sang sopir.

Pemuda itu menoleh sekilas sebelum kembali melanjutkan aktifitas membosankannya. "katakan, tidak biasanya kau meminta izin terlebih dahulu."

"bukankah hari ini hari pertama tuan pergi ke kota? Jadi--

"saya terlihat kolot sekali, bukan? Wah..." potong si pemuda dengan tidak antusias.

"jadi, bukankah ini kesempatan tuan juga untuk lebih membuka diri ke lingkungan sekitar?" sambung sang sopir sambil melirik lirik tuannya, takut jika ia salah bicara.

Pemuda itu hanya mendengus tanpa melepaskan pandangannya dari hiruk pikuk aktivitas manusia disepanjang perjalanannya.

"ma-maafkan saya tuan. Saya tidak bermaksud--

"kau tau, entah setan apa yang telah membuat papa memperbolehkanku untuk keluar rumah dengan alasan harus mengikuti acara peresmian bandara nanti. Saya bahkan tidak meminta untuk keluar rumah. Kau yaa..." tuduh pemuda tersebut tanpa mengalihkan sedikitpun wajahnya dari topangan dagu.

"sebelumnya saya mohon maaf, tuan. Tapi jika tidak... Maka anda akan buta terhadap dunia luar."

Pemuda tersebut kembali mendengus, kali ini lebih kasar. "berarti kau setannya."

Terdengar tawa dari sang sopir sangat jelas dan kencang.

"perlu kau ketahui, saya sebenarnya juga ingin melihat dunia luar dari dulu, tapi papa--

"ya saya tahu, tuan. Papa anda terlalu sering menakut nakuti anda akan kejamnya dunia luar. Padahal tidak seburuk itu." potong sang supir.

"ck, kau ini. Terlebih lagi sekarang saya sudah tumbuh dewasa, dan papa semakin khawatir saja akan keselamatan anaknya ini." tukasnya. "entah bujuk rayu apa yang kau lontarkan kepadanya." sambungnya pelan.

"haha, saya hanya meyakinkan beliau bahwa anda akan baik baik saja selama ada didekat saya. Nyawa saya jaminannya, tuan." jawab sang sopir yakin.

"cih, terlalu percaya diri. Bisa saja saya yang membunuhmu sekarang? Dan saya berkeliaran dimana mana. Lalu saya menjadi seorang diri dan tak memiliki apa apa. Berjalan tak tahu arah--

See The Vision - WayVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang